Catatan Perjalanan | 01 BIRU

Tujuh tahun lalu saya bergumam dalam hati tidak akan pernah lagi menjejakkan kaki di India. Perjalanan perdana saya ke sana pada 2011 silam memang sempat melahirkan kekesalan karena aksi tipu-tipu beberapa orang lokal sampai kejorokan tempat yang saya singgahi.

Namun India tak pernah benar-benar menjadi asing. Ia tak pernah benar-benar jauh. Entah itu kekuatan rempah dalam sajiannya, ritme musik yang mendayu bertabur tabla, sitar dari petikan Ravi Shankar, hingga alunan vokal Arijit Singh adalah teka-teki yang kerap memanggil dan minta untuk dipecahkan.

Dan kekuatan intuisi hati itu kembali memanggil pada November 2017. Menundukkan pilihan pada perjalanan 14 hari menembus Jodhpur, Shimla, dan Manali, tiga kota yang memiliki karakter berbeda baik dari letak geografis, suhu serta karakter manusia.

Tanpa sengaja jalur tiga kota itu membentuk tapak perjalanan dari tempat panas ke tempat dingin, seperti sebuah guratan keseimbangan dalam perjalanan hidup.

Senyum ramah seorang pramugari ketika membimbing saya menuju kursi di samping jendela mengawali perjalanan saya menuju India. Sebagaimana perjalanan-perjalanan sebelumnya, saya memang selalu memilih duduk tepat di samping jendela. Bukan hanya karena ingin memanjakan kedua bola mata dengan langit biru dan bongkahan awan, tapi menikmati proses take-off dan terbang di atas ribuan meter pun jadi sebuah pelajaran. Bahwa selalu ada waktu terbang dan turun dalam hidup ini.

Dari Jakarta sendiri tak ada penerbangan langsung ke India dengan pilihan transit terdekat di Kuala Lumpur atau Singapura. Saya memilih Bandara Changi.

Di sebelah saya, seorang perempuan muda berkulit putih dengan potongan rambut sebahu berbincang dalam bahasa Jawa lewat telepon genggamnya sebelum pesawat lepas landas. Saya sempat menebak-nebak ia seorang mahasiswi atau pekerja yang berkantor di Singapura.

Wardah, demikian ia mengenalkan diri. Seorang pekerja migran. Di atas ketinggian saya lebih banyak mendengarkan cerita-ceritanya, mulai dari pergaulan bebas antar pekerja hingga perlakuan baik yang ia terima dari majikan. Saya menyimak kalimat demi kalimat catatan hidupnya.

Ketika pada akhirnya dia bertanya soal tujuan terbang ke Singapura, saya hanya menjawab singkat.

“Saya hanya transit tiga jam di Changi lalu berganti pesawat menuju New Delhi. Sebuah perjalanan jiwa.”

“Di setiap perjalanan, menjadi pendengar yang baik dari cerita hidup orang baru yang dijumpai merupakan momen menemukan jawaban-jawaban permasalahan kehidupan yang berujung pada kebersyukuran."

Deretan lampu kota New Delhi dengan kerling cahayanya menyambut bagai kunang-kunang ketika pesawat saya akan mendarat Bandara Indira Gandhi. Pengeras suara melontarkan suara pilot yang mengabarkan dalam beberapa menit lagi pesawat akan segera mendarat. Rasa lelah dan kebosanan selama 5,5 jam penerbangan pun perlahan menghilang.

Selepas melalui pintu imigrasi dan mengambil tas carrier, saya menuju pintu keluar kedatangan bandara mencari sopir pihak hotel yang menjemput malam itu.

Hiruk-pikuk manusia, sahut-menyahut klakson kendaraan dan kedatangan ratusan penumpang jadi penegasan saya kini tengah berada di jantung India. Pemandangan tak asing yang seolah-olah memanggil ingatan saya akan perjalanan tujuh tahun lalu.

“Namaste. Aapka swaagat hai!”

Lalu lintas jalanan malam itu tak begitu ramai. Para penduduk New Delhi mungkin sudah beranjak istirahat menyiapkan energi untuk memulai hari pertama di awal pekan.

Dari bandara saya langsung menuju Kawasan Paharganj, tempat hotel yang akan saya inapi berada. Sebuah daerah yang mengingatkan saya pada kawasan di Tanah abang Jakarta dengan gang-gang kecil bak labirin tak berujung serta lingkungan padat dan didominasi para pejalan dari seluruh dunia.

Ketika saya tiba pada jam 10 malam itu, para pedagang buah masih menjajakan dagangan tersisa. Udara musim dingin dengan temperatur 12 derajat celcius menjadi teman malam pertama di India.

Keesokan pagi saya dibangunkan dering alarm ponsel yang begitu kencang. Tubuh yang terbujur dalam balutan dingin pun terpaksa harus segera beranjak lagi. Saya hanya membasuh muka seadanya dan menggosok gigi demi mengejar kereta Salasar Express yang akan membawa ke Jodhpur, titik awal perjalanan di India. Pada pukul lima pagi yang sunyi.

Jalanan yang berbaur kabut udara dingin dan polusi udara di Delhi menemani perjalanan saya di dalam taksi menuju stasiun Sarai Rohilla.

Pada negara daratan seperti India, kereta jadi transportasi yang terjangkau dan dibutuhkan. Baik kelas eksekutif maupun ekonomi selalu dipenuhi penumpang, sehingga tak gampang mendapatkan tiket meski sudah coba memesannya sejak jauh hari.

Dibanding di Indonesia, sistem reservasi tiket secara online di India sendiri terbilang bagus, meski tidak diimbangi soal kebersihan dan ketepatan waktu.

Saya tiba di stasiun dengan tergopoh-gopoh membawa tas carrier dan ransel daypack. Tanpa pegangan tiket di tangan, ruang informasi menjadi tujuan pertama saya untuk menanyakan jalur keberangkatan Selasar Express.

Saya masih beruntung mendapatkan tiket kereta kelas ekonomi AC dengan tempat tidur di barisan paling atas. Saya ingin menikmati 11 jam perjalanan berbaur dan berinteraksi dengan penumpang lokal.

Sambil menunggu kereta tiba, mata saya mulai menikmati hiruk-pikuk stasiun, mengamati satu per satu orang yang lewat, mulai dari postur, mimik, pakaian, hingga barang bawaan mereka. Sesekali saya merekamnya dengan kamera Sebuah prolog pagi yang saya rindukan di India.

Kereta yang akan membawa saya dan ratusan penumpang lain menuju Jodhpur, Rajasthan, terlambat setengah jam dari jadwal keberangkatan pukul tujuh pagi. Namun tak masalah. Di sini saya tak memburu atau diburu waktu seperti saat di Jakarta.

Perjalanan kali ini memang jadi upaya untuk ‘memperlambat waktu’ serta menikmati proses kehidupan. Berlama-lama duduk dan melihat sejauh mata memandang. Karena, yang terpenting dalam menjalani proses kehidupan bukanlah “timeline” waktunya tetapi seberapa jauh kita menjaga kualitasnya.

Gerbong kelas 2 ekonomi AC yang saya tumpangi seluruhnya berisi tempat tidur busa tebal berlapis kulit sintetis yang bisa disetel menjadi tempat duduk. Sinar lampunya temaram.

Lorong kecil selebar 60 sentimenter memisahkan barisan tempat tidur. Tiga susun di sebelah kanan dan dua di sebelah kiri.

Di seberang tempat saya duduk, sepasang suami istri yang sudah tua sibuk membolak-balik koran berbahasa Hindi. Keduanya tak berbicara dan hanya sesekali menoleh ke jendela mengamati pergerakan kereta.

Saya dan mereka seakan ingin saling menyapa, tapi terkendala bahasa. Saya tak bisa berbahasa Hindi, dan mungkin mereka terhambat bahasa Inggris. Akhirnya gerakan muka menjadi jalan tengah. Sebuah senyuman. Komunikasi universal yang menyejukkan hati.

Pada tengah hari para pedagang menawarkan masala chai (teh rempah dengan campuran susu) serta paket makan siang masakan khas india yang berisi dua lembar roti parata, dhal bhat, acar timun, kari kambing, dan nasi putih basmati. Sebuah kemewahan yang tak boleh terlewatkan dalam kondisi lapar.

Bisik hati saya, tak apa sekali-sekali memberi pengalaman lidah mencecap rasa “aneh”, setelah selama ini hanya menikmati masakan warteg dan masakan padang.

Pukul tujuh malam kami tiba di Stasiun Jodhpur Junction. Para penumpang bergegas mengangkat barang bawaan dan berebut turun. Beberapa buruh porter menyelinap masuk ke dalam gerbong kereta menawarkan jasa angkut.

Saya tak tergesa-gesa turun dan menunggu kereta berhenti sempurna sembari memandangi riuhnya stasiun dari balik jendela kereta yang buram.

Udara dingin kembali menyapa kulit ketika saya melangkahkan kaki keluar gerbong. Sambil berjalan keluar, saya berdialog dengan diri sendiri menebak-nebak suhu malam itu
“20 derajat celcius? Ah, enggak mungkin. Ini sih 15 derajat.”

Serpihan dialog ini cukup untuk membunuh kekakuan dan kesendirian bagi saya seorang solo traveller.

Suara klakson mobil dan motor dari segala penjuru membuyarkan ‘percakapan’ itu. Memang, kalau tak chaos bukanlah India. Mulai dari lalu-lalang warga yang menyeberang jalan sesuka hati, hingga anjing-anjing liar yang tak mau kalah menguasai jalanan menjadi suguhan perkenalan dari kota Jodhpur.

Berjarak 604 kilometer dari New Delhi dan berbatasan dengan Pakistan, Jodhpur adalah kota terbesar kedua di Negara bagian Rajasthan. Temperatur kota bisa menembus 45 derajat celcius saat musim panas karena berlokasi di Gurun Thar. Sehingga pantas lah kota ini dijuluki sebagai “The Sun City”.

Satu lagi yang identik dengan kota ini adalah cat biru pada tembok-tembok bangunan. Dari kejauhan, Jodhpur selayaknya hamparan karpet biru yang memeluk erat bukit-bukit. Seolah perlawanan pada kegersangan lautan emas Gurun Thar.

Kedatangan saya ke kota ini tidak lepas dari inspirasi yang didapatkan dari fotografer dunia asal Amerika Serikat, Steve McCurry. Ia bukan hanya mendapatkan foto-foto ‘indah’ dari kota biru, tapi juga menangkap kehangatan dan keramahan warga lokal. McCurry juga berhasil mengabadikan jiwa Jodhpur yang berbeda dari kota lainnya di India, meski dinamika dan keriuhannya nyaris serupa.

Kumandang azan subuh mengawali pagi pertama saya di Jodhpur. Saya menarik ponsel tak jauh dari tempat tidur untuk melihat jam dan rupanya masih pukul enam pagi. Penghuni kamar hostel masih terlelap. Nyaris tak ada suara aktivitas manusia dan hanya terdengar embusan angin dingin yang membuat kaca jendela berembun. Dari kejauhan suara kicauan burung pun samar menjalar di udara.

Saya beranjak dari empuknya kasur menuju kamar mandi. Ini pertama kalinya dalam tiga hari terakhir tubuh bersentuhan dengan air, sebuah ritual yang bisa dimaklumi saat sedang berjalan jauh.

Dalam keheningan pagi itu, saya lalu menaiki atap (rooftop) hostel. Kabut tipis yang masih menyelubungi Jodhpur perlahan mulai menghilang berganti taburan sinar pagi matahari.

Di kejauhan, benteng Mehrangarh yang megah terlihat kokoh melindungi kota. Benteng raksasa ini bisa terlihat dari segala penjuru mana pun di Jodhpur. Saya membayangkan betapa hebatnya pembangunan benteng itu oleh kesatria Rajput, pemimpin Jodhpur pada abad ke-14 silam.

Di bawah benteng, terlihat permukiman penduduk yang berwarna biru.
Ya, biru. Hari itu saya akan berburu biru.

Saya memulai hari dengan “blusukan” ke Navchokiya dan Brampuri, dua kawasan pemukiman warga dekat benteng Mehrangarh yang didominasi warna biru.

Jarak Navchokiya dari hostel tempat menginap kurang lebih satu kilometer dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Saya enggan menggunakan aplikasi peta dan cenderung bertanya pada warga lokal saat kebingungan mencari arah. Memang, sepintas ini terdengar kuno pada era digital yang super mudah. Namun berinteraksi dan berkomunikasi dengan warga lokal bagi saya adalah momen terpenting dalam perjalanan. Saya lebih memilih merasakan dan melihat ekspresi mereka dalam suatu rantai interaksi yang terkadang diputus teknologi.

Bau dupa begitu tajam masuk ke rongga hidung bercampur debu jalanan, sementara sapi dan anjing liar berkeliaran nyaris di setiap gang yang saya lalui. Suatu pemandangan pagi yang tak begitu mengejutkan tapi mendebarkan karena kotoran-kotorannya menjadi ranjau pejalan.

Dengan dominasi warna biru, tentu saja Navchokiya dan Brampuri sangat fotogenik. Kaum wanita mengenakan sari dengan warna yang cukup kontras, seperti merah muda atau kuning, menyempurnakan warna-warni gambar pada foto yang saya ambil.

Bangunan tua dengan tembok biru dihiasi ornamen khas Rajasthan, pintu, dan jendela dipenuhi ukiran masih berdiri sampai hari ini. Inilah yang membuat Jodhpur terasa demikian istimewa dibanding wilayah di India lainnya.

New Delhi memiliki kota tua tapi sebagian besar sempit dan kumuh. Udaipur memiliki istana yang fantastis namun tidak banyak yang merasakan inti kota.
Sementara Jodhpur menawarkan kota tua berdinding biru dengan kesatuan arsitektur yang unik. Di sini imajinasi saya bergerak liar dan membayangkan seandainya berada di India beberapa ratus tahun lalu.

Saya rasa tak ada kota lain di India yang bisa menandingi kota biru ini dalam hal kesatuan arsitektur dan keindahan. Sayangnya, satupun saya tak berfoto selfie di kawasan ini sebagai penanda pernah berada di sana.

Saya tak akan panjang lebar menjelaskan asal usul ataupun sejarah bangunan tua berwarna biru ini. Apapun cerita dan alasannya, tempat ini membuat saya terpesona, tersesat dalam lamunan labirin mistis.

“Perjalanan selalu meremajakan jiwa, karena dia mendekatkan kita pada atmosfir kehidupan yang begitu dimensif dan tentu subyektif." Oscar Motuloh

Di atas hamparan batu bersusun yang tampaknya sengaja dibangun sebagai tempat bersantai memandang benteng Mehrangarh saya bertemu Uncle Sandeph. Dia seorang pengajar yoga.

Saya sempat mengamati aktivitasnya dari kejauhan sebelum menghampiri, berkenalan dan mengobrol. Ia pun mengajak saya beryoga, melakukan gerakan-gerakan yang belum pernah saya coba.

Tak terasa matahari mulai beranjak ke atas membawa harapan hangat dari terpaan udara dingin. Perlahan saya meninggalkan “biru” menuju tembok batu raksasa benteng Mehrangarh. Berjalan kaki jadi pilihan tepat bagi saya yang sering tiba-tiba berhenti mengambil gambar.

Dikelilingi tembok batu tebal, Benteng Mehrangarh terletak 400 kaki (122 m) di atas kota Jodhpur, seolah menjadi pelindung abadi bagi penduduk kota. Di masa lampau, benteng ini memang didirikan untuk menahan gempuran yang kerap menggedor dari luar perbatasan kerajaan Marwar.

Tujuh gerbang menjaga jantung Mehrangarh yang masing-masing didirikan untuk mengenang kemenangan atas musuh-musuh kerajaan. Bekas-bekas hantaman meriam dari serangan tentara kerajaan Jaipur masih membekas di tembok gerbang, terutama di gerbang kedua.

Sementara itu, di gerbang terakhir yang dinamai Loha Pool, terdapat jejak telapak tangan dari istri-istri kesatria yang memilih untuk dibakar hidup-hidup ketika suami mereka tewas saat berperang. Pada benteng yang berusia lebih dari lima abad ini, cerita dan mitos memang silih berganti hadir ketika melewati gerbang demi gerbang.

Dengan ketinggian bangunan mencapai 36 meter, benteng Mehrangarh sendiri menjadi lokasi sempurna untuk memandangi bangunan kota Jodhpur. Dari bibir benteng, saya merekam perlahan susunan balok-balok biru yang berhimpitan di bawah. Saya membayangkan ratusan atau bahkan ribuan orang dari lintas kultur pernah berdiri di tempat yang sama seperti saya saat itu. Memandangi biru yang sama.

Hampir satu jam saya berada di bibir benteng. Duduk. Berdiri. Kemudian duduk lagi dengan sudut pandang sama. Tak hanya melihat tapi juga merasakan relung-relung kota biru. Membiarkan butir-butir waktu berlari semau hati mereka.

Suara peluit dan peringatan petugas penjaga membuyarkan imajinasi yang tersusun rapi. Saya pun segera menuruni anak tangga menuju loket pembelian tiket dan melangkah ke istana-istana yang terdapat di pusat benteng.

Di dalam istana-istana kecil itu tersimpan rapi berbagai koleksi pusaka, benda seni, dan perkakas dari kejayaan masa lampau. Hanya saja, saya tak terlalu bisa menikmatinya karena terlalu banyak turis asing maupun lokal yang berlalu-lalang di sana. Mungkin saat itu saya memang datang terlampau siang. Alhasil saya hanya menghampiri beberapa tempat dalam kompleks ini alakadarnya.

Entah kenapa saya memang tak terlalu menyukai keramaian. Merasa pening di dalamnya dan justru merasakan aliran energi di tempat yang sepi dan hening.
Semakin bertambah usia, semakin banyak urusan berkehidupan dipilah, dari urusan pertemanan hingga topik pembicaraan. Karena itulah saya lebih memilih berdiam tanpa kata, hanya mendengar dan mendengar. Fase perjalanan hidup yang lumrah, namun belum tentu semua menyadarinya.

Saya menarik diri dari keramaian benteng Mehrangarh lalu bergerak ke gurun bebatuan di bawah benteng. Taman gurun batu Rao Jodha namanya.

Taman ini dibuat pada tahun 2006 sebagai usaha untuk mengembalikan ekologi alam gurun yang berbatu di samping Benteng Mehrangarh di Jodhpur.

Ekologi ini memang sempat rusak karena seorang Maharajah yang terobsesi menjadikan gurun Thar lebih hijau dan teduh pada 1930 menyebarkan bibit semak belukar baavlia (Prosposis juliflora). Bibit yang berasal dari Meksiko itu bisa bertahan hidup di kondisi yang paling gersang sekalipun dan mengusir keberadaan vegetasi asli gurun Thar.

Pemerintah India kemudian coba merestorasi lahan seluas 70 hektar itu dengan mencabuti baavlia dan kemudian mengembalikan bebatuan serta tanaman-tanaman aslinya.

Hasilnya taman gurun batu Rao Jodha kini menjadi sebuah lanskap riolit kuno dengan batuan vulkanik yang terbentuk sekitar 700 juta tahun yang lalu berlapis batu pasir merah muda.

Lebih dari 120 spesies tanaman, termasuk 70 varietas rumput, pun tumbuh subur di tepi Gurun Thar ini. Danau Devkund berwarna hijau menyeimbangkan lanskap kawasan Rao Jodha. Jika beruntung, ratusan burung migran sedang singgah bisa dilihat di danau Devkund.

Kawasan ini tak boleh dimasuki tanpa pemandu resmi dari pihak museum pemakaman Jaswant Thada sehingga saya harus merogoh uang ekstra. Tak mengapalah. Paling tidak saya mendapatkan wawasan baru dari tempat ini dan berbagai cerita lainnya.

Saya menyusuri gurun batu ditemani Ram, pemandu sekaligus pengamat satwa khususnya burung liar yang ada di kawasan itu. Ia menggenggam teropong yang biasa ia gunakan untuk melihat satwa liar. Panas terik dan pantulan panas dari bebatuan seakan hendak membakar perjalanan kami sore itu.

Dengan bahasa Inggris yang fasih dibalut dialek India yang kental, Ram menjelaskan sejarah tempat ini serta aneka rupa flora dan fauna yang ada di sana.

Kami mulai menapaki batu-batu besar. Saya memotret dan Ram mengamati hewan liar. Sesekali ia menawarkan teropongnya untuk melihat hewan ataupun burung liar yang tak saya pahami jenisnya.

Kombinasi bebatuasan jutaan tahun, ratusan dan flora dan fauna itu bak secuil oase yang menjadi saksi sejarah peradaban Rajasthan, dirawat dan dijaga dengan serius.

Sama halnya dengan sebuah benteng, taman juga merupakan simbol kekuasaan manusia atas lingkungan juga sebagai bentuk perayaan kekuatan alam. Kekuatan di tanah yang kering dan gersang.

Tak terasa tiga jam kami menghabiskan waktu menjelajah taman gurun bebatuan Rao Jodha. Matahari pun mulai merunduk, sebuah tanda alam yang mengajak kami untuk keluar dari taman ini. Mengakhiri perjalanan di kota Biru dan saya pun harus bersiap menuju Shimla.

Share

Naskah, Fotografi & Video

Safir Makki

Menggemari perjalanan ke tempat yang tidak populer dan menyepi. Bekerja 14 tahun sebagai fotografer di media kemudian berlabuh di cnnindonesia.com.

  • Editor: Vetriciawizach Simbolon

  • Tata letak: Fajrian, Muhammad Ali

  • Infografis: Timothy Loen

  • Video editor: Tri Wahyuni