Greysia Polii, saya ingat dia datang ke Jaya Raya saat usia sembilan tahun dibawa oleh mamanya. Saat itu banyak klub yang berminat untuk merekrut Greysia tetapi saya bersyukur karena akhirnya dia pilih Jaya Raya.
Klik thumbnail mana pun untuk mulai membaca surat.
Imelda Wiguna
Kepada Greysia Polii

Saat itu saya masih bertugas melatih di Pelatnas Cipayung jadi tidak memantau keseharian Greysia di awal ia masuk Jaya Raya. Tetapi ketika saya pertama kali melihat Greysia main, dia itu tangannya bagus dan mainnya pintar.
Banyak atlet muda yang bagus tetapi tidak pintar main. Maksud saya mainnya pintar itu, dia akan mencari cara menghadapi lawan. Jadi sudah kelihatan dari pukulannya, dari netting. Greysia itu sudah menunjukkan hal itu dari kecil.
Setelah saya keluar dari pelatnas dan kembali melatih di Jaya Raya, saya mulai rutin dan mengikuti perkembangan Greysia.

Dalam perkembangan Greysia sebagai pemain, mamanya punya peran yang sangat besar. Mamanya sering ikut pertandingan dan Greysia memang sangat dekat dengan orang tuanya. Saya masih ingat mamanya itu sering tegang kalau lihat anaknya bertanding.
Mamanya Greysia juga tidak pernah protes soal apapun keputusan Jaya Raya terhadap Greysia. Di dalam klub, terkadang ketika seorang atlet muda tidak dikirim ikut pertandingan, ada yang kemudian ngambek, bahkan malah berlatih dengan klub lain.
Tetapi itu tidak dilakukan oleh Greysia dan mamanya. Greysia sudah kelihatan bahwa dia mau berjuang. Mau berjuang saat latihan dan pertandingan. Ia juga tak kecewa kalau tidak dikirim bertanding.

Greysia lalu berhasil masuk pelatnas Cipayung di 2003. Ia berpasangan dengan Jo Novita lalu berduet dengan Meiliana Jauhari.
Saat bersama Meiliana, saya lihat memang prestasinya cukup oke. Mereka bisa masuk semifinal lalu final.
Cuma puncak di badminton itu kan Olimpiade dan Kejuaraan Dunia. Jadi kalau saya lihat, Greysia dan Meiliana itu bagus, tetapi tidak mampu sampai puncak.
Salah satu hal yang saya apresiasi dari Greysia dia tidak pernah menyerah. Itu terlihat saat ia terkena kasus di Olimpiade 2012.
Saya kasihan melihat Greysia waktu itu. Di-bully, dikata-katai dan dijelek-jelekin. Tentu malu terkena larangan bertanding.

Jika saya yang terkena kasus, mungkin saya menyerah. Aduh mungkin saya tidak akan sanggup. Saya mungkin bakal pensiun.
Saat kasus itu terjadi, saya hanya bilang ke Greysia untuk terus berusaha. Hubungan Jaya Raya dengan atlet kan memang dekat, apalagi pemimpin di Jaya Raya banyak yang perempuan jadi gampang bagi atlet untuk curhat.
Yang saya lihat saat itu pasti ada kebimbangan dalam diri Greysia. Cuma dia bisa menyemangati dirinya sendiri.
Setelah Olimpiade 2012, Greysia akhirnya dipasangkan dengan Nitya Krishinda Maheswari usai sempat dicoba dengan Anggia Shitta Awanda. Bagi saya memang yang paling cocok Greysia dengan Nitya.

Saat di 2005 sebenarnya mereka pernah pasangan di Kejuaraan Asia Junior. Mereka bisa main bagus meski tidak juara.
Dari situ saya sempat usul Greysia sebaiknya dipasangkan dengan Nitya di pelatnas, tetapi Greysia memang tipe yang setia dengan pasangannya yang sudah dipilihkan.
Sebagai atlet memegang keyakinan itu tidak mudah. Karena pikiran bisa saja terganggu oleh omongan orang. Tetapi saya lihat Greysia bisa mengatasi itu dan hal itu jadi kelebihannya.
Terbukti Greysia/Nitya bisa jadi juara Asian Games 2014. Lawan mereka di Asian Games 2014 itu kuat-kuat dan Greysia baru saja bangkit dari masalah sanksi dan kasus di Olimpiade 2012.

Setelah Greysia/Nitya kalah di Olimpiade 2016 lalu Nitya cedera, jujur saya juga berpikir siapa pemain pengganti bisa berpasangan dengan Greysia. Menurut saya saat itu Greysia juga kembali bimbang dan ada pikiran untuk pensiun.
Namun di 2017 ketika Nitya masih cedera dan Apriyani Rahayu masuk pelatnas, kami coba push Greysia untuk pasangan dengan Apriyani. Karena Greysia butuh pemain dengan tipe menyerang dan Apriyani masih muda.
Sejak kecil Apriyani sudah kelihatan sebagai pemain berbakat. Dia pintar dan juga kuat, mainnya lompat terus. Karena itu dia sudah sering juara sejak kecil dan kemudian masuk pelatnas.
Setelah mereka berpasangan saya melihat target menuju Olimpiade 2020 sebagai sesuatu yang realistis. Kembali itu semua karena Greysia punya attitude yang bagus, integritas, tanggung jawab, dan disiplin.
Makanya meski saat itu Greysia sudah 30 tahun, kami melihat kembali ada harapan apalagi Apri sebagai pasangannya masih muda.

Sebagai pemain ganda harus siap dan bisa pasangan sama siapapun. Salah satu kuncinya, jangan menyalahkan partner kalau ada kesalahan.
Biasanya kalau lebih senior lebih sering marah-marah ke juniornya. Tetapi saya lihat Greysia tidak marah-marah ke Apriyani. Karena itu saya masih ada harapan pada duet Greysia/Apriyani.
Nah ketika 2020 tiba, ternyata Olimpiade diundur!
Untuk bisa jadi juara musuhnya itu banyak termasuk diri sendiri. Begitu Olimpiade diundur, tentu usia terus bertambah. Tetapi lagi-lagi hal seperti itu bisa dikalahkan oleh Greysia.
Soal Olimpiade, Jaya Raya berharap di 2016 punya atlet peraih medali emas, tetapi gagal. Karena itu ketika Olimpiade 2020 datang, kami PB Jaya Raya kembali ditanya lagi oleh Yayasan, siapa atlet yang paling berpeluang meraih emas dari Jaya Raya.
Saya lalu menjawab Gideon yang berpasangan dengan Kevin. Pilihan kedua lalu Hendra yang berduet dengan Ahsan.

Karena itu ketika Kevin/Gideon kalah, saya langsung down. Memang Hendra/Ahsan juga masih bertahan di babak semifinal. Dan ternyata Greysia/Apriyani juga sukses masuk semifinal.

Di semifinal harapan masih mengarah ke Hendra/Ahsan, tetapi mereka kalah dan justru Greysia/Apriyani yang bisa masuk final.
Kami semua nonton bareng di lapangan dan saya tidak berani nonton. Saya pilih jalan-jalan biar perut tidak terasa mulas.
Dalam dunia olahraga, memang tidak ada yang mustahil. Saya masih simpan percakapan dengan Greysia jelang final.
Saya juga titip pesan pada Eng Hian agar Greysia jangan ketemu banyak orang karena hal itu bisa mempengaruhi fokusnya. Saya juga minta Greysia untuk jaga hati.
Dan ketika akhirnya Greysia/Apriyani menang, seluruh orang yang nonton di PB Jaya Raya sorak sorai meriah. Banyak yang nangis juga.

Di balik sukses Greysia, saya juga bersyukur Eng Hian yang jadi pelatih ganda putri. Saya lihat Greysia dan Eng Hian itu cocok seperti Taufik Hidayat dan Mulyo Handoyo.
Eng Hian bisa mengerti kemauan pemain, tetapi tetap bisa berwibawa. Eng Hian bisa disiplin, jadi atlet tetap tidak bisa sembarangan berperilaku.
Di sisi lain keteguhan hati Greysia untuk terus bertahan dan berusaha adalah hal yang luar biasa. 19 tahun di pelatnas menghadapi goncangan baik saat kena sanksi dari BWF di Olimpiade 2012, lalu berganti-ganti pasangan.
Greysia punya pasangan yang sudah cocok yaitu Nitya, lalu cedera. Kemudian dia dipasangkan dengan Apriyani yang usianya jauh lebih muda dan mereka bisa juara.
Perjalanan Greysia seharusnya bisa jadi inspirasi yang luar biasa karena Greysia tidak pernah menyerah dalam berjuang. Untuk bisa mencapai tujuan memang harus begitu.

Berbicara soal meraih impian, ada harga yang harus dibayar. Artinya harus bisa mengalahkan banyak lawan. Bukan hanya lawan yang ada di hadapan, melainkan juga yang ada di dalam diri sendiri. Harus tahu bagaimana memacu diri sendiri, bagaimana menyemangati diri sendiri agar tidak mudah menyerah.
Bisa saja sebenarnya kejadian-kejadian yang dialami Greysia membuatnya menyerah. Tetapi semua tahapan itu bisa dilalui dan diatasi.
Kalau mau jadi juara ada harga dan pengorbanan yang harus dibayar. Jadi jangan cengeng.
Jo Novita
Kepada Greysia Polii
Saya pertama kali kenal Gel saat latihan di PB Tangkas sebelum dia ke Jaya Raya. Dia lebih muda enam tahun dari saya jadi saat itu hanya sekadar kenal karena saat itu dia juga masih kecil.
Lalu saya masuk pelatnas Cipayung duluan di 2000 atau 2001, terus habis itu dia juga masuk pelatnas di tahun 2003.
Sejak awal masuk pelatnas, Gel itu memang tipenya selalu gembira, semangat, dan cuek. Orangnya memang seperti itu, baik di dalam maupun di luar lapangan sama saja.
Walaupun masih kecil, pembawaannya tidak bisa diam. Senang mengobrol, gembira. Percaya diri.
Sebagai orang yang pede, Gel akhirnya bisa berkembang lebih bagus dengan cepat. Saat di lapangan orangnya memang nekad dan terlihat sifat tak mau kalah.
Saat itu saya sebagai pemain yang lebih senior, berusaha mengayomi dirinya. Dia sering lihat saya main lalu berdiskusi soal cara main di lapangan.
Pada akhirnya, setelah beberapa tahun, saya malah kemudian dipasangkan dengan Gel.
Saat itu di 2005 pelatih Paulus Firman bertanya pada saya siapa yang ingin saya pilih sebagai partner.
Saya pilih sama Gel. Saya itu tipe mainnya hampir sama dengan Gel. Gel bukan tipe pemain yang menyerang, tetapi punya gerakan yang cepat. Jadi kalau saya pasangan dengan Gel, saya yakin bisa mengayomi.

Gel masih muda ketika itu, mainnya masih gerabak-gerubuk. Tetapi yang saya lihat Gel punya modal nekad dan enggak mau kalah.
Itu yang akhirnya membuat saya memilih dia. Saya yakin bisa membawa Gel karena dia sosok orang yang tidak mau kalah.
Saat akhirnya berpasangan, saya lihat Gel bisa beradaptasi dan mengikuti. Sebagai sosok yang lebih senior, saya coba membimbing dia.
Saya suka kasih tahu Gel karena dia orangnya kalau sudah kepedean susah dikendalikan. Jadi di lapangan, saya bagian menjaga supaya posisi Gel selalu enak untuk memukul. Gel bermain bagus karena dia selalu pede, ke mana shuttlecock mengarah selalu dikejar.
Tipe main kita bisa dibilang sama, penuh semangat. Ke mana saja shuttlecock dikejar. Jadi mungkin hal itu yang membuat orang senang melihat kita main di lapangan.
Salahnya saya tidak bisa stabil. Sebenarnya duet saya dan Gel bagus, bisa bersaing, meskipun belum sampai level yang bagus banget.
Saya dan Gel sempat ada di ranking enam dunia. Setelah lagi bagus, saya mengalami cedera di Asian Games. Ligamen saya sobek dan butuh waktu pemulihan selama satu tahun.
Pelatih ganda putri saat itu sudah berganti ke Aryono Miranat. Koh Ar bilang saya harus fokus ke pemulihan kaki. Gel lalu main sama Vita Marissa.

Saat cedera dan butuh waktu pemulihan panjang, tentu saya down. Sedih, karena saya dan Gel lagi bagus-bagusnya, kok malah saya cedera parah.
Ketika Gel berpasangan dengan Vita, hasilnya juga bagus karena mereka bisa nyambung di lapangan.

Setelah saya sembuh, saya salut sama Gel karena dia mau kembali lagi berpasangan dengan saya.
Saya salut sama Gel karena dia punya loyalitas. Padahal saya sendiri sudah bilang ke Gel enggak apa-apa dia pasangan dengan yang lain karena itu juga buat kebutuhan dia ke depan. Tetapi Gel setia dan memilih kembali mencoba pasangan dengan saya.
Saya lalu kembali berpasangan dengan Gel di awal 2008 dan tampil di Uber Cup 2008 saat Indonesia jadi runner up.

Waktu kembali dipasangkan, hasilnya kurang bagus. Karena saya baru pulih dari cedera dan kembali main, kami jadi tidak bisa lolos ke Olimpiade 2008. Akhirnya kita dipisah.
Setelah itu nama saya tak lagi jadi anggota Pelatnas Cipayung di 2009. Saya juga menikah dan kemudian mengikuti suami ke Kanada.
Saat di Kanada, saya masih menyempatkan diri melihat pertandingan bulutangkis. Namun karena perbedaan waktu, jadi sulit untuk mengikuti semuanya. Hubungan dengan Gel juga masih terjaga karena kita rutin komunikasi.
Ketika Gel terkena diskualifikasi di Olimpiade 2012, saya kirim sms ke dia. Kasih semangat. Saya katakan untuk tidak menyerah.
Waktu Olimpiade 2020 datang, saya juga terus menyimak berita. Saya hanya nonton laga final karena tidak semua laga Indonesia disiarkan di Kanada.
Aduh tegang, saya teriak 'ayok-ayok' saat menonton. Tetapi saya lihat kayaknya memang sudah jalannya Gel dan Apri untuk juara.
Soalnya saya lihat permainan mereka tak ada matinya. Sempurna. Perfect.
Banyak kenangan indah antara saya dan Gel. Sampai sekarang pun kalau ngobrol masih penuh canda.
Saya salut sama dia bisa sampai di titik ini. Gel memang layak mendapat hasil bagus seperti ini karena memang kerja kerasnya luar biasa. Saya tahu sekali bagaimana kerja kerasnya.

Pesan saya untuk Gel, di lapangan dia sudah bisa berprestasi, berhasil. Di luar lapangan, saya doakan juga berhasil.
Gel sudah mau fokus ke rumah tangga juga untuk kehidupan barunya. Saya doakan semakin berhasil di luar lapangan badminton.
Meiliana Jauhari
Kepada Greysia Polii
Saya lupa kapan persisnya saya kenal dengan Greysia Polii. Yang pasti kita masih sama-sama pemain junior dan dari klub yang berbeda. Kita selalu jadi rival di tingkat nasional meskipun Greysia secara usia masih lebih muda.
Sejak junior Greysia sudah pantang menyerah, sangat gigih, dan jadi lawan yang tak mudah untuk dikalahkan.
Akhirnya saya dan Greysia sama-sama masuk pelatnas Cipayung. Hubungan kita bisa dibilang bagus, meskipun tidak akrab sekali yang ke mana-mana selalu berdua.
Di 2010 tim pelatih melihat saya dan Greysia dengan pasangan masing-masing terlihat biasa saja dari segi prestasi sehingga pelatih mencoba untuk mencari yang terbaik pada saat itu. Kita akhirnya dimainkan sebagai pasangan.

Kita berlatih, bersaing dan berusaha dengan segala kemampuan untuk bisa menembus persaingan ganda putri dunia. Kita tahu bahwa peta kekuatan dunia saat itu sangat luar biasa. Kita melakukan segala cara agar bisa bersaing dan diakui bisa pantas dan layak berada di 10 besar.
Dibanding berdiskusi soal tekanan ganda putri Indonesia yang sulit berprestasi, kita berdua memang lebih sering bekerja keras, latihan lebih keras dan berusaha membuktikan lewat prestasi semaksimal mungkin.
Ketika akhirnya kenyataan sulit juara harus dihadapi, kita tentu sangat-sangat kecewa. Ada rasa penasaran dalam diri kita, mungkin juga karena faktor kurang beruntung.
Menjelang Olimpiade 2012, kita sangat optimistis bisa menampilkan permainan terbaik dan mendapat hasil terbaik tetapi apa mau dikata, kenyataan berkata lain.
Ketika kita dinyatakan diskualifikasi dari Olimpiade London 2012, kita menangis bareng, sedih bareng, kecewa bareng, dan mencoba bangkit bareng.

Tetapi dalam perjalanannya pelatih memutuskan bahwa kita sudah tidak bisa berjalan bersama. Makanya kita akhirnya dipisah. Greysia saat itu memang masih punya waktu lebih panjang karena usianya lebih muda tiga tahun dibanding saya.
Ketika saya akhirnya keluar dari pelatnas, hubungan dengan Greysia masih baik. Kita masih kontak, baik saling komentar di instagram atau lewat whatsapp.
Saat Greysia berhasil jadi juara Asian Games 2014 bersama Nitya Krishinda Maheswari, saya tentunya sangat senang karena Greysia bisa bangkit dan bisa berprestasi untuk ganda putri Indonesia.

Saya juga tak terkejut ketika Greysia memutuskan masih main selepas Olimpiade 2016 dan ketika usianya sudah menginjak 30 tahun. Selama pelatih masih menganggapnya mampu dan bisa mengangkat junior untuk keberlanjutan ganda putri Indonesia, kenapa tidak?
Ketika akhirnya melihat Greysia dan Apriyani Rahayu berjuang di Olimpiade, tentu saya sangat senang. Saya melihat itu kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan yang terbaik dengan segudang pengalaman yang dimiliki Greysia.
Saya melihat partai final Olimpiade di rumah. Sejujurnya, saya tidak terlalu tegang karena dari awal pertandingan dimulai, Greysia/Apriyani sudah sangat percaya diri, tenang, dan sangat mengatur permainan.

Begitu Greysia/Apriyani dipastikan jadi juara Olimpiade saya sangat senang dan terharu. Sektor ganda putri yang selama ini belum pernah meraih medali apapun di Olimpiade bisa menyumbangkan medali emas untuk Indonesia.
Untuk Greysia, akhirnya penantian dan kerja keras selama ini berbuah manis.
Greysia Polii adalah sosok pekerja keras, pantang menyerah, disiplin dan punya komitmen yang sangat baik terhadap diri sendiri. Greysia selalu berusaha terlihat ceria dan dia friendly sama semua orang. Itu yang saya lihat dari Greysia sejak kecil sampai sekarang.
Kenangan terbaik kita adalah sama-sama jatuh-bangun, berjuang bersama, sama-sama saling menyemangati. Saat cedera pun berjuang bersama untuk bangkit.
Greysia, semua yang ingin diraih di bulutangkis sebagian besar sudah tercapai. Sekarang waktunya enjoy your life.
Nitya Krishinda Maheswari
Kepada Greysia Polii
Saya kenal Kak Ge pertama kali waktu masih sama-sama di Jaya Raya. Usia saya saat itu sekitar 13 atau 14 tahun. Saya baru masuk di Jaya Raya, sedangkan Kak Ge sudah senior karena sudah lama di Jaya Raya.
Kesan pertama saya sudah berpikir Kak Ge itu orangnya rame. Kan ada senior yang kelihatan menyeramkan, tetapi kalau Kak Ge itu ke junior lebih merangkul dan membawa suasana sehingga yang junior tidak merasa takut.
Kak Ge lalu masuk pelatnas lebih dulu sebelum saya masuk pelatnas di 2005. Saat masuk pelatnas Kak Ge juga kasih wejangan ke saya bagaimana caranya bersikap ke atlet senior lain.
Kita akhirnya dipasangkan sebagai duet tetap pada 2009 setelah Kak Ge dan Kak Jo Novita berpisah sebagai pasangan. Saat saat kami dipasangkan, Kak Ge sudah berpasangan dengan banyak orang dan punya jam terbang yang tinggi. Tentu saya jadi terkesan harus melompati banyak tangga untuk bisa mengimbangi Kak Ge di lapangan.

Tak lama berpasangan saya dan Kak Ge dipisah di 2010. Itu tentu wewenang pelatih untuk mencoba partner dari pemain-pemain yang ada.
Sedangkan dalam diri saya banyak pikiran dan pertanyaan saat kita dipisah. Karena saat itu kita masuk 10 besar. Jadi dalam diri saya ada pertanyaan: "Kenapa?".
Itu pertanyaan di diri saya, cuma akhirnya balik lagi saya berpikir saya kurang latihannya dan kurang gereget.
Dua tahun kemudian, Mas Bambang Supriyanto sempat tanya soal pasangan sebelum akhirnya saya kembali dipasangkan dengan Kak Ge. Saya yang saat itu berpasangan dengan Anneke Feinya Agustine merasa tidak ada masalah dan menekankan semua baik-baik saja. Dari prestasi juga duet saya dengan Feinya tidak jelek.

Lalu Koh Didi (Eng Hian) datang sebagai pelatih pengganti Mas Bambang. Koh Didi lalu minta saya sama Kak Ge untuk terus pasangan.
Koh Didi bilang ke kita, kalau sampai kita menolak, itu berarti kita enggak boleh memilih pasangan berikutnya. Koh Didi bakal berhak secara penuh untuk memilih partner buat kami.
Yang saya lihat saat itu saya dan Kak Ge sudah paling senior di pelatnas. Jadi Indonesia ingin nomor ganda putri punya pentolan dan andalan.
Akhirnya saya, Kak Ge, dan Koh Didi rapat. Koh Didi minta kita untuk keluarin semua unek-unek. Koh Didi ingin tahu hal-hal yang mengganjal di antara kami.
Jadi Koh Didi ingin setelah pertemuan itu semua sudah jelas dan clear. Kita keluar pintu tidak boleh ada lagi hal yang mengganjal.

Saat itu Kak Ge kurang suka dengan karakter saya yang susah mengutarakan kalau ada sesuatu. Kak Ge maunya kalau ada apa-apa di antara kita harus bilang.
Hal sekecil apapun harus ngomong. Misal kalau ada sakit gigi. Mungkin sebelumnya berpikir tinggal minum obat lalu selesai. Tetapi kalau Kak Ge itu harus tahu dan perlu bertanya, 'Perlu ke dokter enggak?'
Hal-hal kayak begitu berpengaruh. Mungkin terlihat sepele tetapi penting dan berdampak besar buat kita sebagai pasangan.
Setelah semua saling terbuka, akhirnya kita dan pelatih punya tujuan dan komitmen yang sama. Jalan kami kemudian jadi lebih baik. Makanya semenjak itu Puji Tuhan prestasi kami makin oke. Kuncinya ada di komunikasi.
Usai Olimpiade tentu wajar melihat Kak Ge agak beda karena semua tahu kejadian itu. Cuma karena kita sudah sama-sama komitmen dan tahu maunya apa, jadi kita sama-sama mau berubah. Kita tuh sama-sama tahu apa yang harus diperjuangkan dan menutup masa lalu.
Jelang keberangkatan Asian Games 2014, sebenarnya situasi parah karena saya cedera. Saya tak bisa jalan dan napas juga sakit. Perut saya juga kesakitan. Dari situ, keberangkatan kita sebenarnya terbilang perjudian karena kondisi saya sedang seperti itu.

Koh Didi dan Kak Ge itu selalu bertanya pada saya soal kondisi. Kalau memang tidak bisa, ya tidak apa-apa. Semua dilakukan agar kita semua tahu kondisi masing-masing.
Tapi karena saya merasa dapat dukungan dari partner dan pelatih, saya merasa dapat kepercayaan. Saat Asian Games akan dimulai, akhirnya saya bisa mengatasi masalah cedera. Saya diurut terus fisioterapi dan lain-lain. Saat Hari H Asian Games, kondisi saya sudah lumayan enakan meski belum full 100 persen.
Sejak awal Asian Games perjalanan kita sebenarnya sudah berat. Saat lawan Taiwan kita hampir kalah, apalagi kita sudah ketinggalan jauh di gim ketiga. Lewat dari mereka kami menghadapi Reika Kakiiwa/Miyuki Maeda. Kemudian melawan Zhao Yunlei/Tian Qing di babak semifinal yang semua tahu bahwa head-to-head ada di pihak mereka.
Dari awal sampai dapat medali, Koh Didi selalu bilang ke kita untuk main lepas karena kita tidak diunggulkan dan kondisi juga tidak fit.
Dari situ saya dan Kak Ge berpikir,"Ngapain ya beban karena enggak ada tanggung jawab medali kok?". Hal itu yang membuat kami mulai berpikir untuk main demi diri sendiri. Kalau dapat medali, itu bonus buat kami.
Saat menghadapi final ketika kami dipanggil masuk lapangan, Koh Didi menghampiri kami dan bilang, "Kalian enggak usah mikirin kemampuan lawan. Kalian harus berpikir seberapa besar kemampuan kalian."

Tanpa sadar kita memang sering berpikir begitu. Kata 'wah' pada lawan sebelum main saja sudah bisa menandakan lawan itu bisa menang atas kita. Karena itu di final kita bisa menikmati permainan. Berkat omongan Koh Didi jadinya mindset kita berubah banget.

Setahun kemudian kita merebut medali perunggu Kejuaraan Dunia. Sejak memenangkan Asian Games, kita yang tadinya tidak termasuk pemain yang ditargetkan medali, jadi masuk dalam kelompok itu. Beban sih enggak, justru jadi motivasi buat kita.
Masuk ke 2016 saya dan Kak Ge memecahkan rekor pertandingan terlama di badminton. Itu belum ada yang mecahin lagi ya?
Waktu itu saya dan Kak Ge mainnya benar-benar gila kali ya?
Situasi saat itu yang bisa dibilang tidak normal itu adalah kondisi shuttlecock yang berat sekali. Hal itu ditambah AC di arena tidak dihidupkan. Jadi sudah shuttlecock berat, tidak ada AC, lawannya ganda Jepang lagi, Kurumi Yonao/Naoko Fukuman.
Di tengah pertandingan saya bilang ke Kak Ge, "Kalau sakit, kita sudahan saja". Kita sama-sama setuju.
Kita tidak memperlihatkan kalau kita itu capek sepanjang pertandingan berlangsung. Setelah selesai main, badan sudah enggak bisa ngapa-ngapain, kita berdua dibopong buat jalan.
Saya sama Kak Ge sendiri tidak sadar waktunya selama itu. Saya mikirnya tidak sampai dua jam. Pas ada yang kasih tahu waktunya 2 jam 41 menit, baru saya kaget: "Wah, lama juga ya hahaha."
Keesokan hari saya baru tahu bahwa durasi tandingnya memakan waktu sepanjang itu. Dari situ pula kita baru tahu bahwa itu rekor dunia dan kemudian dapat penghargaan.

Menuju Olimpiade, saya dan Kak Ge pasang target dapat medali, cuma ya meleset. Kita kalah di babak perempat final.
Tentu sedih karena kita berdua sama-sama ingin bisa dapat pencapaian besar tetapi tidak sesuai target. Kita merasa down saat itu.
Selepas Olimpiade, saya dan Kak Ge tetap diproyeksikan sebagai pasangan oleh Koh Didi. Saat pertandingan di China, cedera lutut di kaki saya sempat kambuh dan kemudian kita sempat mengundurkan diri dari turnamen karena Papa saya meninggal.
Setelah itu saya dan Kak Ge mulai latihan lagi sampai kemudian ternyata kondisi lutut saya semakin parah.
Cedera lutut ini sudah ada sejak 2010. Walaupun kondisi lutut dijaga dengan fisioterapi, istirahat, tetapi karena jadwal latihan dan pertandingan di badminton itu memang padat, akhirnya semakin parah dan terasa di 2016.

Saya, Kak Ge, dan Koh Didi lalu berdiskusi, bagaimana baiknya mengatasi situasi ini. Kalau saya operasi, pemulihannya akan makan waktu berbulan-bulan. Kak Ge bagaimana? Kalau cari partner baru kan harus mulai dari nol.
Kak Ge dan Koh Didi lalu berkata memilih mendukung saya supaya lebih sehat, bukan untuk fokus kembali ke pertandingan terlebih dulu. Jadi saya akhirnya juga berpikir untuk kesehatan, dan bukan pertandingan. Makanya saya memutuskan untuk menjalani operasi di November 2016.
Setelah operasi, pemulihannya lumayan lama. Begitu selesai operasi, ternyata tidak bisa latihan langsung. Sejujurnya saya tak berpikir harus menjalani terapi lanjutan setelah operasi ternyata makan waktu yang lama. Cuma sepanjang saya menjalani proses itu, Kak Ge dan Koh Didi selalu ada.

Selama proses itu, saya juga ngobrol dengan Kak Ge. Dia ingin nunggu saya sembuh baru ikut pertandingan lagi. Saya bilang Kak Ge untuk tidak menunggu saya karena itu membuang waktu. Kalau ada pemain yang memang bagus, silakan lanjut. Karena Kak Ge saat itu kan sehat.
Jadi dari diri saya sama sekali tidak ada rasa sebal, tidak ada rasa kecewa. Karena kita sama-sama tahu.
Akhirnya Kak Ge pasangan sama Apriyani Rahayu. Saya lalu kembali dan pasangan sama Ketut. Kami berdua lalu berjumpa di Thailand Open 2018.
Saya kembali cedera di situ. Saat saya ambil shuttlecock ada bunyi 'pletak' makanya saya menjatuhkan diri. Otot tendon saya putus saat itu. Jadi bukan cedera lutut yang kambuh.

Kak Ge yang di seberang net langsung lari menghampiri saya. Saya mau bangun tetapi kaki terasa lemas. Saya lihat tendon saya mengarah ke dalam. Kak Ge kaget, begitu juga dengan Ketut dan Apri.
Sebenarnya tidak sakit tetapi saya takut melihat kondisi kaki saya. Kak Ge lalu lari-lari nyariin Koh Didi sambil teriak-teriak. Karena saat itu kan main sesama Indonesia jadi tidak ada pelatih di pinggir lapangan.
Setelah itu Koh Didi, Kak Ge, dan yang lain masih dukung saya untuk terus main. Cuma memang dari segi kondisi, saya saat itu baru merasakan tidak enaknya masa pemulihan sehabis operasi. Ketika kembali bisa main, ternyata saya kembali sakit lagi. Ketika recovery otot tendon, saya lebih banyak di kamar.
Di titik itu saya bilang Koh Didi bahwa saya cukup sampai di sini dan pensiun. Koh Didi minta saya bantu di kepelatihan sambil menunggu saya berpikir jernih. Tetapi saya tetap bilang bahwa saya sudah cukup.

Setelah saya pensiun, saya sama sekali tidak meragukan Kak Ge bisa bertahan hingga Olimpiade 2020. Kalau Kak Ge sudah pegang prinsip, dia tidak akan pernah belok. Jadi di saat dia masih punya target, saya masih percaya banget sama Kak Ge. Yang terpenting prinsip dia tidak goyah.
Setelah tidak di pelatnas frekuensi saya bertemu Kak Ge berkurang karena saya juga sempat pulang ke Blitar. Tetapi kalau saya sedang ke Jakarta, kita pasti ketemu.
Begitu Olimpiade Tokyo tiba, saya melihat Kak Ge dan Apri benar-benar terlihat percaya diri sejak awal. Sebagai orang yang pernah main, saya tahu kalau pebulutangkis sedang blank, sedang marahan sama pasangan, dan lain-lain.
Saat Kak Ge dan Apri masuk final, saya nonton final Olimpiade di rumah. Sendiri. Aduh, saya itu enggak kuat jantungnya. Akhirnya kadang-kadang TV saya matiin, lalu nyalakan lagi.
Begitu saya nyalain TV dan di gim kedua sudah unggul jauh, saya baru mulai pede dan tidak lagi mematikan TV sampai akhirnya Kak Ge dan Apri bisa jadi juara Olimpiade.
Sebenarnya saya masih ingin lihat Kak Ge main hahaha. Setiap ketemu, saya bilang "Ngapain sih Pensiun Kak?"

Terima kasih Kak Ge sudah pernah jadi partner saya dalam hal apapun. Di dalam dan luar lapangan sebagai kakak dan partner. Saya bisa sharing dan berbagi tentang hal apapun.
Semoga Karier Kak Ge atau semua urusannya apapun setelah ini diberkati Tuhan.
Apriyani Rahayu
Kepada Greysia Polii
Saat pertama kali masuk pelatnas sebagai anak baru dan ketemu Kak Ge, tentu aku masih segan. Mau ngomong takut, mau gerak sedikit takut, segan pasti dengan sosok Kak Ge.
Cuma Kak Ge itu tidak memberi jarak dengan juniornya. Yang aku rasain, Kak Ge itu bisa berbaur ke anak-anak baru. Suka bercanda dengan kita, bisa jadi teman. Kak Ge benar-benar welcome sama juniornya.
Cuma memang dari kita sebagai anak baru yang sungkan, enggak mungkin tidak ada perasaan sungkan.
Karena itu ketika aku ditunjuk sebagai partner Kak Ge di Piala Sudirman 2017, tentu aku senang. Kak Ge punya pengalaman yang jauh lebih banyak dibanding aku. Kak Ge bisa mengajarkan aku banyak hal, jadi hal itu yang bikin aku semangat.

Saat akhirnya kita berpasangan, tentu ada gugup, cuma lebih banyak semangat yang dirasakan. Aku senang dipasangkan dengan Kak Ge. Soalnya, siapa coba yang enggak mau jadi partner Kak Ge?
Waktu tampil di Piala Sudirman, sebenarnya itu percobaan dari Koh Didi (Eng Hian). Penilaian apakah kita bisa cocok sebagai pasangan. Alhamdulillah menurut Koh Didi kita berdua bisa cocok lalu kemudian kembali dicoba di Thailand Open.
Tentu aku tidak menyangka bisa jadi partner Kak Ge. Aku baru masuk PBSI, baru setengah tahun di pelatnas dan langsung jadi partner Kak Ge. Kaget!

Lalu di Thailand Open kita bisa juara. Saya merasa cocok dengan bimbingan Kak Ge. Kak Ge bisa mengajarkan saya banyak hal dan itu yang bikin aku semangat.
Sepanjang 2017, kita punya prestasi yang bagus. Kita enggak menyangka bisa secepat itu, pelatih juga tidak menyangka. Alhamdulillah tidak sampai setahun kita sudah dapat prestasi yang baik.
Kuncinya menurut saya ada di komunikasi. Kak Ge tidak kasih jarak. Kak Ge selalu menerima aku yang masih muda, yang mungkin pemikirannya jauh berbeda. Itu yang pada akhirnya bisa membuat kita menyatu. Aku sangat mencontoh Kak Ge.
Awalnya Kak Ge memang mau selesai main badminton dan pensiun di 2018. Tetapi kemudian jadi bertahan karena kemauan kita yang lebih lagi, kita mau banyak prestasi lagi dan memang juga ada target dari pelatih.
Kak Ge juga merasakan hal yang sama. Sayang juga kalau Kak Ge berhenti di 2018. Kita susun rencana di situ, kita menyatukan hati, pikiran. Bahwa tujuan kita adalah Olimpiade.
Kita bisa meraih perunggu Kejuaraan Dunia 2018 lalu bisa kembali memperoleh medali perunggu di Kejuaraan Dunia 2019. Alhamdulillah, bagi aku itu patut disyukuri karena kita bangga dengan pencapaian itu.

Itu merupakan pencapaian yang cukup bagus dan luar biasa. Prestasi itu bisa jadi bahan yang menguatkan keyakinan aku dan Kak Ge bahwa kita bisa dapat prestasi yang lebih dari ini.
Aku dan Kak Ge juga berhasil jadi juara SEA Games 2019. Aku enggak menyangka bahwa itu pertama kali Kak Ge bisa dapat medali emas di SEA Games. Aku bangga bahwa aku dan Kak Ge bisa berjuang bareng-bareng.
Kita memang melejit, tetapi ada masanya juga kita up and down, terutama di 2019. Di situ kita banyak berjuang. Ada ego masing-masing yang keluar.
Mungkin karena berawal dari hasil yang jelek, pada akhirnya situasi jadi sensitif untuk kita berdua. Mungkin aku tidak terima, Kak Ge juga tak tidak terima, pada akhirnya hal itu yang membuat ego masing-masing muncul.
Kita sempat diam-diaman waktu itu. Waktu diam-diaman pasti tidak enak. Aku diam, Kak Ge diam, karena mungkin sama-sama kesal. Tetapi kita tahu bahwa enggak mungkin diam-diaman dalam waktu lama.
Bagaimanapun kita harus cari jalan keluar. Karena kita mau prestasi jadi apapun yang menghambat harus bisa dicari jalan keluarnya.

Koh Didi tentu tahu kalau anak-anaknya lagi diam-diaman. Koh Didi jadi penengah, menyatukan tekad dan visi-misi lagi. Menyatukan kemauan dan pemikiran kita lagi.
Situasi itu tidak lama, hanya beberapa hari saja. Bagi aku momen itu luar biasa. Karena di situ kita berdua bisa keluar dari tekanan dan menyatukan kembali pikiran kita.
Masuk ke 2020, kita bisa juara Indonesia Masters dan Spain Masters yang membuat semakin yakin menatap Olimpiade. Kemudian pandemi Covid-19 terjadi yang membuat Olimpiade ditunda dan Kak Ge sebelumnya sudah ada rencana menikah.

Tetapi situasi itu tidak masalah karena semua sudah dikomunikasikan. Kak Ge membuat keputusan tidak hanya didasarkan pada kepentingan Kak Ge saja. Kak Ge sudah komunikasi ke aku juga.
Kak Ge sudah berkomitmen dan bertanggung jawab untuk tetap fokus ke Olimpiade. Jadi sama sekali persiapan kita ke Olimpiade tidak terganggu.
Awal 2021 kita juara di Thailand Open. Aku enggak tahu kalau Kak Ge masih merasa mixed feeling akibat kehilangan kakak.
Kak Ge bilang waktu itu bahwa Kak Ge enggak mau mengganggu fokus aku, jadi dia menahan semua itu sendiri. Selesai juara, Kak Ge menangis dan aku tahu bahwa Kak Ge emosinya masih campur aduk.
Kak Ge itu luar biasa sekali, luar biasa. Momen itu menunjukkan bahwa soal semangat Kak Ge tidak perlu dipertanyakan lagi.
Kak Ge itu bertanggung jawab, komitmen. Kalau sudah bilang A, ya sudah berarti itu tujuannya, tidak ada yang bisa mengganggu hal itu. Pada akhirnya sifat seperti itu yang terbawa ke permainan di lapangan.

Saat persiapan Olimpiade, jujur aku kaget ketika Koh Didi sempat dikabarkan tidak bisa mendampingi di lapangan. Kita lalu berusaha bicara ke PBSI dan minta tolong agar Koh Didi bisa mendampingi.
Karena bagaimanapun kita butuh pelatih di lapangan. Apalagi Koh Didi sudah tahu kita. Pada akhirnya ada jalan dan Koh Didi bisa ikut menemani kita di lapangan.
Kita enggak ada target di Olimpiade, enggak ada omongan soal target. Tetapi kita mau jadi pemenang dari siapapun lawan di Olimpiade. Karena selama ini kan ganda putri memang tidak pernah diprioritaskan untuk dapat medali emas di Olimpiade.
Karena itu kita jalani hari-hari dengan biasa. Kita tentu mau mengukir prestasi. Tetapi kita mau step by step. Mau fokus laga per laga. Tak mau berpikir terlalu jauh.
Kita tahu bahwa kita datang ke Olimpiade dengan mood yang baik. Kita sudah melakukan persiapan semaksimal mungkin, malah lebih dari maksimal.
Setelah lolos ke perempat final, soal beban itu sama sekali tidak aku rasakan. Aku enggak berpikir soal statistik jadi ganda putri pertama yang lolos ke semifinal, dan hal-hal lain.
Soalnya kalau dipikirin terus nanti malah jadi ekspektasi yang berlebihan. Mending bagi aku, main ya sudah main. Tekad mau menang saja. Begitu, tidak ada yang lain-lain.

Begitu juga saat kita lolos ke semifinal lalu ke final Olimpiade. Sama sekali tidak ada beban. Kita jalani hari-hari dengan makan enak dan tidur enak. Aku rasa Kak Ge juga sama.
Saat di Olimpiade, Aku dan Kak Ge beda kamar walau dalam satu pintu apartemen yang sama. Kita hanya berbicara soal bulutangkis di latihan dan pertandingan.
Di luar itu enggak ada omongan soal bulutangkis. Saat tak bertanding, aku lebih banyak di kamar dengerin lagu. Kak Ge juga lebih banyak di kamar. Kita keluar bersama saat makan saja.
Soal ketegangan, sama sekali tidak ada ketegangan saat kita berdua bersiap menghadapi final Olimpiade. Enggak ada obrolan yang serius.
Obrolannya hanya begini. Saat kita mau naik bus, perjalanan ke sana kan lumayan jauh. Kak Ge bilang, "Pri nanti kalau juara, kita Tiktok-an yuk". Lalu saya jawab: "Ya kak, oke". Udah itu saja obrolannya. Enggak ada omongan kita harus main begini-begini dan lain-lain.

Setelah menang gim pertama, aku merasa semakin yakin ingin juara karena sudah makin percaya diri. Percaya diri bukan berarti overconfident karena semuanya tetap bisa kami kendalikan.
Waktu akhirnya kita berdua juara, saya peluk Kak Ge. Saya bilang, "Kak, ini buat Kakak. Terima kasih Kak, terima kasih banget."
Kak Ge saya ingat bilang begini, "Ini juga buat Apri. Terima kasih."
Sudah setelah itu hanya tangis yang ada.
Malamnya kita malah ledek-ledekan. "Hey Champ!". Aku panggil Kak Ge begitu lalu Kak Ge juga panggil aku begitu. Hal itu malah jadi bahan bercandaan buat kita. Karena kita belum percaya kalau kita bisa juara Olimpiade.
Setelah Olimpiade selesai dan beberapa turnamen lain diikuti, lalu tibalah All England 2021. Saat itu aku masih merasakan sakit. Aku cedera di betis kanan dan hal itu yang bikin aku mundur dari German Open.
Karena All England itu adalah All England terakhir Kak Ge, aku coba memberi motivasi lebih ke diri sendiri untuk bisa melawan sakit.
Saat latihan sore sebelum berangkat, betis aku kembali terasa sakit, tetapi aku enggak ngomong sama siapa-siapa. Akhirnya kita berangkat dan bertanding di sana.
Di babak pertama aku enggak merasakan sakit, cuma memang ada rasa trauma. Tidak sakit tetapi ada beberapa gerakan yang aku jaga agar betis tidak kembali sakit. Saat itu aku belum sembuh total.

Saat di 16 besar, kok tiba-tiba sakit lagi. Aku berusaha untuk terus main tetapi Kak Ge bilang kalau memang sudah enggak bisa, ya sudah daripada dipaksa.
Aku sampai menangis. Aku merasa Kak Ge masih punya tujuan di All England, cuma kenapa dalam kondisi itu aku malah sakit. Aku merasa kayak menyesal. Cuma bagaimana lagi, namanya keadaan.
Kak Ge dengan dewasa, dengan hati yang sangat menyayangi aku, bilang kalau memang sudah enggak bisa ya sudah. Kak Ge bilang enggak apa-apa, enggak usah dipaksain daripada nanti sakit.
Soal Kak Ge pensiun sebenarnya kita enggak sering ngobrol topik itu. Soalnya kita pasti sedih. Kak Ge sedih, apalagi aku yang bakal sedih banget.

Jadi Kak Ge enggak pernah ngomongin soal rencana pensiun, begini, begini. Aku tahu dari Koh Didi. Jadi aku tahu rencana Kak Ge dan waktu tepatnya Kak Ge pensiun dari pelatih.
Kak Ge itu seorang mentor, dalam arti yang bisa mengajarkan partner berpasangan di lapangan. Kak Ge membentuk kita saling mengasihi, saling memberi, saling mengerti, saling menerima, saling menghargai. Kak Ge membentuk cinta kasih dengan ajaran yang Kak Ge kasih ke Apri.
Sedih tentunya kehilangan Kak Ge di lapangan. Rasanya campur aduk. Karena bisa dibilang kita sudah dapat emas Olimpiade, lalu masih banyak yang ingin aku kejar sama Kak Ge.

Tetapi memang sudah waktunya Kak Ge berhenti karena memang Kak Ge sudah berkeluarga. Umur Kak Ge sudah matang dan waktu Kak Ge memang sudah cukup di bulutangkis.
Perasaan aku sedih, aku bakal kehilangan, bakal kehilangan banget. Sampai susah aku untuk ngomong apa-apa.
Eng Hian
Kepada Greysia Polii
Saya kenal Greys itu tahun 2004. Saat itu saya kenal karena Jo Novita sempat main ke rumah dan dia ajak Greys.
Waktu saya masih jadi pemain, saya belum terlalu akrab dengan Greys dan hanya sekadar kenal. Mulai akrab setelah dia jadi ganda putri utama dan saat saya melatih Singapura. Ketika itu Greys sering minta evaluasi secara teknis dan sering bertanya masalah recovery.
Awal saya melihat Greys, dia sudah berbeda walau secara teknis berantakan. Menurut saya dia punya satu kelebihan. 'Anak ini sama shuttlecock nempel ya. Dari kecil shuttlecock nempel banget sama ini anak'. Itu yang saya pikirkan.
Ketika mulai akrab Greysia di tengah obrolan sering ngomong, "Koh balik dong latih Indonesia". Tapi itu cuma ngobrol biasa saja. Lalu saya bilang ke dia bahwa kalau memang sudah waktunya, saya pasti akan kembali.
Saat saya akhirnya kembali pada Maret 2014, tujuan saya memang ingin terus memasangkan Greys dengan Nitya. Saat itu ada miskomunikasi di antara mereka berdua. Saya melihat indikasi mereka tidak mau partneran lagi.
Saya lalu panggil mereka berdua. Saya tanya kemauan mereka di pelatnas itu apa, mau lanjut pasangan lagi atau tidak. Saya gali itu semua.

Saya melihat Greys itu sudah banyak bergonta-ganti partner. Ada kesan pelatih mengikuti kemauan Greys. Termasuk partner yang enggak cocok ada kesan pelatih juga menuruti Greys. Hal itu jadi perhatian utama saya.
Greys itu punya potensi besar tetapi tidak dibarengi dengan tantangan dan perubahan dari karakter dia sebagai seorang atlet. Hal itu enggak bagus buat atlet.
Nitya sudah cerita, Greys juga sudah cerita. Itu yang saya mau untuk mereka berani ngomong.
Mereka mungkin berpikir saya akan memberikan partner yang mereka mau. Saya bilang mereka sudah senior dan jangan begini-begini saja. Saya minta mereka berpasangan daripada saya ganti partner mereka ke yang muda-muda. Mereka lalu akhirnya berpasangan.
Khusus untuk Greys saya lihat dia agak ragu-ragu untuk melanjutkan karier setelah Olimpiade 2012 karena ada nama baik yang harus dikembalikan.
Hal itu kemudian ditambah saat SEA Games 2013. Greysia/Nitya tidak maksimal padahal digadang-gadang dapat emas.

Pada prinsipnya di awal kedatangan saya tidak mau memberikan janji-janji. Cuma saya lihat potensi Greys itu tinggi. Alasan saya waktu itu kembali ke Indonesia memang ingin melatih Greys. "Anak ini punya potensi tetapi ada sesuatu yang belum kepegang". Itu pikiran saya.
Menurut saya Uber Cup 2014 adalah salah satu berkah bagi pasangan Greysia/Nitya.
Saya selalu melihat Greys itu pemain yang punya kemauan keras dan secara potensi paling bagus. Namun menurut saya kekurangan Greys adalah karakter dia di lapangan.
Greys saat itu main seperti bukan bertujuan untuk menang, tetapi untuk menghibur penonton. Jatuh sana. Jatuh sini. Saya lalu semprot dia.
"Kamu main buat menang, bukan buat menghibur penonton. Kalau main begini, jangan masuk pelatnas."
Itu yang saya ucapkan. Mungkin dia kaget ada pelatih yang berani ngomong begitu ke dia.

Greys punya potensi tetapi karakter main di lapangan harus diperbaiki dulu. Yang saya tekankan adalah bagaimana membuat Greysia/Nitya bisa konsisten dari start walaupun pertandingan 1-2 jam.
Sebelum berangkat ke Asian Games saya tidak pernah bilang target medali emas untuk Greysia/Nitya. Cuma saya tekankan pada mereka, "Masak kalian mau begini-begini saja nih?"
Jadi saya bakar motivasi mereka. Saya ingin mereka pompa diri mereka sendiri dulu.
Perjalanan terberat Greysia/Nitya menuju emas Asian Games bisa dibilang di babak semifinal karena lawan terberat adalah Tiongkok.
Bukan meremehkan lawan di final, tetapi ganda Jepang Ayaka Takahashi/Misaki Matsutomo bukan tantangan Greysia/Nitya karena rekor Greysia/Nitya bagus lawan ganda Jepang itu.
Sejak enam bulan saya melatih Greysia/Nitya mereka berhasil jadi juara Asian Games.

Setelah itu tentu ada keinginan untuk menuju jenjang yang lebih tinggi. Olimpiade jadi sasaran target berikutnya.
Target itu meleset. Kendala saat itu adalah kondisi Nitya yang tidak bisa 100 persen karena cedera lutut. Cedera itu memang cedera lama Nitya.
Saat training camp di Brasil kurang satu pekan sebelum hari H, cedera Nitya malah kambuh. Tetapi hal itu tidak diumumkan. Sebelum turnamen itu dimulai, kondisi mungkin 70 persen karena cedera kambuh. Akhirnya mereka bisa bertahan dan lolos dari penyisihan tetapi kalah di perempat final.
Setelah Olimpiade saya masih kepikiran mempertahankan duet Greysia/Nitya tetapi dengan syarat kondisi Nitya harus lebih baik. Saya lalu berdiskusi dengan tim medis PBSI bagaimana sebaiknya agar Nitya bisa bertahan.
Akhirnya tidak ada jalan selain operasi. Nitya adalah pemain yang selama ini selalu menjalani arahan dari tim medis dengan baik. Namun namanya cedera, bisa kambuh karena kondisinya sudah parah.
Setelah pemeriksaan menyeluruh kondisi lutut Nitya dinyatakan tidak bakal membaik tanpa operasi. Rencana awal, sambil menunggu Nitya sembuh, nanti Greys akan berpasangan dengan pemain lain.

Sebenarnya ketika Nitya naik meja operasi Greys bimbang antara lanjut atau tidak. Saya lalu bilang ke Greys, kalau dia mau pensiun silakan, asal sudah ada rencana setelah lepas dari badminton. Tapi kalau belum ada rencana apa-apa, mending tunggu dulu dan nanti saya carikan partner yang cocok.
Saya rasa saat itu dalam pikiran Greys ia sudah merasa cocok dengan Nitya dan prestasinya sudah bagus. Andai punya partner baru kan harus mulai dari awal lagi.
Jadi posisinya saya minta Greys untuk bantu yang muda-muda sebagai persiapan Olimpiade 2020. Saya masih butuh Greys untuk meningkatkan kualitas pemain muda, termasuk yang paling potensial itu Apriyani. Akhirnya saya tahan-tahan Greys.
Termasuk ketika Nitya kembali bermain dengan Ketut, awalnya proyeksinya Greysia akan kembali berpasangan dengan Nitya dan nantinya Ketut dengan Apriyani.
Dalam perkembangannya situasi Greysia/Apriyani makin membaik, saya lihat Greys juga makin semangat dan tidak lagi membicarakan pensiun. Setelah Nitya total pensiun, Greysia memutuskan untuk tetap lanjut. Performa Greys/Apri juga makin membaik dan hal itu memantapkan Greys untuk terus lanjut.

Pada tahun 2019 Greysia/Apriyani ikut SEA Games. Awalnya tujuan utama adalah persiapan untuk mengikuti BWF World Tour Finals. Saya menilai kepercayaan diri mereka kurang bagus, jadi lewat SEA Games saya ingin mereka bisa meningkatkan kepercayaan diri mereka.
Bila mereka juara di SEA Games hal itu bisa mengangkat kepercayaan diri mereka. Jadi butuh turnamen yang kecil agar mereka mendapat gelar dan meningkatkan kepercayaan diri.
Jujur saat itu saya tidak kepikiran bahwa Greysia itu belum pernah juara SEA Games. Tidak ada pikiran sama sekali. Setelah mereka juara, baru Greys ngomong bahwa ia baru pertama kali juara SEA Games.
"Ah masa sih Greys?" itu respons saya saat itu.
Masuk ke 2020 saya yakin Greys/Apri sudah siap untuk Olimpiade 2020 karena mereka tidak ada kendala cedera. Ternyata Covid-19 melanda, jadinya pusing saya. Terus Greys kan juga ada rencana menikah.

Saya tentu tidak ada masalah soal rencana pernikahan, tetapi tetap harus tahu rencana dia setelah menikah. Awalnya kan rencana Greys main Olimpiade dulu, terus menikah, dan berencana punya anak.
Namun kemudian Olimpiade ditunda, sedangkan rencana pernikahan kan tidak bisa ditunda.
Untuk hal ini, saya, Greys, dan suami Greys berdiskusi. Akhirnya Greys memilih menunda punya anak dulu. Saya tentu tidak memaksa karena hal itu adalah kesepakatan Greys dengan suaminya. Kalau suaminya melarang hal itu saya pastinya juga tidak bisa apa-apa. Akhirnya mereka berdua sepakat bahwa program memiliki momongan ditunda demi Olimpiade.
Suaminya Greys luar biasa orangnya. Saya ingat dia bilang bahwa tidak ada masalah sehingga rencana persiapan Olimpiade bisa terus berjalan.
Terkait persiapan dari aspek teknis di lapangan, saya merasa ada berkah dari pandemi. Karena tidak ada turnamen, otomatis agenda di 2020 setelah pandemi Covid-19 kosong semua. Jadi latihan yang ada benar-benar meningkatkan segala aspek dalam diri Greys dan Apri, fisiknya, ototnya, dan daya tahan. Saat kembali main di Thailand di awal tahun 2021 mereka bisa juara.
Waktu kita didiskualifikasi di All England, buat saya hal itu tidak jadi masalah dari segi persiapan. Tapi harus diakui bahwa kita jadi parno karena situasi Covid-19. Buat saya bukan masalah kita batal ikut turnamen, tetapi ada kekhawatiran hal seperti ini kembali terjadi di Olimpiade. Itu yang kita khawatirkan.

Setelah All England ternyata tidak ada lagi turnamen digelar karena situasi Covid-19 kembali meningkat. Lalu kita mendengar bahwa ada kemungkinan Olimpiade batal karena warga Jepang juga sudah banyak yang menyatakan tidak bisa menerima penyelenggaraan Olimpiade di tengah situasi pandemi. Hal itu yang saya lihat sempat membuat Greys dan Apri down.
Ketika akhirnya Olimpiade bisa dilaksanakan, kekhawatiran lain muncul karena ada kabar saya tidak bisa mendampingi mereka di Olimpiade karena keterbatasan kuota pelatih yang bisa mendampingi. Fokus Greys/Apri agak terganggu dengan kabar tersebut.
Saya coba ngobrol sama mereka dan mereka bisa mengubah kekecewaan mereka lewat cara dan kualitas latihan. Latihan mereka jadi menggila.
"Enggak bisa, kita harus buktikan!" Itu yang saya lihat dari gerak tubuh mereka saat latihan.
Sebelum ke Tokyo, Tim Badminton Indonesia saat itu berlatih dulu di Kumamoto. Jadi saya masih ikut ke Kumamoto, juga bisa ikut ke Tokyo, tetapi tidak bisa masuk lapangan dan mendampingi mereka.
Sampai dalam persiapan menuju ke Tokyo, Greys dan Apri masih dalam situasi kesal karena merasa nomor ganda putri dikesampingkan. Namun yang saya suka, aura marah mereka itu masih dalam tren positif. Saya sendiri akhirnya bisa dipastikan berangkat 1-2 hari sebelum kita pergi ke Tokyo.

Pada babak penyisihan, Greys/Apri bisa menang lawan pasangan Malaysia. Saya melihat pasangan Malaysia justru tidak bisa mengeluarkan permainan karena terbebani oleh kemenangan di dua partai sebelumnya.
Sedangkan untuk menghadapi ganda Inggris, kuncinya memang ada di keyakinan. Kita harus yakin bahwa kita unggul.
Dalam duel penentuan lawan Sayaka Hirota/Yuki Fukushima, sama sekali tidak ada pikiran untuk meremehkan Hirota yang cedera. Ganda Jepang bisa menang lawan Inggris dan Malaysia, itu berarti kondisi cedera mereka tidak separah yang dibayangkan. Kalau memang parah, tentu mereka sudah kalah di laga sebelumnya.
Masuk perempat final sebagai juara grup, saya kembali menekankan pada Greys dan Apri agar mereka bisa bermain tanpa berpikir terlalu jauh. Saya berusaha menjaga Greys/Apri agar tetap fokus ke pola permainan.
Rekam jejak Greys/Apri dengan Du Yue/Li Yunhui juga tidak terlalu bagus karena mereka beberapa kali kalah. Situasi memang cukup tegang.

Untuk Greys dia pasti ingin bisa maju ke babak selanjutnya karena selama ini ia terhenti di babak perempat final. Bisa masuk semifinal dan dapat medali tentu jadi tujuan Greys.
Ketika Greys/Apri menang dan lolos ke semifinal, komunikasi adalah hal yang paling penting untuk mengatasi situasi dan suasana yang ada.
Saya sudah membangun hubungan dengan Greys/Apri untuk waktu yang lama jadi saya tahu bagaimana caranya menangani dua pemain ini.
Saya membagikan pengalaman tentang hal yang terjadi pada diri saya di dua Olimpiade, Sydney dan Athena. Di Olimpiade Sydney, saya sangat ingin medali, malah hasilnya tidak bagus.
Saat itu saya dan Flandy Limpele jadi unggulan 3/4, seperti halnya Greys/Nitya di Olimpiade Rio. Saya sudah berpikir bahwa kemungkinan bakal dapat medali tetapi ternyata tegangnya minta ampun.
Dalam pikiran yang dipikirkan hanya medali, medali, medali. Hal itu yang justru malah membuat saya tidak memikirkan persiapan dan pola main yang baik.
Saya membagikan pengalaman yang saya rasakan. Dan ada keuntungan saya sebagai pelatih punya pengalaman seperti itu.
Di semifinal saya justru melihat permainan Greys/Apri tidak ada kekurangan, lebih baik dibanding laga sebelumnya di perempat final.

Masuk final Greys/Apri jadi satu-satunya wakil Indonesia dan harapan meraih medali emas Olimpiade. Untuk mengatasi hal itu, cara yang paling gampang adalah sedari awal saya menyuruh mereka untuk mematikan media sosial.
Juga tidak usah baca berita. Dari awal Olimpiade saya minta Greys dan Apri untuk membawa handphone dengan nomor baru, tidak usah ada aplikasi apa-apa di dalamnya. Cukup handphone untuk komunikasi dengan keluarga.
Saya lakukan itu karena hal-hal yang ada di media dan media sosial bisa berpengaruh. Namanya juga manusia.
Soal teknis menuju final Olimpiade, kita bahas di sesi latihan pagi sehari sebelum final. Semua didiskusikan di sana.
Selesai latihan kita naik bus dan berusaha menikmati waktu. Tidak berpikir yang berat-berat. Pokoknya jaga kondisi, jaga makan, dan istirahat,
Malam sebelum final, kita enggak ngomongin badminton. Makan malam bersama, pulang masih nyanyi-nyanyi. Apri juga nyanyi-nyanyi. Greys malah bisa tidur 10 jam jelang final.
Greys dan Apri percaya dengan apa yang kita lakukan sebelum final. Dan saya melakukan itu berdasarkan pengalaman yang telah saya rasakan sebagai pemain ketika Olimpiade.

Dan pada akhirnya ketika Greys/Apri bisa juara, saya rangkul mereka, lalu saya berkata: "Tuhan, kalian berhasil".
Pagi harinya kita sarapan bersama. Kalimat pertama yang saya sampaikan pada mereka adalah: "Selamat, Welcome to legend club".
Selepas Olimpiade tentu saya sudah menyiapkan hati bahwa Greys akan pensiun. Soal Greys pensiun selepas Olimpiade kan hanya soal waktu. Apalagi Greys adalah seorang wanita yang sudah menikah, punya keluarga, suami, dan berencana memiliki anak. Saya tentu tidak bisa menahan dan melarang.

Untuk pemain-pemain muda yang bisa diambil dan dipetik dari sosok Greysia adalah tentang kerja kerasnya. Kerja keras Greysia itu luar biasa.
Satu hal dari Greys yang sering saya jadikan contoh di hadapan pebulutangkis lain adalah Greys itu tidak pernah protes, tidak pernah nawar soal program latihan.
Saya pernah iseng tanya ke Greys, kenapa dia tidak pernah tawar program latihan yang saya buat.
Lalu dia jawab,"Koh Didi bikin program ini, tentu disesuaikan untuk kebutuhan saya. Jadi kalau Koh Didi bilang lima set, itu yang saya lakukan".
Greys, ganda putri Indonesia masih butuh seorang sosok. Greys adalah seorang legenda.
Greys tetap dibutuhkan jadi mentor ganda putri. Supaya atlet muda bisa melihat Greys. Bisa mendengar masukan-masukan yang dibutuhkan dari Greys. Jangan meninggalkan bulutangkis secara total, jangan 100 persen meninggalkan bulutangkis.
Felix Djimin
Kepada Greysia Polii
Greysia Polii. Sebelum kenal, saya tidak tahu ada pemain bulutangkis yang bernama Greysia Polii.
Saya tidak begitu mengikuti bulutangkis saat itu. Saya cuma mengikuti bulutangkis saat zaman SD, SMP saja dengan nama-nama pemain seperti Taufik Hidayat, Hendrawan. Paling saya tahu Hendra Setiawan, itu pun tidak terlalu tahu. Pengetahuan saya tentang bulutangkis hanya seperti itu. Jadi Greysia Polii, saya sama sekali tidak kenal.
Momen awal kenal, sebenarnya kami berkenalan lewat keluarga Greys. Kita satu gereja dan saya lebih dulu kenal dengan keluarga Greys.
Sebagai gambaran, ketika momen perkenalan dengan Greys, situasinya saat itu saya sedang mengalami cedera di engkel kiri karena ketabrak motor.
Cedera ini sudah ditangani terapis dan sempat sudah membaik tetapi tidak sempurna. Sedangkan saya sudah ada rencana pergi dalam waktu dekat.
Saya punya perjalanan misi ke pedalaman dari Gereja untuk membantu warga di sana, kasih pengobatan dan pelayanan kesehatan gratis. Namun untuk bisa melakukan perjalanan misi tersebut, medan menuju ke sana susah, harus pakai perahu dan lain-lain.
Dalam hati saya sudah berpikir, "Aduh bisa berangkat gak nih?"
Eh kebetulan dalam momen itu, pas banget saya dikenalin sama Greys. Biasa di awal, tanya nama, pekerjaan apa, basa-basi lainnya.

"Kerjanya di bidang apa? Oh atlet. Atlet apa? Oh bulutangkis. Mainnya level apa?"
Pertanyaan itu yang muncul dari saya karena saya benar-benar tidak tahu. Saya tidak mengikuti perkembangan bulutangkis di Indonesia, sempat sekolah di luar negeri juga, jadi memang tidak tahu sosok Greys.
Lalu saya berpikir kalau dia level nasional atau internasional, berarti mungkin punya kenalan terapis yang jago.
Rupanya esoknya itu Greys mau pergi ke Kejuaraan Dunia di Denmark. Dia sudah berangkat pagi. Lalu saya tanya kapan pulang, ternyata hampir dua minggu dia baru kembali.
Lalu saya hitung-hitung sudah tidak bisa karena perjalanan misi itu sudah lewat.
"Bisa enggak kalau malam ini?"
Lalu dia menelepon dan rupanya ada terapis di PBSI yang bisa menangani malam itu juga. Namanya Mang Ace, terapis legendaris di PBSI. Jadi malam itu saya langsung dibawa ke Pelatnas PBSI.
Saya itu sebenarnya tipe yang enggak gampang ngobrol sama yang baru kenal. Tapi pada momen itu saya agak tersentuh melihat Greys. Orang ini hatinya baik ya, mau bantuin. Saya merasa seperti itu.
Di jalan kita ngobrol dan rasanya lumayan nyambung. Itulah awal kita kenalan lebih jauh.
Setelah itu saya mulai nonton Greys di kejuaraan Dunia. Saat itu kita masih berteman, belum pacaran.
Dari segi permainan, saya mengerti bulutangkis. Dan ketika menonton orang yang kita kenal, saya tentu full support dan menikmati pertandingan.
Namun saat itu saya sebodoh itu soal bulutangkis Indonesia. Saya suka main bulutangkis waktu SD dan SMP, tetapi saya tidak mengerti keadaan bulutangkis Indonesia terkini.

Bahkan sampai Greys juara Asian Games, saya belum tahu kalau arti Asian Games itu sebesar itu.
Saya tahu Asian Games adalah pertandingan besar, tetapi tidak tahu bahwa artinya sebesar lebih dari yang saya bayangkan. Apalagi ditambah sektor ganda putri bisa juara, posisi Greys saat itu, dan segala macam yang menambah besar arti kemenangan itu.
Sampai beberapa lama kemudian, saya semakin mengerti dunia bulutangkis. Bahwa Asian Games itu kayak mini Olimpiade.
Saya dan Greys lalu mulai resmi pacaran di akhir 2014.
Menjalin hubungan pacaran, hal itu jadi tantangan buat kita. Saya lalu semakin memahami kenapa banyak atlet menikah dengan sesama atlet. Karena memang se-challenging itu.

Kita itu pacaran rasa LDR. Sebagai atlet, Greys bisa ada selama dua minggu di luar negeri dalam waktu satu bulan. Itu berarti dua minggu ada di Indonesia.
Di Indonesia, artinya Greys latihan. Rabu latihan setengah hari, tetapi jam 21.00 sudah harus di asrama, begitu juga Sabtu.
Minggu libur full tetapi harus ke gereja dan jam 21.00 harus di asrama lagi.
Belum lagi waktu yang ada dibagi dengan keluarga, teman, pacar, dalam keadaan kondisi fisiknya yang sudah terkuras habis. Terkadang di mobil, Greys ketiduran.
Saya itu tipe orang yang lebih suka ngobrol langsung tetapi tak banyak waktu yang bisa kita habiskan.
Belum lagi misal Greys sedang ada turnamen di Eropa. Saya bangun, dia masih tidur. Dia bangun saya sudah sibuk kerja. Dia bangun, saya sudah tidur. Ada masa marahan karena hal-hal seperti itu.
Tetapi pelan-pelan kita makin kenal satu sama lain. Saya kenal sifat dia. Dia kenal sifat saya. Kita lewati banyak tantangan sampai akhirnya kita bisa terus bersama-sama.

Sejak awal menjalin hubungan dengan Greys, usia saya 26, Greys 27. Saat itu di usia segitu, saya sudah punya pikiran kalau hubungan selanjutnya itu memang serius ke arah pernikahan. Jadi itu kenapa kita berdua hati-hati banget.
Saya kasih Greys buku yang saya baca tentang relationship. Dia kasih saya CD tentang relationship juga. Jadi kayak sama-sama tukar pikiran.
Kita berpikir memang mau menikah, cuma memang kehidupan atlet itu, Greys pun tidak tahu pasti masa depan seperti apa dengan jelas. Greys tidak bisa berencana terlalu jauh. Saat itu memang rencananya main Olimpiade 2016 adalah yang terakhir untuk Greys.

Lalu Greys tak juara, kita berpikir mau menikah. Tetapi tentu tidak bisa langsung karena memang belum ada persiapan. Karena menikah tentu butuh persiapan.
Lalu Nitya cedera dan dia mulai dipasangkan dengan partner-partner baru. Mungkin saat itu pikiran Greys hanya untuk membantu adik-adiknya di pelatnas.
Sampai akhirnya di 2017 tiba-tiba Apriyani muncul dan mereka tampil bagus. Sampai akhirnya didapat kesimpulan mereka dipersiapkan untuk Asian Games.

Dalam pikiran saya, ya sudah deh tanggung Asian Games. Habis Asian Games, kita menikah.
Eh kariernya Greys dan Apri bagus. Kemudian PBSI mempersiapkan mereka untuk Olimpiade 2020.
Bagaimana nih? Ya sudah menikah saja dulu, itu yang saya bilang. Karena sudah menunggu lama dan ditunda-tunda terus. Saya enggak masalah kok. Sehabis menikah, Greys masih bisa kembali fokus persiapan ke Olimpiade.
Tetapi Greys enggak siap. Greys merasa untuk jadi seorang istri, kalau dia tidak ada di rumah, rasanya bagaimana gitu menurut dia. Walaupun saya sebenarnya tidak apa-apa. Pemikiran kita tidak bisa ketemu dalam hal ini.
Di antara itu banyak lika-liku, banyak mencocokkan kepribadian, sifat masing-masing, juga ekspektasi tentang pernikahan. Tetapi kita berdua juga dibentuk melalui proses itu.
Dalam proses itu, saya bahkan sempat berpikir:
"Sebenarnya cewek ini serius enggak sih sama saya?"
"Ini orang tuh sebenarnya mau mikirin menikah gak sih? Lebih penting kariernya atau bagaimana?"

Jadi saya sempat berpikir seperti begitu karena rencana menikah mundur-mundur terus. Sedangkan Greys itu tipenya enggak berani janji terlalu jauh karena karier atlet kan tipenya seperti itu, tidak bisa diprediksi pasti.
Pergolakan-pergolakan ini muncul di 2016, 2017, 2018, bahkan di 2019 ketika mulai memasuki pengumpulan poin untuk race to Olympics. Saya sempat kembali bilang untuk menikah dulu, toh cuma setahun menuju Olimpiade. Saya bilang enggak apa-apa kalau Greys masih harus fokus ke Olimpiade.
Perjalanan dari tahun ke tahun itu yang kemudian membentuk kita berdua. Belakangan pemikiran saya berubah. Pada akhirnya ketika masuk ke 2020 saya sudah punya pikiran legowo saja.
Kalau Greys belum siap, saya juga enggak apa-apa. Kalau Greys enggak 100 persen siap, saya juga enggak mau. Karena sesuatu yang dipaksakan itu tidak akan baik. Saya mau menikah ketika Greys juga benar-benar 100 persen, sepenuh hati mau.

Masuk ke 2020 akhirnya kita sepakat untuk menikah seusai Olimpiade 2020. Kita sudah diskusi, tanya beberapa teman. Kita bersyukur memiliki banyak teman yang punya nilai-nilai baik. Mereka yang sudah menikah duluan dan memberikan saran.
Setelah diskusi, banyak yang memberi saran kalau bisa saya dan Greys menikah jangan benar-benar persis setelah Olimpiade.
Karena tentu kita perlu persiapan dan juga perlu merelaksasi pikiran setelah bertanding di Olimpiade. Ya sudah tunggu beberapa bulan setelah Olimpiade lalu diputuskan kita menikah Desember 2020.
Kemudian pandemi Covid-19 terjadi.
Pertama saya sempat berpikir enggak mungkin Olimpiade ditunda. Eh ternyata ketika Olimpiade akhirnya benar-benar diputuskan ditunda, ya sudahlah mau bagaimana.
Mungkin karena Tuhan sudah membentuk saya dan sikap legowo yang ada, ketika pandemi datang, ya saya sudah legowo. Pokoknya kalau Greys belum siap, ya sudah enggak usah menikah dulu enggak apa-apa.

Greys sendiri punya beban. Dia merasa berpacu dengan usia. Main di ganda putri yang sering reli, belum lagi durasi ganda putri yang selalu lebih panjang dari nomor lain.
Greys juga berpacu dengan fisik. Dia pun sudah legowo saat itu. Kalau memang dipercayakan Tuhan untuk main lagi, ya main. Kalau enggak, ya sudah.
Kita terlibat dalam diskusi. Bagaimana, mau ikut Olimpiade enggak? Tetapi belum tahu sampai kapan Olimpiade ditunda. Katanya sampai 2021, tetapi belum tentu pandemi sudah selesai.

Singkat cerita setelah diskusi, Greys mau menikah sebelum Olimpiade yang tertunda ke 2021. Dulunya dia kan maunya setelah Olimpiade, sedangkan saya maunya sebelum Olimpiade.
Tetapi karena pandemi, kayaknya Greys akhirnya memutuskan sebelum Olimpiade saja. Kalau memang ditunda setahun seperti rencana penundaan awal, berarti kan cuma beberapa bulan saja dia latihan intensif setelah menikah dan enggak sampai setahun.
Saya sempat bertanya pada Greys. "Benar ya, siap ya? Kalau enggak siap, saya enggak apa-apa loh."
Akhirnya kita putuskan untuk menikah di Desember 2020.

Beberapa jam setelah kita menikah, datang kabar duka. Kak Riki, kakaknya Greys meninggal dunia. Sangat tidak disangka.
Kejadian itu terjadi benar-benar beberapa jam setelah kita menikah, bahkan saya belum sempat ngobrol berdua dengan Greys secara intensif. Saya sudah harus melihat Greys menangis separah itu.
Saat itu saya juga baru sembuh Covid-19. Saya lalu memutuskan pergi menemani keluarga Kak Riki dalam masa berduka sedangkan Greys sudah harus kembali persiapan untuk turnamen di Thailand. Sejak saat itu kita berdua sudah harus berpisah.
Setelah saya menemani keluarga Kak Riki hingga penguburan, saya tetap tak berani bertemu Greys. Saya sudah tes PCR empat kali dan hasilnya negatif, tetapi saya tidak berani ketemu.
Saya berpikir kalau bisa jangan ada risiko. Bagaimanapun sudah mau pertandingan besar dan Covid-19 sangat sensitif. Jadi ya sudah kita tidak bisa bertemu langsung.
Kak Riki adalah kakak Greys yang berbeda usia 19 tahun. Papa-nya Greys meninggal saat Greys masih berusia dua tahun jadi Kak Riki sudah seperti sosok Ayah bagi Greys. Tiba-tiba sosok itu hilang, dia sangat terpukul dan mungkin Greys setiap hari menangis, setiap malam menangis, dan dalam pertandingan di Thailand pun menangis.

Kita bersyukur kita melihat kekuatan Tuhan yang bisa Tuhan kasih. Ketenangan di saat bertanding sehingga Greys dan Apri bisa juara di Thailand. Greys bisa juara dalam keadaan duka, sangat tidak ideal. Mungkin sebagai manusia biasa, untuk bertanding saja dalam kondisi seperti itu sudah tidak bisa, apalagi juara.
Greys selalu cerita ke orang-orang bahwa ada Kekuatan dan Penghiburan dari Tuhan yang memang di luar akal nalar manusia. Beberapa minggu sebelum Kak Riki meninggal, dia setiap sehabis latihan menangis. Dia sendiri tidak bisa menjelaskan kenapa.
Greys seperti dipersiapkan untuk sesuatu yang besar itu dan ketika itu terjadi, tentu kita hadapi. Tentu tidak gampang. Tentu dengan terseok-seok di tengah harus persiapan menuju Olimpiade. Greys harus berjuang memberikan segala yang ada di tangan.
Karena kita sudah lama bersama, saling kenal, jadi saya tahu kata-kata apa yang bisa jadi tekanan buat Greys. Perkataan seperti "Harus juara ya, Menang ya", sudah tidak ada lagi saya ucapkan ke Greys sebelum dia berangkat ke Olimpiade.
Saya bilang enjoy your game. Kasih yang terbaik, hasilnya dari Tuhan. Hanya berikan yang terbaik dan lihat hasilnya nanti.

Selama Olimpiade kita selalu komunikasi. Apalagi kita sudah menikah dan Greys merasa kita perlu selalu update keadaan.
Saat itu saya lebih bersikap stand by di tengah pekerjaan saya untuk Greys bisa komunikasi kapanpun. Jadi saya lebih menunggu karena saya tidak tahu jadwal latihan dan jadwal lain-lain Greys di Jepang.
Misal Greys lagi ingin ngomong, ya sudah ayo telepon. Kalau lagi mau chat, ya sudah ayo chat.
Karena posisi Indonesia saat itu sedang PPKM dan banyak yang diwajibkan berdiam di rumah, jadi saya bisa nonton tiap pertandingan Greys di rumah. Selama ini kebetulan dalam pekerjaan, saya punya privilege untuk mengatur waktu.
Saya bisa menyelesaikan pekerjaan, supaya nanti ada waktu kosong. Sejak awal pacaran, saya selalu berusaha mengikuti pertandingan dia.
Sebagai penonton saya paling tegang ketika menghadapi ganda China di perempat final. Saya merasa laga itu seperti you can not predict the game.

Saya sudah menonton ratusan match Greys. Ada yang kalah tragis, ada yang kalah ngenes, dari yang leading dan game point lalu dibalikkan. Ada yang sampai Greys menangis, ada yang memang menang gampang, ada yang menang angin, dan lainnya.
Dan laga lawan ganda China itu termasuk laga yang you can't predict the game. You can win or lose. Saya merasa semuanya benar-benar tak bisa diprediksi. Apalagi ketika saya melihat kaki Greys seperti berat. Rupanya keram, dan ternyata pemain China juga mengalami hal yang sama.
Dalam komunikasi saya dengan Greys menjelang babak semifinal, kita melihatnya sebagai sesuatu yang besar, sesuatu yang Tuhan percayakan. Ada tanggung jawab karena semua mata melihat. Karena itu kita harus bisa menyiapkan hati.
Soal kondisi Greys selama Olimpiade, mungkin bisa dibilang sesuatu yang supranatural. Tidak umum terjadi. Greys merasa tenang dan merasa tidak seperti sedang bermain di Olimpiade.
Olimpiade adalah ajang sangat besar untuk bulutangkis, apalagi di nomor ganda putri dan ia punya mimpi besar. Tetapi dia malah merasa sangat tenang.
Kalau ada tekanan, enggak akan bisa keluar kreativitasnya di lapangan. Greys malah merasa tidurnya enak, dan malam sebelum bertanding bisa tidur pulas.

Saat menonton final, saya menonton dengan tegang. Tetapi tegangnya karena mungkin tahu arti kemenangan itu seberapa besar bagi Greys. Karena saya melihat perjuangan dia. Jadi saya lebih merasa tegang karena faktor itu.
Melihat permainan di final, saya lihat Greys/Apri bisa mengeluarkan permainan bagus, sedangkan China mainnya tidak keluar. Karena saya sudah sering menonton bulutangkis, di tengah pertandingan saya berpikir "Wah kayaknya bisa nih menang", tetapi kan hal itu belum terjadi hahaha.
Akhirnya Greys/Apri bisa juara Olimpiade. Waktu awal mereka memastikan juara, saya lihat Greys nangis, dan saya juga menangis parah. Tangis saya pecah. Karena saya mengerti arti tangisan Greys. Bisa flashback semua yang telah dilalui.
Berbicara soal perasaan, bangga, bahagia, dan senang tentu sudah pasti ada. Tetapi satu perasaan yang lebih unik adalah saya merasa kemenangan Greys/Apri adalah berita baik, seperti oasis di padang gurun. Karena saat itu kondisi Covid-19 varian delta sedang parah di Indonesia. Setiap bangun, buka handphone dan lihat berita, kondisinya seram.

Menurut saya kemenangan Greys/Apri di Olimpiade adalah berita baik di tengah bencana. Itu yang menurut saya agak spesial.
Setelah Olimpiade karena memang sudah ada pembicaraan dari awal, Greys akan berhenti dan pensiun dari bulutangkis.
Olimpiade adalah sesuatu yang dia kejar selama ini dan targetnya memang sampai di situ. Tetapi tentu gak sesederhana untuk langsung berhenti dan mundur. Masih ada World Tour Finals, ada Kejuaraan Dunia.
Sangat tidak bertanggung jawab kalau Greys langsung mundur begitu saja setelah Olimpiade. Karena ada Apriyani masih butuh partner. Ada Koh Didi, dan kita harus memikirkan semuanya. Akhirnya sampai pada keputusan sampai 2021 selesai.

Greysia, saya selalu bilang kalau dia sebagai istri itu selalu menginspirasi saya. Karena saya melihat dia benar-benar memberikan semuanya untuk berjuang.
Misal ada netizen yang komentar, mereka tidak tahu perjuangan dan pengorbanan sebesar apa yang ada di balik itu.
Sebagai contoh, misal kita mau jalan-jalan saja, Greys sudah sibuk bertanya soal berapa hari, kapan pulang, dan latihannya bagaimana. Greys sudah terbentuk seperti itu. Saya pun tidak berani terlalu memaksa karena memang bulutangkis itu sesuatu yang dia perjuangkan untuk Indonesia.
Saya terinspirasi oleh Greysia untuk selalu memberikan yang terbaik dalam hal apapun dalam kehidupan saya.

Greysia, terus jadi pribadi yang seperti itu dalam apapun area kehidupan nanti walaupun tak lagi menjadi atlet. Terus jadi pribadi yang seperti itu, yang selalu memberikan yang terbaik.
Dan saya yakin Greysia memang akan terus seperti itu karena hal itu sudah ada dalam dirinya sendiri. Dan dia akan terus bercahaya di area apapun nanti.