Jelang siang pada awal September itu, Ahmad Dhani Prasetyo tampak seperti bapak-bapak pada umumnya. Berkaus hitam polos dan celana jeans dipotong sebetis. Ia tengah memandori beberapa kuli bangunan yang merenovasi rumahnya di Jakarta Selatan. Dhani siang itu terlihat jauh dari label “arogan” yang teramat sering ditempelkan pada kepala musisi yang sudah tiga dekade wara-wiri di dunia musik Indonesia itu.
Dengan ramah ia menyapa dan mengajak kami berbincang di rumahnya yang lain. Tak jauh dari bangunan yang tengah diperbaiki.
Selangkah memasuki ruangan, barulah terasa tak ada yang benar-benar “umum” dari Ahmad Dhani. Ketika mata kami disergap oleh berbagai lukisan, potret lama, wayang, perabot antik hingga kursi kayu berukir tulisan PB X, inisial Raja Kasunan Surakarta Pakubuwana X. Benda-benda yang terasa “amat” Dhani.
Ia namai rumah itu Rumah Mataram.
Setelah memilih tempat, Dhani setuju berbincang di sebuah ruangan yang berisikan harta karun miliknya: rilisan fisik dari berbagai musisi. Kami berbincang ditemani segelas kopi.
Dhani secara tidak langsung menolak dikatakan sebagai pribadi yang sombong. Ia mengaku cuma jujur dalam berkata. Bahwa dirinya adalah "spesies" yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang sejenis dengannya.
"Jadi, kalau hiena enggak suka sama harimau ya wajar, karena dia kan hiena. Pasti enggak sama dengan harimau. Jadi, kita harus paham bahwa enggak semua orang bisa seperti saya," kata Dhani.