Klik thumbnail mana pun untuk mulai membaca surat.
Mohammad Ahsan
Untuk
Hendra Setiawan
1 dari 11 surat
Saya pertama kali lihat Koh Hendra itu di SMA Ragunan. Kalau gak salah, Koh Hendra itu kelas 3 SMA, sedangkan saya kelas 1 SMA. Waktu itu Koh Hendra kayaknya baru mulai masuk Pelatnas.
Terus saat saya masih di klub, saya pernah lihat juga Koh Hendra main di Tennis Indoor Senayan. Koh Hendra masuk final dan juara. Saat itu saya berpikir: "Kok masih muda mainnya sudah top begini. Ini pasti ada sesuatu yang spesial dari Koh Hendra."
Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan di Pusat Pelatihan Cipayung, Jakarta.
CNN Indonesia / Putra Permata Tegar
Akhirnya saya masuk Pelatnas Cipayung, di awal ketemu Koh Hendra, sungkanlah pasti. Tetapi Koh Hendra kan memang modelnya kalem. Jadi ada senior yang kadang-kadang suka bercanda, kalau Koh Hendra ya dari dulu memang kalem. Dia kalau ngobrol, iya-iya aja gitu.
Saya dan Koh Hendra ya bisa dibilang akrab sebagai senior-junior saja. Tetapi seiring waktu karena sudah pernah partner, sering ngobrol jadi akrab. Saat mau dipasangkan di 2012, kita juga banyak ngobrol.
Waktu awal dipasangkan, ya pasti minder. Memang kita pernah berpasangan di Sudirman Cup dan Axiata Cup. Tapi kan saat 2012 itu benar-benar yang jadi partner, ya pasti minder.
Karena Koh Hendra sudah juara Olimpiade, juara Kejuaraan Dunia, juara Asian Games. Sementara saya belum apa-apa. Tetapi Koh Hendra benar-benar membimbing, sedangkan saya juga punya tekad bahwa saya ingin membuktikan kemampuan saya.
Pasangan ganda putra Indonesia Hendra Setiawan (kiri) dan Mohammad Ahsan (kanan) mengembalikan bola ke ganda putra Denmark Kim Astrup dan Anders Skaarup Rasmussen pada penyisihan Piala Sudirman 2015 di Dongguan Basketball Center, Tiongkok, Rabu (13/5). Tim Indonesia unggul 3-2 atas tim bulu tangkis Denmark.
ANTARA FOTO / Saptono / Spt / 15
Waktu awal-awal tampil bersama di lapangan, ya agak tegang. Tetapi kan Koh Hendra lebih berpengalaman, tahu lawan-lawan. Semua sudah pernah dilawan dan dikalahkan. Dan hal itu menarik kemampuan saya.
Koh Hendra kan lebih kalem sedangkan saya modelnya yang semangat berapi-api. Jadi Koh Hendra bisa meredam, bisa seimbang semuanya.
Terus pas sudah jadi partner kan sekamar, jadi sudah lebih banyak ngobrolnya. Kalau di Pelatnas, pemain yang baru dipasangkan itu pasti sekamar. Nanti seiring berjalannya waktu, sudah mulai ganti teman sekamar. Kalau saya dan Koh Hendra, sekamar terus dari awal sampai akhir.
Sekamar sama Koh Hendra, kalau kita lagi kalah, saya bertanya bagaimana evaluasinya. Saya lebih banyak inisiatif bertanya. Saya juga lebih banyak minta koreksi. Biar ke depannya kalau main lagi bisa lebih bagus.
Kalau misal kita kalah di turnamen besar, ya saya kesal juga. Koh Hendra juga kurang lebih sama, pasti kesal juga. Tapi Koh Hendra kalau kesal karena kalah ya biasanya diam saja, gak marah-marah. Modelnya memang begitu. Gak tahu isi dalam hatinya, hahaha.
Kalau kalah, pasti kita ya gak mungkin terus terima saja. Misal kalah saat sudah unggul jauh, atau kalah saat mainnya juga gak bagus. Kita pasti kesal, tetapi ya diam saja.
Kalau sudah begitu, paling kita pergi ke mana gitu setelah pertandingan untuk menghilangkan kesal dan kecewa.
Misal kita kalah karena ada keputusan wasit yang dianggap merugikan, Koh Hendra juga enggak marah. Sekali doang dia protes tuh di Malaysia.
Posisi kita sedang ketinggalan, lalu dua kali wasit koreksi bola out. Saat itu kita ketinggalan dan kalah di gim pertama. Kita baru mau nyusul, ada-ada saja wasitnya. Bola out dibilang touch. Itu momen saya melihat Koh Hendra kesal sampai protes.
Kalau soal keputusan pensiun, saya sudah banyak ngobrol soal bagaimana kita mau ke depan. Saya bilang: "Sekarang kalau mau pasang target lagi, saya berat. Soalnya badan sudah gak kuat."
Kan kalau pertandingan berarti bukan kita hanya bersiap untuk main di pertandingan, tetapi kita harus persiapan dan kerja keras lagi di latihan. Badan saya sudah gak bisa 'dibejek' lagi.
Dulu sudah cedera pinggang, sekarang kaki kiri. Tipe saya kan beda sama Koh Hendra. Kalau saya kan tipe yang ekstrem kalau main, sedangkan Koh Hendra kan lebih efisien, lebih enak. Gak bisa saya mau ikut main kayak tipe Koh Hendra, mungkin kalau kayak gitu efeknya lebih banyak sakitnya buat saya hahaha.
Saya tanya sama Koh Hendra, "Emang Koh Hendra masih mau main tahun depan?"
"Kayaknya sih enggak juga", begitu kata Koh Hendra. Kita memang sudah banyak ngobrol soal pensiun.
Keputusan pensiun akhirnya kita ambil setelah China Masters. Kalau saya memang melihat sudah berat buat saya untuk terus lanjut. Kalau Koh Hendra waktu itu mungkin masih mau lihat hasil.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan tampil di China Masters 2024.
Arsip PBSI
Bicara pengandaian, mungkin kalau sekadar masuk 20 besar masih bisa. Tapi sekarang kalau terus main buat dihajar orang ya ngapain?
Kita kan punya tanggung jawab. Kita mau main gak bisa asal main. Kita punya sponsor, punya tanggung jawab dan gak bisa asal-asalan. Walau misal 20 besar masih bisa, tapi bagi saya lebih dari cukup.
Sebagai partner, Koh Hendra jelas dari segi teknik sudah tidak diragukan lagi. Dari segi non teknis, saya merasa lebih dibimbing sama Koh Hendra.
Kadang saya belajar dari Koh Hendra menghadapi momen-momen yang gak enak. Harus sabar, harus tenang dulu. Biasanya kan kalau ada sesuatu, saya kayak langsung mau menanggapi.
Kalau Koh Hendra bilang harus tenang, lihat secara objektif. Dari keseharian juga lebih banyak mengalah. Seperti kakak yang baik sama adiknya.
Christine Novitania
Untuk
Mohammad Ahsan
2 dari 11 surat
Soal keputusan Babah pensiun, saya sih sebenarnya ngikut saja. Sebenarnya waktu 2016, waktu pisah sama Koh Hendra, kirain saya sudah mau pensiun waktu itu, ternyata ada partner baru.
Saat itu saya berpikir, oh sudah selesai nih. Karena umur juga waktu itu sudah mau masuk 30. Katanya kan pebulutangkis kalau sudah umur segitu sudah siap untuk pensiun. Jadi apapun keputusannya, saya selalu dukung.
Saat pisah sama Koh Hendra, Babah cerita kalau Koh Hendra mau punya partner baru karena dia mau keluar pelatnas. Sedangkan dia tetap di Pelatnas.
Waktu Babah sama Hendra pisah di akhir 2016 lumayan sedih sih karena mereka sudah lumayan lama pasangan. Terus karena waktu itu Olimpiade 2016 tidak dapat medali, mungkin penyegaran. Waktu itu memang saya pikir sudah mau pensiun.
Tetapi akhirnya balikan lagi ke Koh Hendra dan juga gak nyangka bakal bisa naik lagi. Kalau saya, apapun keputusan Babah, saya bakal ikut.
Terus saat 2017 hingga 2019 kan bagus lagi, jadi belum kepikiran lagi untuk pensiun. Waktu itu juga belum banyak mengeluh sakit-sakit. Saya juga kaget pas Ahsan/Hendra bisa bangkit dan menang-menang lagi di 2019.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan juara BWF World Tour Super Series 2019.
Arsip PBSI
Saya gak kepikiran bisa sampai balik seperti itu lagi. Karena saya waktu itu mikirnya sampai delapan besar juga gak apa-apa. Tetapi gak tahunya juara-juara lagi. Terus bisa juaranya di turnamen-turnamen bergengsi lagi.
Nah setelah pandemi Covid-19 kan turnamen beruntun terus tuh, kayak langsung tiga turnamen. Setelah itu tiga turnamen beruntun lagi. Dari situ badan mulai sakit-sakit.
Makin ke sini, makin sakit. Jadi ya sudah kita putuskan untuk pensiun. Pada akhirnya, kondisi badan juga yang membuat pensiun akhirnya.
Kalau semisal Babah pulang ke rumah, kadang saya kasihan lihatnya kalau dalam kondisi cedera. Tahun lalu kan masih ada kontrak sponsor, jadi bertahan. Nah di tahun ini Koh Hendra juga memutuskan untuk pensiun. Ya sudah, akhirnya mantap untuk pensiun.
Soal cedera selepas turnamen, Babah gak selalu pulang dalam kondisi sakit. Tetapi kadang-kadang kalau pulang dalam kondisi cedera, bisa dua minggu pemulihannya. Pernah paling lama pemulihan itu sekitar sebulan, waktu pulangnya sampai pakai kursi roda itu.
Saya melihat Babah, sebagai seorang pebulutangkis, dia itu pekerja keras. Dia tanggung jawab sama pekerjaan. Berkomitmen untuk jadi atlet.
Christine Novitania saat sesi wawancara dengan CNNIndonmesia di kediamannya.
CNNIndonesia / Adhi Wicaksono
Sebagai istri, momen paling sedih itu kalau melihat Babah cedera. Yang terakhir kan pas lawan Fajar/Rian di All England. Duh, saya takut kan, takutnya parah.
Karena kan waktu itu lutut. Kalau melihat cedera lutut kan kadang-kadang berisiko enggak bisa main lagi. Soalnya umurnya Babah kan sudah gak muda, takutnya lebih gampang kenapa-kenapa. Untungnya, waktu itu enggak parah sih.
Sebagai istri atlet, saya sudah terbiasa menghadapi ritme hidup Babah sebagai atlet. Karena dari sebelum nikah sudah tahu profesinya. Bahwa latihan pagi-sore di Cipayung. Saya maklum saja, sama saja kayak orang pergi ke kantor, pergi pagi pulangnya malam.
Mungkin hanya beda di kegiatannya saja. Terus kalau turnamen pergi dua minggu tetapi hal itu karena sudah jadi kebiasaan, saya juga sudah biasa.
Karena sudah berkeluarga, tentu ada momen-momen ketika anak sakit saat Babah bertanding ke luar negeri. Dalam kondisi itu, saya tetap memberi kabar ke Babah. Misal: "Bah, ini anak lagi enggak enak badan, aku bawa ke dokter ya."
Saya tetap laporan. Mungkin Babah juga bisa tenang karena di rumah juga ada Ibu saya yang ikut menjaga. Saya juga berusaha untuk membuat Babah di sana bisa tetap fokus bertanding. Jangan sampai keganggu.
Kalau untuk pengalaman saya sendiri, saat lahiran anak ketiga, Babah lagi di luar negeri. Kalau untuk Chayra, Babah nemenin. Lahiran King, Babah juga nemenin.
Nah pas Aisyah, anak ketiga lahir, Babah waktu itu lagi turnamen di Thailand. Waktu itu turnamen baru aktif lagi setelah pandemi dan langsung turnamen beruntun di Thailand.
Sebenarnya dari segi jadwal, saya lahiran di bulan Februari tetapi akhirnya jadi maju. Secara perkiraan, Babah masih bisa nemenin karena perkiraan lahir setelah turnamen di Thailand selesai.
Mungkin ya, karena waktu itu saya nonton di TV terus waktu itu dari awal pertandingan skor mepet-mepet. Namanya nonton kan tegang. Terus perut terasa kencang.
Gak tahan kan. Akhirnya saya ke rumah sakit dan lahiran duluan. Saya sempat kabari ke Babah.
Jadi waktu itu kita video call. Saya lupa waktu itu Babah sudah selesai main atau belum, tetapi saat saya mau lahiran video call. Kebetulan sama dokternya juga sudah kenal, jadi bisa diizinkan video call.
Salah satu yang paling berat itu memang saat nonton. Tegang. Soalnya kalau babak semifinal dan final itu kan sudah makin ketat. Ya buktinya saya bisa sampai lahiran duluan karena tegang.
Kalau Babah lagi kalah, sebagai penonton ya sedih. Cuma, kalau dulu tuh kayak 'Duh, sayang ya kalah'. Tetapi kalau makin ke sini, terutama setelah periode kedua sama Koh Hendra, lebih bilang kayak 'Ya udah, gak apa-apa'. Begitu.
Misal Babah lagi kalah, begitu pulang itu tidak usah ditanya-tanya dulu soal pertandingan. Biar dia istirahat dulu. Jangan pas pulang dibahas soal pertandingan. Nanti pas sudah beberapa lama baru bisa ditanya soal pertandingan.
Sedangkan kalau pulang dalam kondisi menang, ya senang. Kalau menang kan bawa medali juara. Ya sudah langsung foto-foto.
Saya itu ketemu Babah di Tennis Indoor Senayan tahun 2008. Saat itu kami dikenalkan. Kami lalu menikah di tahun 2013.
Saya itu sempat jadi atlet dan sempat masuk tim PON dan bela Sumatera Selatan. Walau sama-sama jadi atlet, saya belum pernah ketemu Babah semasa junior.
Pebulutangkis Mohammad Ahsan saat sesi wawancara dengan CNNIndonmesia di kediamannya.
CNNIndonesia / Adhi Wicaksono
Saya pada dasarnya juga memang suka sosok atlet. Apalagi Babah dulu masih muda kan. Keren pas bawa tas raket gitu.
Padahal di 2008 kami sama-sama main di PON Kalimantan Timur. Tetapi gak ketemu, baru ketemunya di Tennis Indoor.
Saat saya memutuskan menikah sama babah, hal yang tertanam dalam pikiran saya adalah dia baik. Babah juga kelihatan bertanggung jawab, bukan tipe orang yang macam-macam. Babah juga kelihatan yang paling kalem. Jadi saya yakin.
Setelah berkeluarga dan punya anak-anak, Babah itu termasuk tipe ayah yang dekat dengan anak-anaknya. Kalau misal selesai turnamen dan lagi di rumah, pasti ajak anak-anak main. Jadi anak-anak dekat sama Bapaknya.
Anak-anak juga dari kecil sudah tahu kerjaan Babah. Kadang-kadang anak-anak nanya: "Babah mana?"
Terus kan ada di TV. Jadi mereka bisa lihat: "Oh iya itu Babah."
Mereka sudah paham. Jadi kalau misal Babah sudah siap-siap packing, berarti anak-anak sudah tahu kalau Babah mau kerja. Dari kecil sudah terbiasa.
Kalau nonton di rumah sini, ramai. Kadang sampai lompat-lompatan. Sampai anak-anak bingung sendiri melihat mamanya.
Setelah Babah pensiun, saya berharap Babah tetap berolahraga. Karena dia atlet kan, jadi jangan tiba-tiba stop karena takutnya gak bagus buat badan.
Kalau untuk keputusan Babah pensiun saat ini, kan memang sudah wajar karena sudah faktor umur. Kalau misalkan enggak menang-menang lagi, juga memang sudah waktunya pensiun.
Berbeda dengan saat pisah sama Koh Hendra di akhir 2016 itu. Saat itu hasrat Babah masih tinggi tetapi sempat kesulitan cari partner yang masih belum pas sampai akhirnya balik lagi ke Koh Hendra.
Chayra, King, Aisyah
Untuk
Babah Ahsan
3 dari 11 surat
Babah itu kerjanya pemain badminton. Kalau main badminton, Babah jago banget.
Aku juga pernah ditanya kalau di sekolah: "Ayahnya kerja apa?", jadi aku jawab Ayah aku pemain badminton.
Teman-teman aku banyak yang tahu, banyak yang kenal sama Babah. Kata teman-teman aku, ayah aku keren banget. Kalau misalnya Babah jemput aku, banyak yang minta tanda tangan.
Kalau Babah lagi main, kadang aku nonton di TV, kadang enggak. Aku gak bisa nonton kalau misalnya aku lagi ngerjain PR. Sebenarnya aku ingin nonton, cuma kan harus kerjain PR.
Pebulutangkis Mohammad Ahsan saat sesi wawancara dengan CNNIndonmesia di kediamannya.
CNNIndonesia / Adhi Wicaksono
Kalau nonton Babah main, rasanya deg-degan. Aku kalau nonton Babah ikut berdoa. Kalau Babah kalah, aku sedih sama senang. Senangnya karena nanti berarti Babah bisa pulang.
Kalau Babah lagi libur, aku main bareng. Main bulutangkis, main PS.
Kata Babah, aku pernah ingin ikut naik podium kayak Danish, anaknya Om Owi. Terus akhirnya aku naik podium di Malaysia. Tapi aku gak ingat.
Aku gak tahu Babah juara apa saja, tahunya cuma piala-pialanya saja. Terus kalau ada teman aku datang ke rumah, kata mereka gini: "Gak mau masuk ah, nanti takut kesenggol pialanya."
Aku tahu Babah mau pensiun. Mama kasih tahu aku kayak gini: "Babah kan mau pensiun akhir tahun". Aku gak tanya apa-apa, aku cuma jawab 'Oh'. Gitu doang.
Kalau Babah pensiun, aku gak bisa lihat Babah main badminton lagi di TV. Tapi gak apa-apa, kan Babah yang asli ada di samping aku.
Kalau Babah sudah pensiun, berarti kan enggak main badminton, jadi main sama aku.
Pesan aku sih kayak gini saja: "Babah kan pensiun karena sudah tua."
Terus habis itu, aku kayak gini saja: "Babah jangan cepat tua ya. Biar Babah bisa selalu nemenin aku."
Hendra Setiawan
Untuk
Mohammad Ahsan
4 dari 11 surat
Saat saya gagal lolos Olimpiade 2012, saya cukup kecewa juga. Maksudnya saya berpikir: "Wah empat tahun lalu saya juara, tetapi tahun ini malah gak lolos." Sudah gitu, selisih poinnya cuma sedikit. Jadi saya cukup kecewa juga.
Sebenarnya waktu saya belum berpasangan dengan Ahsan, saya sebenarnya gak terlalu perhatikan junior-junior. Waktu itu kan latihannya juga beda. Terus saya benar-benar fokus ke diri sendiri waktu itu.
Tetapi saya pernah berhadapan dengan Ahsan/Bona di SEA Games 2011. Selain itu kami pernah berpasangan di Sudirman Cup 2009. Waktu itu intinya sederhana, dipasangkan dengan siapapun, saya harus siap.
Waktu itu memang saya melihat Ahsan punya potensi. Cuma karena masih muda, jadi masih perlu dipoles. Tetapi dengan masuk tim Sudirman Cup, itu berarti sudah bagus.
Ketika pada akhirnya saya berpasangan dengan Mohammad Ahsan secara permanen di 2012, saya lebih banyak ngomong. Saya coba sharing pengalaman saya sebelumnya.
Saat mulai bermain dengan Ahsan, saya mikirnya cuma saya pengen masuk Top 10. Itu saja sudah cukup.
Cuma kemudian kami juara Malaysia Open 2013. Terus tahu-tahu dari situ bisa final-final turnamen lainnya dan juara lebih cepat. Saya sih waktu itu ngebayanginnya butuh waktu setahun untuk bisa menembus peringkat delapan ke atas. Ternyata gak nyangka, kami bisa posisi nomor satu dunia.
Kami bisa juara dunia dua kali, juara All England, juara Asian Games. Sebenarnya, meraih medali Olimpiade bagi Ahsan/Hendra itu kesempatan terbesar ada di 2016. Kami sudah latihan maksimal. Cuma memang belum dikasih rezeki saja kali ya.
Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan ketika memenangi All England 2014.
Dok. PBSI
Soal gugup, semua yang main di Olimpiade pasti ada rasa gugup. Mungkin kami gak bisa mengatasi hal itu. Apalagi waktu itu cuma satu pasang yang lolos. Ada pengaruh juga dari faktor itu. Pressure-nya lebih terasa. Kalau dua pasang begitu kan pasti terbagi pressure-nya.
Setelah Olimpiade, saya berpisah sama Ahsan karena saya keluar Pelatnas. Saat itu saya sudah mikir mungkin ini akhir karier lah. Maksudnya, saya mau coba-coba saja partner dengan yang lain.
Waktu itu saya gak mau ajak Ahsan keluar dari Pelatnas, karena di luar Pelatnas Cipayung itu susah. Di luar Pelatnas, kita harus ngurus sendiri semua-semuanya.
Selain itu, saya juga mikir takutnya saya di jalan sudah mau berhenti, nanti Ahsan gak ada partner lagi. Saya memang punya keinginan ajak Ahsan tetapi gak gampang di luar Pelatnas saat itu.
Karena itu saya gak nyangka pada akhirnya bisa kembali pasangan sama Ahsan di 2018. Terus kami bisa meraih tiga gelar bergengsi di 2019, All England, Kejuaraan Dunia, dan BWF World Tour Finals.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan juara All England 2019.
Dok. PBSI
Gak ada rahasia apa-apa di balik keberhasilan itu. Kami gak nyangka bisa dapat tiga gelar itu padahal kalah terus sama Sinyo/Kevin di turnamen-turnamen lainnya. Benar-benar gak menyangka.
Berpasangan dengan Ahsan, juga dengan Markis Kido, saya tidak pernah berantem. Kalau beda pendapat, pasti ada. Cuma balik lagi, kami harus saling menerima. Intinya, harus mendengarkan hal yang dibicarakan oleh partner.
Jadi kalau misalkan di hati gak cocok, tapi di dalam lapangan harus meredam. Kalau gak bisa kontrol emosi, pasti buyar.
Selama jadi partner, Ahsan sempat cedera. Kalau sudah begitu, saya bilang kalau sudah gak bisa, jangan dipaksa. Karena setiap orang ada limitnya.
Tapi sebenarnya saya sendiri juga banyak cederanya. Jadi kalau kami main dan sedang ada yang cedera, biasanya yang cedera itu yang harus lebih banyak ke depan. Yang masih fresh cover di belakang.
Saat memutuskan untuk pensiun, intinya saya ngomong ini adalah tahun terakhir. Dan tampil di Indonesia Masters terakhir. Mungkin Ahsan juga merasa sudah cukup atau capek. Intinya, Ahsan juga mau pensiun.
Ahsan itu tipe yang penuh semangat, kalau saya lihat dia memang tipenya seperti itu. Kalau tipenya begitu, jangan diubah. Kalau disuruh diam saja mungkin mainnya malah gak akan keluar. Sebaliknya kalau saya disuruh teriak-teriak terus, permainan saya juga gak akan keluar.
Dengan bertambah usia, Ahsan juga jadi lebih kalem. Itu wajar. Dulu kan masih muda.
Ahsan itu menurut saya seorang yang lurus. Gak pernah lewat untuk berdoa. Orang yang mau dengar masukan dari orang lain.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan lolos ke final All England 2023.
Dok. PBSI
Sandiani Arief
Untuk
Hendra Setiawan
5 dari 11 surat
Saya pertama kali kenal Hendra itu saat dikenalkan oleh Koh Alvent di awal 2008. Koh Alvent itu kan sepupu saya. Waktu dikenalkan pertama kali, saya belum ada rasa, belum ada apa-apa.
Orang saya waktu pertama kali kenal saja enggak tahu ada atlet namanya Hendra. Iya saya enggak tahu, benar-benar enggak tahu.
Malah adik saya yang tahu. Itu atlet loh, sudah pernah juara ini, ini, ini. Saya kan memang enggak pernah nonton badminton ya, jadi enggak tahu. Kalau mama papa saya, itu tahu. Jadi mama, papa, adik saya tahu semua nama Hendra Setiawan.
Kalau saya memang enggak nonton badminton. Pertandingan Koh Alvent saja saya jarang nonton.
Waktu pertama kenal, ya Hendra minta nomor telepon. Dulu kan zaman-zaman masih SMS kan, jadi baru kenal satu bulan, saya langsung ditembak. Saya kan kaget.
Maksudnya gini lho, waktu pertama kali kenal sampai sebelum ditembak itu SMS-nya kaya biasa gitu loh. Kayak: "Sudah makan?", "lagi ngapain?", kayak gitu-gitu. Gak ada angin, gak ada apa-apa, tahu-tahu SMS nembak.
Waktu itu pertama kali Hendra itu nanya-nanya: "Apa kriteria cowok kamu?" Katanya gitu. Terus saya kayak, loh ini kok tahu-tahu ngomongnya aneh kayak gini.
Ya sudah terus saya jawab: "kriteria cowokku itu, aku suka yang begini, begini."
Terus lanjut-lanjut, tahu-tahu dia nembak. Saya kan kaget. "Ini beneran Hendra?"
Aku takut dikerjain soalnya kan dari awal ngomongnya biasa-biasa. Terus tahu-tahu ditelepon Hendra. Terus dia bilang.
Tapi kan saya enggak langsung terima. Soalnya kan baru kenal. Ya habis itu dia ke Surabaya, akhirnya saya terima.
Setelah pacaran, saya mulai nonton badminton, terus belajar badminton. Jadi sekarang sudah mulai tahu dikit-dikitlah.
Pas Olimpiade 2008, saya nonton Olimpiade bareng sama saudara-saudara di rumah. Waktu itu kan set pertama kalah jauh, jadi setelah itu saya enggak nonton. Saya enggak kuat, saya keluar ke teras rumah. Saya teleponan sama saudara waktu itu.
Jadi saudara saya yang ngomong: 'Waduh San, ketinggalan', kayak gitu.
Set kedua itu saya enggak nonton. Set ketiga, saudara terus cerita. Akhirnya saya masuk lagi ke rumah dan ternyata bisa juara. Set ketiga saya nonton lagi pas mau menang.
Waktu pacaran sama Hendra yang berprofesi sebagai atlet dan sering bepergian serta jarang ketemu, saya sih merasa biasa. Karena kan dari awal memang jarang bareng. Jadi memang sudah biasa LDR gitu. Pacarannya itu memang kayak dalam satu bulan, cuma sehari.
Hendra kan tiap bulan ke Surabaya. Tetapi paling ke Surabaya itu cuma Sabtu-Minggu. Sabtu habis latihan, sorenya dia ke Surabaya. Terus Minggu sore jam 5 atau 6, dia sudah balik lagi ke Jakarta karena Senin sudah latihan. Kayak begitu setiap bulan, jadi ya sudah biasa.
Selama pacaran, Hendra pasti cerita-cerita termasuk soal dia keluar Pelatnas Cipayung di 2009 itu. Karena model pacaran kami itu memang cerita. Saya pun percaya bahwa keputusan yang Hendra ambil adalah yang terbaik.
Pebulutangkis Ganda Putra Hendra Setiawan, saat berlatih pada hari-hari terakhirnya di pelatnas PBSI, Cipayung. Jakarta.
CNN Indonesia / Adhi Wicaksono
Setelah berpacaran tiga tahun, saya menerima lamaran Hendra untuk menikah. Saya lihat Hendra itu selama tiga tahun, saat saya semakin kenal, semakin tahu bahwa Hendra itu sosok yang baik. Dari awal saya sudah tahu bahwa Hendra itu baik, tetapi semakin mengenal ternyata Hendra itu justru semakin terlihat segala kebaikannya.
Pokoknya Hendra ini banyak positifnya. Saya merasa saya dan Hendra itu saling melengkapi.
Saat baru menikah, Hendra tidak lolos Olimpiade 2012. Saat itu saya melihat enggak ada perubahan dari sikap Hendra. Karena Hendra kan memang enggak terlalu banyak ekspresi juga kan. Jadi dia kalau saya lihat biasa-biasa saja.
Hendra itu soalnya kalau misalnya masalahnya bagi dia enggak parah, itu enggak terlalu kelihatan. Jadi kalau misalnya Hendra sudah ngomong dan cerita ke saya, berarti menurut saya itu baru situasinya sudah parah.
Setelah pasangan dengan Ahsan, saya lihat juga tidak banyak perubahan dari Hendra. Dia tetap semangat latihan seperti sebelum-sebelumnya, bahkan hal itu juga terus sama sampai kemarin sebelum pensiun. Yang saya lihat, Hendra lebih berapi-api gitu mungkin di lapangan dibanding sebelumnya yang lebih kalem.
Setelah Olimpiade 2016, saya memang mikir bahwa waktu itu Hendra ambil keputusan yang agak berat. Mau pisah sama Ahsan agak berat. Hendra mikirnya agak lama waktu itu, lebih dipikir-pikir sebelum ambil keputusan.
Waktu itu saya sendiri sudah pasrah. Maksudnya pasrah itu saya pikir mungkin memang kariernya Hendra paling sebentar lagi selesai.
Saya cuma tanya waktu itu, "Yakin ya mau keluar PBSI?"
"Ya, yakin". Begitu kata Hendra waktu itu.
Terus waktu itu saya bilang lagi, "Kalau kokoh [Hendra] keluar PBSI sekarang ini, berarti siap ya enggak bakal main beregu lagi?"
Padahal waktu itu saya tahu Hendra masih punya impian ingin juara beregu, baik itu Thomas Cup atau Sudirman Cup.
Karena itu saya sama sekali gak nyangka kalau ternyata Hendra balik lagi sama Ahsan. Terus masih dikasih kesempatan main di Thomas Cup dan juara. Jadi, impiannya Hendra semuanya tercapai sebelum pensiun.
Soal rencana pensiun, Hendra memang masih bilang mau main selepas Olimpiade 2020 di 2021. Saat itu Hendra tidak berpikir membidik Olimpiade 2024. Hendra cuma masih mau main dan belum ada kepikiran untuk pensiun.
Dia masih mau main, masih mau juara. Masih mau terus mencoba. Eh kok ternyata sampai 2024. Memang pada akhirnya Hendra pengin masuk Olimpiade 2024 tetapi ternyata enggak lolos. Tapi kalau bicara dari 2021, Hendra itu gak langsung pasang target main sampai 2024, tetapi pilih fokus per tahun.
Setelah enggak lolos Olimpiade 2024, Hendra mulai ada pikiran untuk pensiun. Seperti bilang, "Apa memang sudah waktunya pensiun ya". Kayak begitu, tetapi sampai benar-benar yakinnya itu kira-kira bulan sepuluh atau sebelas.
Saat dengar Hendra mau pensiun, saya perasaannya campur-campur. Perasaannya ada senangnya, ada sedihnya.
Senangnya, Hendra akhirnya di rumah, enggak ditinggal-tinggal lagi. Jadi bisa banyak kumpul-kumpul sama keluarga
Sedihnya, saya sama Hendra kan dari awal kenal memang sudah begitu kehidupan Hendra di badminton. Nah, sekarang mau pensiun, mau berhenti, jadi pasti ada yang hilang. Pasti kayak bakal kangen nonton pertandingan.
Sebagai seorang ayah, nomor satu dari Hendra itu adalah sabar. Ke anak-anak kayak ngemong, ngeladenin anak-anak. Tetapi ya tetap tegas. Misal sekolah gak boleh terlambat.
Sebagai suami, Hendra baik dan sabar juga. Nggak pernah marah, sama anak-anak juga sama saya. Malah saya yang marah-marah.
Sebagai istri yang sering ditinggal suami bertanding, sebenarnya gak ada yang susah soalnya sudah biasa. Tetapi pernah sekali waktu itu ada kejadian.
Hendra ini orangnya kalau pertandingan itu harus dijaga hatinya. Maksudnya, kalau dia lagi main, jangan sampai di rumah itu ada masalah. Karena itu bikin Hendra kepikiran.
Jadi waktu itu, pas Hendra ada pertandingan di Australia, Richard sakit. Richard sakit panas sudah beberapa hari, tetapi saya nggak ngomong soalnya Hendra masih main.
Entah dia kayak punya perasaan atau gimana, dia itu tanya terus: "Anak-anak gak apa-apa?" Terus saya bilang anak-anak nggak apa-apa, padahal si Richard nangis-nangis badannya panas.
Waktu Hendra selesai main di final, baru saya ngomong kalau anaknya panas tapi nggak apa-apa. Besoknya Hendra pulang ke rumah kaget, lihat pipinya Richard gede, akhirnya masuk rumah sakit.
Sebagai istri atlet, saya lebih nyaman nonton di TV. Soalnya kalau di TV itu lebih jelas kelihatan. Tetapi karena lebih jelas, justru lebih tegang kalau nonton di TV. Kan kelihatan jelas ekspresinya Hendra, soalnya di-zoom.
Tapi kalau bicara lebih senang, lebih senang nonton langsung. Lebih kerasa atmosfernya.
Setelah berkeluarga, saya juga kebanyakan nggak berani nonton terus-terusan kalau Hendra main. Soalnya kadang sakit perut gitu loh. Kadang sakit perut jadi nggak berani lihat. Kalau sekarang di rumah, saya nonton sama anak-anak, terutama Richelle yang sering nonton, nanti dia yang kasih tahu. Poinnya begini, begini.
Setelah Hendra pensiun, harapannya semoga sekarang Hendra bisa lebih bersantai dan menikmati hidup. Soalnya yang saya lihat, kemarin-kemarin saat Hendra masih aktif sebagai atlet, kehidupan atlet itu tuh kayak berat. Latihan terus kayak enggak ada waktu untuk diri sendiri rasanya.
Kayak pas latihan, terus main turnamen, harus fokus enggak bisa diganggu. Jadi saya sebagai orang yang bukan atlet, ngelihat Hendra itu kayak: "Aduh kok susah ya jadi atlet". Nah makanya sekarang harapannya Hendra bisa lebih santai, lebih enjoy.
Selain itu, harapan saya juga Hendra kan sudah mulai ada beberapa bisnis. Semoga bisnisnya lancar.
Richard, Richelle, Russell
Untuk
Papa Hendra
6 dari 11 surat
Kita tahu kalau profesi papa itu atlet. Kerjaannya main badminton. Jadi atlet badminton maksudnya.
Kita seneng punya Papa Hendra. Seneng kali infinity [tak terbatas]. Bangganya infinity.
Kalau papa lagi ke luar negeri, yang kita kangenin itu soalnya kita gak bisa diantar sekolah, gak bisa tidur bareng, gak bisa pergi ke mall bareng, gak bisa main bareng.
Kalau nonton papa di TV kita deg-degan banget. Kalau papa menang, kita seneng, seneng banget. Kalau kalah, kita ikut sedih.
Papa terkenal di sekolah. Banyak guru yang tahu, Teman-teman kita juga tahu.
Papa enggak pernah marah di rumah. Eh jarang, eh enggak, enggak pernah.
Kita itu paling senang kalau papa bisa tidur bareng, bisa anter sekolah, bisa duduk bareng, bisa main ke mall bareng, bisa makan bareng.
Kita tahu papa mau pensiun. Pensiun itu gak main badminton lagi.
Harapannya, bisnis papa lancar terus, sama bisa sukses.
Semoga juga bisa nganter sekolah bareng setiap hari.
I love you, papa.
Yoppy Rosimin
Untuk
Ahsan / Hendra
7 dari 11 surat
Saat itu ada kejuaraan, Ahsan masih muda. Terus tim pelatih kami yang ada di Jakarta itu melihat sosok Ahsan. Bersamaan juga dengan Owi. Mereka tertarik.
Kemudian mereka bertemu dengan Ahsan dan Owi, pelatih mereka yang mendampingi, dan juga klub. Kami memberikan opsi untuk bergabung dengan PB Djarum. Mereka juga tertarik. Akhirnya berlanjut bertemu lebih intensif di GOR Djarum Petamburan untuk penjajakan.
Ibaratnya mereka tes. Akhirnya cocok dan diterima. Ahsan dan Owi resmi masuk PB Djarum tidak berbeda jauh, hampir berbarengan.
Ketua PB Djarum Yoppy Rosimin.
CNN Indonesia / Adi Maulana Ibrahim
Kalau saya melihat Ahsan itu sebagai sosok yang memang punya potensi besar, talenta besar. Dia punya kemauan besar untuk jadi bintang bulutangkis. Dari sejak awal sudah kelihatan potensi besarnya.
Dari awal saat Ahsan dan Bona merintis dari bawah menuju elite dunia itu terbilang lancar. Tetapi begitu di Top 10 itu rada tersendat-sendat.
Kemudian Ahsan berpasangan dengan Hendra. Sebenarnya Ahsan dan Hendra sudah sempat berpasangan saat kejuaraan beregu dan hasilnya bagus.
Begitu Ahsan dan Hendra jadi pasangan permanen, saya optimistis. Bukan hanya saya, tetapi juga banyak orang yang mengerti bulutangkis. Ternyata benar, memang kualitasnya bagus banget dua-duanya.
Saat era itu, saya kan juga jadi pengurus di bidang pencarian dana dan sponsor. Ahsan/Hendra itu top levelnya bulutangkis Indonesia saat itu.
Mereka selalu nomor satu. Pada saat bidding pertama sponsor individu. Nomor satu itu Owi/Butet, Ahsan/Hendra, baru yang lain.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan di Piala Sudirman 2015.
Dok. PBSI
Selain itu PB Djarum kan punya tradisi untuk memberikan apresiasi. Jadi Ahsan termasuk jadi orang yang menerima bonus berkali-kali. Paling banyak itu panennya.
Soal kegagalan Ahsan/Hendra di Olimpiade 2016, memang Olimpiade itu misteri. Setelah Olimpiade, mestinya memang mereka sudah berumur.
Sehingga mereka mau mencari suasana baru, cari partner baru. Tetapi setelah beberapa saat ternyata tidak sesukses sebelumnya. Akhirnya ngapain? Daripada cari-cari yang lain, lebih baik menghimpun kekuatan lama lagi agar lebih bersinar dan mereka berhasil.
Menurut saya, Ahsan/Hendra bisa bangkit karena mereka sadar kekuatan mereka. Mereka sadar untuk kembali bersatu.
Ahsan/Hendra itu punya teknik yang tinggi sekali. Sehingga pada saat harus membutuhkan speed and power yang luar biasa di ganda, mereka bisa mengatur itu. Kapan harus kencang, kapan harus defense.
Jadi, kalau nggak punya teknik tinggi enggak akan akan bisa.
Ahsan itu salah satu pemain dengan smash yang arahnya biasa sangat bervariasi. Tidak seperti orang umum, oh bisa ditebak ke kanan, ini ke kiri. Kalau Ahsan, bisa mengubah arah seketika.
Itu yang istimewa dari dia, tekniknya tinggi sekali. Bisa lurus, bisa bengkok. Makanya itu juga mungkin salah satu yang membuat pinggangnya mulai bermasalah setelah berumur.
Coba dulu waktu muda, waduh bisa diminta smash terus. Mulai umur 30-an mungkin mulai terasa. Ahsan mulai mengatur cara mainnya. Turunin bola dulu dan tidak asal smash. Dulu waktu muda kan, wah benar-benar smash maut itu.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan di Piala Sudirman 2015.
Dok. PBSI
Soal smash Ahsan, kelihatannya itu kemampuan dari bawaan lahir. Jadi kalau mau ditiru, ya mungkin bisa tetapi tidak seperti originalnya. Jadi Ahsan punya keistimewaan di situ.
Soal keberhasilan Ahsan/Hendra terus bermain di level kompetitif hingga usia 37 dan 40 tahun, saya kira pemain lain juga bisa mengikutinya. Tinggal soal menjaga diri sehari-hari.
Saya pernah dapat cerita saat mereka punya anak. Kalau anak balita atau umur setahun kan rewelnya tidak bisa diprediksi. Nah para istri mereka itu bisa mengatur. Jangan sampai istirahat suaminya terganggu oleh tangisan bayi di tengah malam.
Jadi penting sekali peran dari istri-istri Ahsan dan Hendra. Istri Ahsan dan istri Hendra itu luar biasa. Karena mereka bisa mengatur dengan baik waktu istirahat suami mereka dengan baik.
Ahsan itu baik sekali terhadap klub. Kalau PB Djarum butuh dirinya untuk membela di kejuaraan, dia selalu siap. Padahal dia sudah pemain top dunia. Partner siapa saja dia juga siap. Untuk kejuaraan beregu atau Superliga, dia selalu siap.
Terus perhatiannya pada pembinaan klub juga sangat besar. Karena dia mengerti ia berasal dari mana dan orang yang mau masuk PB Djarum itu susahnya setengah mati. Jadi Ahsan juga ikut melayani peserta yang hadir dalam audisi. Orangnya juga humble dan sangat perhatian. Itu bawaan dia sehari-hari.
Ahsan/Hendra itu salah satu legendanya ganda putra Indonesia. Jadi juara dunia berkali-kali. Yang belum kan memang Olimpiade untuk Ahsan, tetapi memang itu susah. Secara kualitas teknik, mereka jago banget.
Ahsan/Hendra itu di lapangan juga dihormati oleh banyak pemain ganda dunia. Orang menaruh respek terhadap mereka. Karena sikap mereka baik di lapangan maupun di luar lapangan terjaga dengan baik.
Imelda Wiguna
Untuk
Ahsan / Hendra
8 dari 11 surat
Awal masuk Hendra ke Jaya Raya itu karena kami kan sudah kenal baik lebih dulu dengan orang tuanya. Orang tuanya kan asal Pemalang dan juga punya klub. Jadi orang tuanya menitipkan Hendra ke Jaya Raya.
Saat itu kan postur Hendra bagus, kemudian mainnya juga oke. Tetapi anaknya memang pendiam sejak awal.
Imelda Wiguna Pembina PB Jaya Raya.
CNN Indonesia / Adi Maulana Ibrahim
Awalnya Hendra tentu main di tunggal dulu. Tetapi karena prestasi di tunggal tidak terlalu wah, akhirnya pindah dan main di ganda.
Saat Hendra masuk Pelatnas Cipayung, aku lihat Hendra tidak mengalami kesulitan untuk adaptasi walau seniornya saat itu terbilang punya prestasi yang hebat-hebat.
Hendra itu kan soal membawa diri terbilang bagus. Namun yang harus kita semua tahu, kalau atlet sukses itu pasti juga karena usahanya yang luar biasa.
Hendra itu selalu menambah porsi latihan. Kebetulan saat itu Christian Hadinata juga masih aktif memantau di nomor ganda putra. Jadi peran Christian juga sangat besar bagi Hendra dan Markis Kido.
Ketika Hendra dan Kido kembali berpasangan di Pelatnas Cipayung, memang menurut aku itu pasangan yang paling cocok dan pas. Meskipun kalau dilihat dari postur tubuh kayak kebalik ya, harusnya yang tinggi itu kan di belakang.
Kalau Kido dan Hendra, kan Kido yang lebih banyak bertugas menyerang, jadi Kido lebih sering di belakang. Sedangkan Hendra main di depan netnya itu bagus banget. Jadi mereka pasangan yang ideal.
Jadi menurut aku, sudah kelihatan bahwa mereka bakal sukses. Karena keduanya juga semangat.
Saat mereka bisa juara Olimpiade Beijing 2008, salah satu kuncinya yang juga merupakan barang langka di Indonesia, itu karena mereka punya mental kuat.
Keduanya saling mendukung dan faktor mental keduanya yang paling hebat. Bagus banget. Kalau enggak punya mental, gak akan bisa juara di sana sini kan?
Yang satu garang, yaitu Kido. Yang satu tenang, yaitu Hendra, Keduanya juga enggak saling menyalahkan. Jadi klop.
Saat Kido/Hendra memutuskan keluar Pelatnas Cipayung, ya kaget juga. Tetapi kalau pemain sudah dewasa seperti itu dan berpengalaman, kami tahu pasti ada alasan kuat.
Gak mungkin juga kami bilang: "jangan".
Mereka pasti sudah tahu apa yang mereka lakukan.
Saat mereka keluar Pelatnas Cipayung, aku masih yakin bahwa mereka bisa tetap berprestasi dan hebat. Kan masih bisa juara Asian Games kan?
Karena sebagai mantan atlet, aku kan juga bisa menilai ya. Ketika pada akhirnya Kido dan Hendra berpisah, aku juga masih yakin bahwa mereka masih bisa tetap hebat dengan pasangan baru masing-masing.
Dan pada akhirnya Kido juga bisa bagus kan sama Gideon, begitu juga Hendra sama Mohammad Ahsan.
Soal Ahsan, aku melihat dia memang pemain bagus. Saat Ahsan/Hendra berpasangan, aku lihat tentu ada penyesuaian dan perubahan permainan dari Hendra. Karena kalau menurut aku bola-bola Kido itu istimewa dan susah banget diprediksi, jadi tentu saat Ahsan/Hendra berpasangan, ada perubahan pola permainan.
Pebulu tangkis ganda putra Indonesia Hendra Setiawan (kanan) dan Mohammad Ahsan (kiri) berpose usai mengalahkan ganda putra Taiwan Chiang Chien-Wei dan Wu Hsuan-Yi pada babak 32 besar Daihatsu Indonesia Masters 2025 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (21/1/2025). Ahsan/Hendra melaju ke babak 16 besar usai menang dengan skor 21-19, 22-20.
ANTARA FOTO / Fauzan / rwa
Dan pada akhirnya Ahsan/Hendra bisa bertahan lama sebagai pasangan. Kalau menurut aku, itu karena mereka berdua sama-sama tahu, sama-sama sadar diri. Apalagi ketika mereka berdua main profesional.
Sedangkan soal Hendra yang bisa bertahan lama main di dunia badminton, sampai umur 40 tahun, itu karena masa jaya seorang atlet ditentukan pola hidup.
Karena dia kan gak sembarangan orangnya. Gak begadang malam-malam, gak merokok, gak minum minuman keras. Jadi dia memang hidup sebagai atlet, bukan hidup sebagai selebriti gitu kan.
Hendra itu benar-benar luar biasa. One of the best. Orangnya tuh humble banget, rendah hati banget.
Pengalaman yang gak mungkin aku lupa, saat pertandingan beregu yang melibatkan junior juga. Nah Hendra itu bisa jadi panutan. Karena meski dia sudah juara Olimpiade, juara di mana-mana, tetapi ketika ikut kejuaraan beregu yang melibatkan junior, dia masih mau menelepon, kasih tau adik-adiknya.
Nanti kalau ada pakaian kotor dikumpulkan oleh Hendra untuk di-laundry. Bahkan setelah selesai laundry, dia juga yang mengatur.
Itu menurut aku sebuah kejadian yang langka. Jarang banget senior itu mau melakukan itu untuk juniornya. Yang ada kebanyakan senior itu nyuruh-nyuruh junior.
Kalau menurut aku, salah satu atlet Indonesia yang terbaik, dari segi attitude dan lain-lainnya ya itu Hendra.
Untuk ke depannya buat Hendra, mesti hati-hati jangan salah pilih. Banyak berdoa supaya langkah hidup selanjutnya tidak salah. Karena kan semuanya terbuka lebar-lebar untuk dia.
Pasti banyak tawaran ini, tawaran itu. Tetapi sebelum memutuskan, berdoa dulu. Supaya keputusan tidak salah. Karena kalau sudah salah kan menyesal. Nah kalau menyesal, kan tidak ada obatnya. Yang paling tidak bisa diobati itu penyesalan karena tidak bisa balik lagi.
Pesan aku terakhir, please Hendra balik lagi ke Jaya Raya, jadi Ketua.
Herry IP
Untuk
Ahsan / Hendra
9 dari 11 surat
Waktu itu di Swiss Open 2012, saya satu kamar dengan Aryono. Aryono saat itu masih jadi pelatih ganda putri, dan saya satu kamar sama Aryono di turnamen itu.
"Her, Hendra mau balik lagi ke Pelatnas. Lu masih mau terima nggak?"
Begitu kata Aryono saat itu.
Ya boleh saja saya bilang. Saat itu Hendra berstatus pemain di luar pelatnas. Kalau memang mau masuk, silakan diurus urusan yang di luar. Nanti saya bantu ngomong sama PBSI.
Terus pas sesi latihan di warming up court, Hendra menghampiri saya. Duduk tuh dia. Dia bilang: "Koh, saya mau ngomong."
Saya bilang: "Mau ngomong apa?"
Padahal saya sudah tahu karena Aryono sudah cerita kan.
Yang Hendra tanya pertama saat itu adalah: "Koh, saya masih bisa prestasi gak?"
Itu pertanyaan dia yang pertama. Jadi bukan Hendra langsung bilang mau balik lagi.
Atas pertanyaan itu lalu saya bilang bahwa Hendra masih bisa berprestasi karena dia masih muda kan saat itu. Lalu saya tanya kenapa memangnya, barulah kemudian Hendra cerita soal keinginan dia untuk kembali masuk Pelatnas Cipayung.
Pelatih ganda putra, Herry IP tengah memantau latihan ganda putra.
CNN Indonesia / Putra Permata Tegar Idaman
Saya lalu bilang bahwa Hendra urus segala urusan di luar untuk bisa masuk PBSI. Saya urus dan bantu ke PBSI.
Saya masih mau menerima Hendra karena memang dia masih punya potensi. Waktu itu juga sektor ganda putra gak ada pemain yang menonjol. Kosong pemainnya.
Pertama kali saya ngomong ke Koh Christian Hadinata, lalu Koh Chris yang bilang ke pengurus, yaitu Pak Yacob Rusdianto yang saat itu jadi Sekjen PBSI. Intinya PBSI bersedia menerima.
Kalau Ahsan, saat bersama Bona memang bisa sampai delapan besar Olimpiade London 2012. Setelah selesai Olimpiade, saya putar pasangan tuh. Ahsan sama Hendra dan Bona sama Fran.
Setelah Ahsan dan Hendra pasangan, saya pun tidak bisa tahu pasti. Ya memang dicoba dulu. Tetapi saya yakin dengan cara mereka main, pola mereka ini klop banget. Hendra di depan dan Ahsan kan memang lebih banyak main di belakang.
Itu dari sudut pandang saya karena saya tahu standar mereka. Tapi kalau target langsung juara di mana-mana, jujur saja belum.
Ketika Hendra balik ke Pelatnas, tidak ada cerita fisik dia drop. Dia kembali masuk ke pelatnas itu kondisinya sudah siap main. Skill Hendra itu di atas rata-rata, tekniknya di atas rata-rata, dan cara mainnya efisien.
Herry IP, Mohammad Ahsan, dan Marcus Fernaldi Gideon saat menjalani persiapan Piala Sudirman 2021 di Finlandia.
Dok. PBSI
Hendra tidak terlalu tergantung sama fisik. Bila diibaratkan persentase, dalam permainan itu teknik Hendra itu mendominasi 60-70 persen, sedangkan kebutuhan fisiknya paling 30 persen. Begitulah kira-kira.
Sebagai pasangan baru, Ahsan dan Hendra itu langsung fokus latihan. Konsentrasi. Karena mereka pasangan baru jadi kan harus mengejar yang lain.
Saat itu kan masih ada Lee Yong Dae/Ko Sung Hyun terus juga masih ada Cai Yun/Fu Haifeng. Tetapi setelah Ahsan/Hendra bisa juara di Malaysia, lalu Singapura, dan Indonesia, saya melihat kansnya cukup bagus di Kejuaraan Dunia 2013.
Waktu Kejuaraan Dunia 2013 berlangsung, bagi saya saat itu, bukan karena saya over confident, tetapi saya merasakan ada kepercayaan diri lebih saat itu. Karena persiapan Ahsan/Hendra cukup baik dan cukup bagus.
Dari awal hingga babak final tidak ada rubber game, semua straight game. Saat di semifinal bertemu Cai Yun/Fu Haifeng, mereka bertemu saya di warming up court.
Mereka bilang kira-kira gini kalau ditranslate: "Gua ketemu anak buah lu, udah kalah cepet nih gua". Gitu kira-kira.
Sedangkan saat final berjumpa Mathias Boe/Carsten Mogensen, dari segi permainan mereka memang gak cocok dengan pola main Ahsan/Hendra.
Ahsan saat itu masih muda dan lagi hebat-hebatnya. Sedangkan Hendra walau sudah berumur, tetapi bisa membimbing Ahsan. Jadi memang saat itu mereka benar-benar tidak ada lawan. Di depan ditutup sama Hendra, di belakang dihajar terus sama Ahsan.
Setelah bersinar dan mengilap di 2013, tantangan untuk Ahsan/Hendra tentu berubah. Kalau untuk merebut kan jauh lebih mudah dibanding mempertahankan. Jadi saya lihat masuk ke 2014 itu, sudah mulai ada rasa tegang-tegangnya.
Karena kan di 2014 sudah mulai terus jadi unggulan. Saingan utamanya kan Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong.
Di 2014, Ahsan/Hendra menang All England. Sebenarnya saya rasa mereka sudah bisa juara di 2013. Tetapi saat itu mereka kepeleset.
Saat All England 2014, keinginan juara Ahsan/Hendra itu sudah terlihat sangat besar. Jarang banget lihat Hendra teriak, dan kalau Hendra teriak berarti dia pengen banget tuh jadi pemenang di pertandingan itu.
Setelah itu Ahsan sempat cedera pinggang. Cedera Ahsan itu kan memang kambuhan. Kadang hilang, kadang datang. Jadi gak pasti.
Kalau persiapan menghadapi kejuaraan, jangan terlalu dipaksakan. Kalau Ahsan sudah terasa, jangan dipaksa lebih baik istirahat dulu, terapi, baru nanti latihan lagi.
Saat Asian Games 2014, Ahsan/Hendra saat itu kalau tidak salah head to head nya kalah 1-4 atau 1-5 gitu lawan Lee/Yoo. Sebelum final itu saya ada omongan bahwa saya ingin dikasih medali emas Asian Games karena ini adalah kejuaraan yang belum pernah bisa saya antarkan pemain saya jadi juara.
Selain itu dari info-info yang ada, posisi saya waktu itu juga mau diganti. Benar atau salah informasi tersebut saya tidak tahu, tetapi yang saya dengar begitu. Hal itu saya utarakan ke mereka sebelum pertandingan.
Setelah dapat medali emas, Ahsan/Hendra bilang mendedikasikan kemenangan itu buat pelatih. Karena memang posisi saya waktu itu dibilang gak bagus. Rumor itu benar atau tidak, akhirnya tidak pernah terkonfirmasi. Ya mungkin kalau gak juara, bisa saja saya diganti.
Saat masuk ke 2015, Ahsan/Hendra tetap stabil dan bisa jadi juara dunia 2015 di Jakarta. Saat itu mereka jadi harapan satu-satunya di babak final. Satu-satunya andalan. Harapan PBSI, harapan masyarakat. Yang saya lihat saat itu motivasi mereka begitu luar biasa untuk jadi pemenang.
Saat Ahsan/Hendra gagal di Olimpiade 2016, saat itu mereka motivasinya masih bagus. Cuma memang kondisi fisiknya yang menurun.
Itu hal pertama. Kedua, memang ada rasa tegang waktu itu. Karena waktu itu Ahsan/Hendra jadi yang diharapkan, jadi andalan. Jadi mungkin Ahsan/Hendra merasa nervous.
Karena pressure yang tinggi, permainan mereka tidak keluar semua. Servis Hendra sering nyangkut. Memang ada pula pengaruh dari segi usia yang makin berumur karena lawannya juga lebih muda. Tetapi saya lihat faktor besar itu soal pressure.
Setelah Olimpiade 2016, Hendra bilang mau keluar Pelatnas Cipayung. Ahsan konsultasi sama saya. Saya bilang jangan keluar saat itu. Kalau Ahsan keluar, bisa selesai. Lu mau sparring sama siapa? Begitu kata saya waktu itu.
Ganda putra Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon berhasil merebut gelar juara di ajang China Open 2019 usai mengalahkan senior mereka, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan dengan skor 21-18, 17-21, 21-15.
Dok. PBSI
Akhirnya Hendra partner sama Tan Boon Heong di luar. Ahsan saya pasangkan dengan Rian Agung. Lumayan juga bisa sampai final Kejuaraan Dunia.
Saya memang berpikir bahwa saat itu Hendra sedang persiapan untuk pensiun jadi saya pasangkan Ahsan dengan pemain muda. Ya tetapi mungkin seiring waktu berjalan, Hendra mungkin merasa tidak cocok dengan Tan Boon Heong, mungkin karena jarang latihan bersama.
Ahsan juga merasa kurang cocok sama Rian meski secara prestasi juga tidak jelek-jelek amat. Nah tahu-tahu mereka balik lagi bersama. Balik lagi Ahsan sama Hendra.
Saat itu Ahsan bilang mau partner lagi sama Hendra. Cuma Hendra mengajak di luar Pelatnas. Saya bilang, kalau di luar, sparring bakal susah. Mending di dalam.
"Emang boleh?" begitu kata mereka. Akhirnya saya ngomong sama Susy Susanti.
Waktu itu Minions lagi naik-naiknya. Minions itu harus ada senior yang menjaga. Karena dua-duanya, Marcus dan Kevin kan masih anak-anak muda.
Jadi saya bilang sama Susy, biarkan saja ini dua senior, Ahsan/Hendra berstatus di luar pelatnas dan profesional. Tetapi kasih kesempatan latihannya tetap di dalam.
Nanti kita banyak dapat untungnya. Para pemain bisa sparring sama senior seperti Ahsan dan Hendra, bola mereka kan masih bagus. Sekalian juga mereka bisa kontrol karakter pemain-pemain yang muda. Karena pemain muda pasti segan kan sama seniornya.
Ternyata usul itu diterima sama pengurus. Jadi mereka latihan di dalam dengan status profesional. Maksud saya, ya sudah mereka biar menikmati sisa beberapa tahun dalam karier mereka. Gak usah lagi dipaksa kayak pemain-pemain muda lainnya.
Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto juara Malaysia Masters 2022, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan runner-up.
Dok. PBSI
Nah di 2019, ternyata Ahsan/Hendra bisa juara All England, Kejuaraan Dunia, dan BWF World Tour Finals.
Di All England, saya bilang itu pertolongan Tuhan. Soalnya kan Hendra saat itu jalan saja susah. Kalau tidur kakinya nyut-nyutan.
Betis kanan Hendra ketarik waktu itu, jalan pincang. Nah di final saya bilang kalau bisa main, ya main. Kalau gak bisa, ya sudah WO saja daripada sakit. Terus Hendra ke fisioterapis dan dia bilang mau coba.
Di final ketemu Aaron Chia/Soh Wooi Yik dan kalah di gim pertama. Saya bilang coba ubah pola. Jadi benar-benar seperti main mixed doubles. Hendra di depan dan Ahsan di belakang cover. Tidak perlu ada rotasi.
Nah pas main, ganda Malaysia malah kelihatan kagok. Kayak gak bisa main. Di situ saya lihat mental juaranya Ahsan/Hendra kelihatan. Enggak gampang main dengan kondisi seperti itu, tentu juga karena pertolongan Tuhan.
Yang pertama, pertolongan Tuhan karena Hendra jalan saja sudah pincang, bagaimana dia bisa main?
Dan yang kedua, tentu mental juara. Walau kondisi sakit kayak apapun, mereka gak gampang menyerah, gak mau kalah. Masih mau berusaha dalam kondisi sulit tetap bertahan dan menyerang.
Hal itu yang kemudian terulang di semifinal Kejuaraan Dunia 2019. Saat itu kalau dari segi kecepatan dan tenaga, Ahsan/Hendra sudah kalah dari Fajar/Rian. Tetapi kematangan mental juara itu yang membuat mereka sulit dilewati. Mental juara mereka terlihat di saat-saat kritis.
Waktu itu, istilahnya, Fajar/Rian masih bisa diakalin sama Ahsan/Hendra.
Saya kaget banget Ahsan/Hendra bisa juara dunia. Karena saat itu seharusnya sudah mulai masa-masa mereka agak turun karena umur. Selain itu mereka kan juga tidak terlalu dijagokan.
Setelah itu persaingan menuju Olimpiade ketat cuma kemudian ketutup sama Covid. Bubar semuanya. Nah saat itu peak performance Minions harusnya di 2020. Karena satu tahun gak ada turnamen jadi menurun.
Ahsan/Hendra juga menurut saya rezekinya kurang bagus. Kenapa? Karena seminggu mau berangkat Hendra positif Covid. Jadi saat seminggu training camp di Jepang juga latihan ala kadarnya karena tidak bisa meningkatkan kondisi fisik setelah Covid.
Nah itu yang mungkin kemudian berpengaruh pada saat semifinal dan perebutan perunggu. Saat itu Ahsan/Hendra tenaganya sudah habis. Karena kan persiapan mereka terkendala, apalagi lawannya juga bagus-bagus.
Masuk semifinal dengan kondisi seperti itu sudah luar biasa menurut saya. Hendra itu gak gampang menyerah dan dia paksa terus.
Durasi main Ahsan/Hendra di periode kedua berpasangan bahkan lebih lama dibanding periode pertama. Menurut saya itulah perjuangan seorang ayah. Tanggung jawab seorang ayah.
Mereka kan sudah punya keluarga, jadi tanggung jawab buat keluarga itu besar dalam diri mereka. Mereka juga menikmati main dengan status profesional.
Selain itu mereka juga tanggung jawab sama sponsor. Rasa tanggung jawab itu buat mereka jadi lebih hebat lagi, dan ini harus ditiru pemain-pemain muda.
Soal Ahsan dan Hendra, ada perbedaan di antara keduanya. Kalau dalam hal marah, Ahsan itu ngomong. Misal dia gak cocok sama program saya, dia ngomong.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan saat tampil di China Masters.
Dok. PBSI
Kalau Hendra enggak. Hendra diam. Hendra juga bisa marah cuma dia tidak kasih lihat ke orang lain. Kalau saya sih sudah tahu kalau Hendra marah. Pokoknya, asem kelihatan mukanya hahaha.
Terus soal bimbingan ke junior, Ahsan dan Hendra itu juga ada perbedaan. Kalau Ahsan masih ngomong dan kasih tahu ke juniornya. Misal dia bilang: "Elu jangan begini, elu jangan begitu."
Nah kalau Hendra enggak pakai ngomong. Dia pakai perbuatan. Misal kalau soal latihan jangan telat, nah Hendra cukup datang lebih duluan, lebih pagi. Jadi yang muda-muda otomatis sungkan. Begitu juga latihan drill. Hendra masih suka tambah-tambah.
Banyak yang bisa ditiru dari Ahsan/Hendra, semuanya bahkan. Kedisiplinan dan juga sifat tidak sombong. Saat belum dan setelah juara, kehidupan mereka itu tidak berubah. Memang tetap ada perubahan tetapi tidak signifikan.
Selain itu tentu juga prestasi mereka yang harus ditiru. Namun untuk bisa mencapai prestasi itu,ada tahapan-tahapan yang harus dilalui dan itu tidak gampang.
Setelah pensiun, saya harap Ahsan dan Hendra bisa menularkan ilmunya kepada para pemain muda, mungkin nanti sebagai pelatih, penasihat, atau peran lainnya.
Setelah ini, mereka akan kembali ke masyarakat. Jadi masyarakat. Semoga bisa berbaur karena tidak mudah setelah mereka selama ini menjalani kehidupan sebagai atlet. Semoga semua perubahan itu bisa lancar dan tidak membuat mereka kaget.
Aryono Miranat
Untuk
Ahsan / Hendra
10 dari 11 surat
Hendra bertemu saya di Swiss Open. Saat itu dia berstatus atlet luar pelatnas. Hendra menyampaikan keinginan untuk kembali ke Pelatnas.
Karena saat itu saya jadi pelatih ganda putri, saya lalu sampaikan keinginan itu ke Herry IP. Dan ternyata setelah Olimpiade 2012, saya dipindah ke nomor ganda putra untuk jadi asisten Herry.
Kalau ada yang tanya kenapa Hendra pilih bilang ke saya lebih dulu dan gak langsung ke Herry, mungkin karena waktu itu kan kalau ketemu turnamen di luar sering ngobrol-ngobrol. Selain itu, Hendra juga pernah sama saya di pelatnas pratama.
Jadi mungkin dia merasa berani bertanya: "Apakah saya masih bisa berprestasi?". Saat itu saya juga bilang bahwa kalau usia masih 28, masih bisa berprestasi. Nanti saya coba bilang sama Herry. Saya lalu lapor sama Herry, di-follow up dan akhirnya masuk lagi.
Aryono Miranat dalam latihan jelang BWF World Tour Finals 2023 yang berlangsung di Hangzhou, 13-17 Desember 2023.
Dok. PBSI
Saya itu pernah pegang Hendra saat dia baru masuk Pelatnas di 2001. Saya pegang nomor pratama ganda putra.
Tapi sebenarnya soal ketemu Hendra, saya sudah pernah melihat dia saat saya masih jadi pelatih klub di PB Djarum. Kan pemain PB Djarum sering ketemu pemain Jaya Raya. Saat itu saya lihat Hendra dan Markis Kido itu memang bagus, susah mengalahkan mereka. Potensial bisa dibilang mereka itu.
Waktu Hendra masuk Pelatnas, Pelatnas Cipayung itu isinya masih banyak senior. Tetapi gak masalah walaupun Hendra pendiam. Karena yang terpenting dia enggak buat salah. Enggak buat macam-macam dan lurus-lurus saja.
Setelah dari ganda putra, saya dipindah jadi asisten ganda campuran menemani Richard Mainaky. Saat itu saya tidak memegang Hendra lagi.
Tetapi melihat Kido/Hendra saat itu, dan keberhasilan pemain muda memenangkan medali SEA Games membuat saya sempat yakin bahwa Kido/Hendra memang bakal berprestasi dan terbukti di 2008 mereka dapat medali emas Olimpiade.
Sedangkan Ahsan, saya tidak terlalu memperhatikan di awal dia masuk ke Pelatnas Cipayung. Karena saat itu saya tugas di ganda campuran lalu pindah ke ganda putri. Jadi saya cuma sedikit tahu bahwa ia punya pukulan smash yang bagus. Saya pernah lihat dia main memang serangannya bagus.
Ganda Putra Indonesia Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan berusaha mengembalikan kok ke ganda putra Cina Han Chengkai dan Zhou Haodong saat pertandingan semifinal Daihatsu Indonesia Masters 2019 di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (26/1/2019).
ANTARA FOTO / Hafidz Mubarak A / hp
Waktu awal Ahsan/Hendra berpasangan memang tidak mudah. Hendra waktu itu masih ada cedera lutut. Kemudian berpasangan dengan Ahsan yang juniornya dia. Lalu juga gagal di Olimpiade. Mungkin bisa dibilang pikirannya masih galau, apakah duet baru ini bisa berhasil atau tidak.
Ahsan itu termasuk pemain dengan smash yang keras. Dia juga bisa main di depan selain bertugas menyerang di belakang. Hendra juga bisa bagus main di depan dan di belakang. Dan rotasi bagus itu sudah terlihat sejak mereka berpasangan.
Ternyata duet Ahsan/Hendra berhasil. Prestasi mereka bagus. Tahun 2013 dan 2014 langsung tancap gas, bisa dua kali juara dunia dan juara Asian Games. Mereka bisa raih gelar di turnamen-turnamen besar tetapi kemudian tak bisa berprestasi di Olimpiade 2016.
Saat itu saya ikut ke Brasil tetapi hanya sebagai pendamping di training camp karena keterbatasan jumlah akreditasi yang didapat. Menurut saya, memang Olimpiade itu pressure-nya tinggi. Pemain yang diunggulkan bisa gagal. Padahal Ahsan/Hendra waktu itu juga baru juara dunia dan juara BWF Super Series Finals di akhir 2015.
Waktu itu banyak yang mengunggulkan Ahsan/Hendra tetapi mungkin pressure-nya tinggi jadi mereka tidak bisa maksimal. Lawan-lawan yang dihadapi juga tidak mudah.
Setelah Olimpiade 2016, Ahsan dan Hendra berpisah. Mereka sempat bermain dengan pemain lain dan akhirnya mereka balik berpasangan. Hasilnya, mereka bisa kembali juara dunia di 2019, juga juara All England dan BWF World Tour Finals.
Saya menilai keberhasilan mereka di 2019 itu sebagai sebuah hal yang wajar. Karena mereka disiplin, selain itu memang juga punya kemampuan bagus sebagai pemain. Latihannya disiplin. Di luar lapangan juga disiplin. Dari segi tenaga, gerakan juga masih oke dan belum terlalu berumur.
Soal Olimpiade 2020, Olimpiade itu kan diundur karena Covid. Situasi Covid juga tidak gampang. Juga karena ada bertambahnya usia lantaran Olimpiade diundur satu tahun.
Situasi Covid itu tidak gampang karena pemain yang positif harus karantina. Latihan tidak bisa fulls. Kalau ke mana-mana deg-degan karena harus menjalani tes segala macam.
Saat Ahsan/Hendra terus bermain, otomatis tidak ada lagi rekan sebaya di Pelatnas. Tetapi mereka bisa berbaur dengan pemain yang usianya jauh di bawah mereka. Mereka itu bisa berperan sebagai kakak, tetapi juga bisa menyesuaikan diri dan gak merasa bahwa diri mereka lebih senior dan orang lain harus hormat.
Mereka tetap rendah hati, baik sama yang lain, dan banyak kasih tahu pemain lain tentang berbagai hal sehingga pemain lain bisa mencontoh.
Pebulu tangkis ganda putra Indonesia Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan mengembalikan kok ke arah lawannya pebulu tangkis ganda putra Thailand Chaloempon Charoenkitamorn dan Nanthakarn Yordphaisong dalam pertandingan babak penyisihan grup A Piala Thomas Uber 2022 di Impact Arena, Bangkok, Thailand, Senin (9/5/2022). Hendra/Ahsan kalahkan ganda putra Thailand dengan skor 21-12, 26-28 dan 21-11.
ANTARA FOTO / M Risyal Hidayat / pras
Saat latihan dan tampil disiplin, otomatis Ahsan/Hendra sudah memberikan contoh pada pemain-pemain yang junior. Selain itu kalau mereka sparring dengan junior, mereka main serius tidak pernah main-main.
Hal-hal yang bisa dicontoh dari Ahsan/Hendra adalah sikap rendah hati. Hendra punya teknik tinggi di lapangan dan disiplin latihannya bagus. Ahsan juga sangat disiplin dan profesional sebagai atlet.
Bisa dibilang dengan keputusan pensiun Ahsan/Hendra, dunia bulutangkis sangat kehilangan. Bukan hanya Indonesia saja, tetapi seluruh dunia bulu tangkis.
Karena mengingat prestasi mereka, pencapaian mereka, kualitas permainan mereka. Juga perilaku mereka di dalam dan luar lapangan.
Bagi atlet-atlet muda, jadikan Ahsan/Hendra sebagai motivasi agar pencapaian mereka bisa seperti Hendra dan Ahsan. Ahsan dan Hendra bisa dijadikan acuan, dijadikan contoh.
Untuk Ahsan dan Hendra, harapan saya semoga di manapun mereka berada, saya harap mereka bisa terus melakukan dan mendapatkan yang terbaik. Baik itu di pekerjaan mereka atau di karya mereka nanti.
Fajar Alfian
Untuk
Ahsan / Hendra
11 dari 11 surat
Pertama kali saya melihat Bang Ahsan dan Koh S itu bukan 2014 saat saya masuk Pelatnas Cipayung. Setahun sebelumnya, saat saya persiapan ikut Kejuaraan Asia Junior dan Kejuaraan Dunia Junior, waktu itu kan juga sudah latihan bersama di Pelatnas.
Waktu pertama kali saya latihan di Pelatnas, Bang Ahsan dan Koh S baru saja juara dunia waktu itu. Ketika melihat Bang Ahsan dan Koh S serta bisa berlatih bersama, rasanya luar biasa.
Saya ingat pernah melawan Bang Ahsan dan Koh S pertama kali di Pelatnas Cipayung. Saat itu mereka pakai raket berat. Raket berat itu raket yang bobotnya tidak seperti biasa, raket yang memang digunakan untuk sesi latihan.
Sedangkan saya pakai raket biasa waktu itu. Meskipun mereka pakai raket berat, tetap susah lawan mereka. Saya kalah, jauh sekali perbedaannya.
Pebulu tangkis ganda putra Indonesia Hendra Setiawan (kiri) dan rekannya Mohammad Ahsan berselebrasi usai mengalahkan lawan senegaranya Fajar Alfian dan Muhammad Rian Ardianto dalam babak semi final Daihatsu Indonesia Masters 2020 di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (18/1/2020). Hendra/Ahsan yang merupakan unggulan kedua itu melaju ke babak final setelah menang dengan skor 21-12, 18-21, dan 21-17.
ANTARA FOTO / Aditya Pradana Putra
Sebagai senior, Bang Ahsan itu menurut saya senior yang galak. Memang dia itu sangat keras. Bahkan dulu, ya dulu itu kalau lewat Bang Ahsan terus saya tidak menyapa, langsung disuruh push up hahaha.
Senior-senior saat itu bukan berarti mem-bully, tetapi mengajarkan saling menghargai. Saat saya baru masuk kan saya juga gak tahu harus gimana, cuma pas saya lewat, sebenarnya saya lewatnya gak persis di depan Bang Ahsan, lewatnya cukup jauh tetapi kelihatan sama dia. Lalu dipanggil sama Bang Ahsan. Kamu siapa? Push up dulu hahaha.
Pada akhirnya, saya pun sekamar sama Bang Ahsan di 2019. Tetapi kami sekamar kalau istirahat siang saja, karena Bang Ahsan kan kalau malam pulang.
Awal sekamar itu, saya pasti sungkan karena sekamar sama legenda dan senior. Tetapi saya coba memanfaatkan hal itu, kalau bisa sedikit-sedikit minta sharing pengalaman-pengalaman di dunia bulu tangkis.
Kalau Koh S itu kebalikannya. Memang pendiam, gak banyak ngomong dari dulu sampai sekarang kayak gitu terus. Mungkin baru beberapa tahun terakhir ini saya lebih dekat sama Koh S. Ke mana-mana sama Koh S, bahkan jadi bestie.
Pas awal-awal ya saya gak akrab sama Bang Ahsan dan Koh S. Bukan gak mau akrab, tetapi ada rasa segan. Melihat mereka tuh ya segan gitu. Kami tentu menaruh rasa hormat ke senior. Jadi mungkin baru mulai dekat-dekatnya itu sekitar tahun 2018-an.
Waktu Asian Games 2018, jujur saya gak punya ekspektasi bakal main di Asian Games. Karena waktu itu di kategori utama, Fajar/Rian yang paling junior. Jadi setelah Kevin/Marcus ditunjuk buat main Asian Games, saya pikir satu pasang lagi itu Ahsan/Hendra.
Karena waktu itu Koh S balik lagi ke Pelatnas dan kembali berpasangan dengan Bang Ahsan. Duet Ahsan/Hendra waktu itu dipersiapkan pelatih buat Thomas Cup dan Asian Games. Saya gak menyangka karena di atas Fajar/Rian saat itu bukan hanya Ahsan/Hendra, tetapi ada Angga/Ricky, Wahyu/Ade.
Jadi saat saya ditunjuk untuk main, bukan hanya ada rasa sungkan ke duet Ahsan/Hendra tetapi juga ke senior-senior lain. Karena saya paling kecil saat itu. Tetapi saya berprinsip selama saya ditunjuk, saya harus siap.
Berbicara persaingan dengan Bang Ahsan dan Koh S di lapangan, duet Ahsan/Hendra di Kejuaraan Dunia itu kayak mimpi buruk buat saya sama Rian. Karena dua kali kami kalah di semifinal lawan mereka di Kejuaraan Dunia yang merupakan kejuaraan besar dan penting.
Dari dua kekalahan itu, paling menyesal buat saya di Tokyo saat Kejuaraan Dunia 2022. Saat itu saya yakin bisa menang lawan Ahsan/Hendra. Beda dengan saat di Kejuaraan Dunia 2019 di Swiss. Saat itu memang Ahsan/Hendra masih jauh di atas kami. Kalau di Tokyo, saya yakin menang tetapi mereka memang pintar di lapangan dan bisa mengembalikan keadaan.
Ganda putra Indonesia Hendra Setiawan (kiri) dan Mohammad Ahsan (kedua kiri) bersama ganda putra Indonesia Fajar Alfian (kanan) dan Muhammad Rian Ardianto (kedua kanan) menunjukan medali emas dan perunggu usai saat prosesi penyerahan medali pada Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2019 di St. Jakobshalle, Basel, Swiss, Minggu (25/8/2019). Ahsan/Hendra menjadi juara dunia ganda putra usai menang atas ganda putra Jepang Takuro Hoki dan Yugo Kobayashi dengan skor 25-23, 9-21, 21-15.
ANTARA FOTO / Hafidz Mubarak
Soal kekalahan di semifinal Kejuaraan Dunia 2022, yang saya ingat waktu itu kami sudah unggul di gim pertama 20-18 saya coba 'nyolong' dengan servis datar ke arah Bang Ahsan. Bang Ahsan sudah gak bisa gerak karena bola ke arah belakang. Kalau bola itu masuk, kami menang gim pertama. Tetapi ternyata bola out.
Setelah itu kami terkejar oleh mereka dan kalah. Di gim kedua, saya dan Rian berusaha bangkit dan akhirnya bisa menang. Tetapi di gim penentuan, start mereka itu benar-benar langsung in.
Jadi memang, mungkin karena pengalaman bermain yang mereka miliki, mereka bisa main dengan sangat tenang di kejuaraan penting. Sedangkan kami malah buru-buru dan akhirnya kalah di gim ketiga.
Sedangkan di Swiss, saya gak terlalu menyesal karena memang yang diunggulkan saat itu bukan saya dan Rian. Waktu di Swiss masih ada Minions yang ranking 1 dan Ahsan/Hendra. Saat di Swiss, hitungannya kami underdog waktu itu jadi masuk semifinal saja sudah bersyukur.
Kalau bicara nyesek, ya nyesek juga saat kalah lawan Ahsan/Hendra. Bang Ahsan dan Koh S itu bisa memainkan gim penentuan dengan baik. Mereka bisa langsung start bagus. Itu kelebihan mereka,
Soal menang-kalah lawan Ahsan/Hendra, tidak ada itu diam-diaman setelah main. Bagi kami, setelah main ya makan bareng, dan sebelum main pun makan bareng. Kami memang musuh hanya di lapangan saja begitu. Sehabis kalah di Tokyo itu, jangankan di luar hall, persis setelah main pun kami langsung bercanda lagi dan malah saling dukung.
Selain kalah, saya juga punya momen kemenangan lawan Ahsan/Hendra. Waktu final All England 2023, saya sadar bahwa saya dan Rian tidak boleh lengah. Walau Bang Ahsan dan Koh S sudah berumur, buktinya mereka masih bisa masuk final dengan perjalanan yang luar biasa. Mereka mengalahkan Liang Weikeng/Wang Chang, Liu Yuchen/Ou Xuanyi.
Jadi yang saya dan Rian tekankan waktu itu dari start awal jangan ada rasa sungkan. Ini final All England. Karena Ahsan/Hendra itu kalau main di turnamen besar auranya berbeda. Itu yang saya rasakan.
Kalau di turnamen lainnya, bukan berarti Ahsan/Hendra itu tidak bagus. Tetapi Ahsan/Hendra saat main di kejuaraan besar itu aura dan fokus mereka sangat-sangat luar biasa. Dari segi persiapan pun, mereka ekstra kerja keras.
Waktu kami mendapat match point 20-14, Bang Ahsan cedera. Saya sudah bilang ke Bang Ahsan: "Bang sudah saja, takut tambah parah."
Tapi Bang Ahsan malah sambil bercanda bilang: "Jangan nanti lu juara All England-nya gak keren."
Bang Ahsan bilang lanjut saja padahal saat itu memang tinggal satu poin lagi dan posisinya juga sudah agak jauh 20-14. Saya pun tak mau meraih kemenangan tetapi kondisi lawan mengalami cedera. Tidak ada pemain yang mau seperti itu.
Akhirnya Bang Ahsan lanjut bermain dengan menahan rasa sakit. Dia kayak gak mau gelar All England buat saya dan Rian ini kayak terasa hambar dalam artian kami tidak berekspresi merayakan kemenangan.
Tetapi bahkan pada akhirnya setelah kami menang, kami tidak bisa berekspresi merayakan kemenangan. Bukan karena kami sungkan, tetapi kami merasa prihatin bahwa dedikasi Bang Ahsan untuk melanjutkan pertandingan itu begitu luar biasa, bahkan setelah dia merasakan sakit.
Fajar Alfian/M Rian Ardianto juara All England 2023 usai kalahkan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan.
Dok. PBSI
Dengan Ahsan/Hendra terus bermain, saya juga tahu ada komentar-komentar dari netizen yang mungkin membandingkan mereka dengan peluang pemain-pemain yang lebih muda untuk berkembang termasuk saya dan Rian. Waktu Olimpiade Tokyo 2020 di 2021, saya dan Rian tidak lolos. Memang sedikit nyesek.
Kenapa gak saya saja yang main?
Kenapa kok Bang Ahsan dan Koh S masih main?
Kenapa gak dikasih ke saya saja kesempatan tampil di Olimpiade?
Saya sempat berpikir seperti itu cuma memang hitungan ranking saat itu saya dan Rian kalah sama Minios dan Ahsan/Hendra. Minions ranking 1 dan Ahsan/Hendra ranking 2. Mau gak mau ya kami harus terima saat itu karena dari segi ranking juga kalah.
Sempat ada perasaan seperti itu karena waktu itu kami juga ada di peringkat delapan besar, lupa tepatnya peringkat berapa waktu itu. Pasti adalah perasaan seperti itu, karena Olimpiade tentunya ada keinginan untuk lolos.
Soal Bang Ahsan dan Koh S, bagi saya, dedikasi mereka untuk bulutangkis itu luar biasa. Mungkin badan mereka sudah gak kuat untuk bersaing sama yang muda-muda, tetapi hatinya masih punya keinginan. Kemarin saja waktu ikut datang latihan, malah ikut program latihan kami. Saya jadi bertanya-tanya ini katanya mau pensiun tetapi masih antusias ikut program latihan.
Dari Bang Ahsan dan Koh S, kita bisa belajar bahwa usia hanyalah angka. Mereka itu 'Old but Gold'. Jadi memang harus ditiru daya juangnya. Meskipun sudah berumur tetapi mereka masih bersaing di level atas kompetisi. Bahkan tahun lalu masih bisa masuk final.
Hal itu patut dicontoh, baik dedikasi untuk terus ikut turnamen maupun dalam hal keseharian yang juga luar biasa. Mereka sangat menjaga pola makan, pola tidur, dan dalam momen latihan pun rasa tak mau kalah mereka sangat besar.
Dari Bang Ahsan dan Koh S, kita bisa belajar bahwa usia hanya angka dan karier pemain masih bisa panjang. Setiap pemain punya jalan pikiran yang berbeda soal karier di badminton tetapi kalau menurut saya, Ahsan/Hendra itu benar-benar luar biasa.
Jangankan Bang Ahsan dan Koh S, pemain yang terus bermain dan bisa bersaing sampai usia 35 tahun saja jarang ada. Sedangkan Ahsan/Hendra masih bisa bersaing, sponsor juga masih siap mendukung mereka. Mereka itu benar-benar strong, bisa bertahan sampai usia sekarang.
Kenangan bersama Ahsan/Hendra itu bukan cuma kenangan di latihan dan persaingan di pertandingan. Saya juga ada sejumlah kenangan lucu. Salah satunya adalah momen saat kami di Prancis dan sedang bersiap melanjutkan perjalanan ke Hylo Open yang berlangsung di Saarbrucken, Jerman.
Waktu itu tiket pesawat sudah dibeli tetapi perjalanan dari Paris ke Saarbrucken itu cukup jauh, kira-kira total memakan waktu tujuh jam, termasuk naik pesawat dan perjalanan dari bandara ke hotel tempat kami menginap.
Waktu itu Bang Ahsan dan Koh S ajak saya untuk naik kereta. Naik kereta itu waktu tempuhnya lebih cepat dan langsung sampai di depan hotel. Begitu kata mereka. Saya lalu izin ke pelatih dan manajer untuk pergi bareng Bang Ahsan dan Koh S. Bagi saya sendiri, perjalanan naik kereta tentu lebih nyaman karena lebih cepat, lebih efisien, dan lebih tenang.
Fajar Alfian/M Rian Ardianto juara All England 2023 usai kalahkan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan.
Dok. PBSI
Waktu itu saya bawa tiga koper, Bang Ahsan dua koper, Koh S dua koper. Rian tetap bersama rombongan naik pesawat. Jadi kami hanya bertiga naik kereta.
Dengan segala keribetan karena bawa koper segede gaban, akhirnya kami sudah duduk di kereta. 1 jam, 2 jam, kereta belum jalan. Katanya ada gangguan. Tetapi kemudian setelah hampir tiga jam ada pemberitahuan bahwa kereta akan diberangkatkan keesokan hari. Jelas tidak mungkin bagi kami menunggu jadwal berangkat tersebut.
Karena waktu mepet dan tiket pesawat rombongan pemain lain juga berangkat hari itu, akhirnya kami lari-lari mengejar waktu ke bandara lagi. Jadi, tiket pesawat kami memang untungnya tidak di-cancel. Niat awal memang dibiarkan hangus begitu saja. Karena itu kami memutuskan pergi ke bandara. Padahal stasiun ke bandara jaraknya lumayan jauh.
Akhirnya kami bertiga lari-lari sambil dorong-dorong koper. Lalu di depan stasiun nyari-nyari taksi. Bang Ahsan dan Koh S sudah dapat taksi dan saya ditinggal di stasiun. Karena saya bawaannya lebih banyak, tiga koper, jadi saya gak bisa lari secepat mereka.
Akhirnya sambil ketawa-ketawa, dicampur panik, saya bisa juga sampai bandara, check-in dan lain-lain. Terus ketawa-ketawa karena diledekin sama anak-anak yang lain. Mau efisien malah jadi buntung. Itu salah satu cerita lucu dalam perjalanan kami.
Setelah Bang Ahsan dan Koh S pensiun, pesan saya semoga mereka gak hanya meraih sukses saat menjadi atlet, tetapi juga meraih sukses dalam karier apapun. Semoga mereka selalu diberikan kesehatan, kelancaran, dan kesuksesan.
Jangan lupa bahwa junior-junior masih butuh mereka. Kalau bisa datang ke Pelatnas, sambil makan-makan juga bisa. Semoga dedikasi mereka yang luar biasa itu bisa menular ke hati atlet-atlet juniornya agar menjadi lebih baik lagi.
Saya merasa kehilangan banget. Saat saya bercerita tentang ini pun, saya sedang dalam perjalanan untuk menghadiri acara perpisahan dengan Koh Herry, Koh Aryono, Minions, Ahsan/Hendra, pelatih fisik yang juga dekat dengan saya yaitu Coach Yansen. Acara perpisahan mereka semua.
Kehilangan pasti, tetapi mau bagaimana lagi, namanya hidup. Saya harus terus menjalani.
Ketika usia seringkali jadi musuh utama atlet dalam mengarungi dunianya, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan malah bisa menari di dalamnya.
Kehebatan Ahsan/Hendra seolah tak lekang oleh zaman. Saat generasi berganti, Ahsan/Hendra tetap sanggup berkompetisi.
Waktu terus berjalan, Ahsan/Hendra terus tampil mengesankan. Waktu terus berputar, prestasi Ahsan/Hendra tidak pernah memudar.
Ahsan/Hendra adalah contoh terbaik untuk semua pemain muda.
Bahwa mimpi-mimpi besar bisa digelorakan dalam pikiran tetapi butuh komitmen dan kerja keras untuk mewujudkannya jadi kenyataan.
Ahsan/Hendra bukan hanya meninggalkan jejak-jejak juara penuh kejayaan, melainkan juga kenangan tak terlupakan tentang kisah pemain yang bisa terus bertahan dan tak mudah tergerus zaman.