Sihir Tambang Bitcoin

Rumah Faldi sudah cukup hening ketika jarum jam menghampiri angka tujuh malam. Namun dalam keheningan itu, ada bising mendengung terdengar dari sebuah ruangan di belakang rumahnya.
Suara itu berasal dari rangkaian komputer milik Faldi. Sumber ini pula yang menyebabkan hawa panas seketika memasuki ruangan tersebut.
Komputer yang dimiliki Faldi memang bukan komputer pada umumnya, tapi sebuah alat ‘penambang’. Udara buangannya juga tidak biasa. Cukup panas untuk mengeringkan pakaian yang baru dicuci.
Dalam ruangan 2x2 meter yang lebih pas disebut gudang itu, sejumlah perkakas komputer serta kabel-kabelnya tampil mencolok. Di antara sekian banyak piranti, mesin Baikal menghasilkan suara paling bising. Mesin itu khusus dipakai untuk menambang mata uang kripto.
Faldi (31), begitu ia ingin disapa, adalah karyawan suatu perusahaan swasta yang memutuskan nyemplung ke dalam kolam kripto sebagai penambang. Alasannya sederhana, profit yang ia peroleh dari sana terbukti menggiurkan. Dalam hitungan 45 hari, Faldi sudah mendulang pemasukan hingga Rp54 juta.
“Alhamdulillah, dari mining bisa nutup biaya kelahiran anak,” ucapnya semringah.
Bitcoin dan mata uang kripto (cryptocurrency) adalah fenomena digital paling anyar. Jual-beli (trading) per-keping Bitcoin yang sempat menembus Rp250 juta serupa janji surga bagi mereka yang gemar mengembangbiakkan asetnya. Namun, tak banyak yang tahu menambang mata uang kripto (mining) tak kalah menjanjikan dibanding trading.
Pengertian menambang dalam konteks mata uang kripto adalah proses pemecahan algoritme dalam blockchain menggunakan mesin komputer.

“Alhamdulillah, dari mining bisa nutup biaya kelahiran anak.” Faldi, penambang bitcoin

Pada prinsipnya, Bitcoin menghilangkan perantara atau pihak ketiga seperti bank atau perusahaan kartu kredit dalam sebuah transaksi. Fungsi mereka dalam melakukan verifikasi, salah satu contohnya, kemudian digantikan lewat sebuah sistem bernama blockchain.
Siapa pun boleh menjadi pihak ketiga dalam sistem seperti itu, mencatat dan memverifikasi transaksi, dalam satu buku pencatatan besar yang boleh diakses bersama-sama. Buku besar yang terdiri atas rangkaian blok yang demikian panjang dan diamankan oleh kode sandi rumit itulah yang dinamai blockchain.
Para penambang adalah mereka yang memfasilitasi transaksi. Mereka kemudian akan meraup hadiah berupa mata uang kripto itu sendiri setiap kali menyelesaikan satu blok/transaksi.
Faldi bukan orang pertama atau terakhir di Indonesia yang mencicipi manisnya menambang mata uang kripto. Banyak penambang lain yang berkecimpung di bisnis baru ini. Pada dasarnya mereka semua saling bersaing, adu cepat, adu efisien, dalam menyelesaikan tiap blok algoritme yang seiring waktu makin sulit untuk dipecahkan.
Di Indonesia, komunitas penambang mata uang kripto mulai bermunculan terutama dalam bentuk forum internet. Mereka saling berbagi informasi mulai dari yang paling dasar hingga bahasan teknis njelimet.
Menjamurnya forum berbagi informasi ini bisa dikatakan wajar, mengingat tambang mata uang kripto sejatinya adalah proses matematika yang rumit, yang membutuhkan perangkat komputer prima, efisien, dan modal yang tak sedikit.
Semakin bagus dan banyak mesin, maka semakin cepat kalkulasi algoritme bisa diselesaikan. Dus, semakin banyak pula pundi-pundi yang bisa diperoleh penambang.
Dari pengalamannya menambang, Faldi meyakini menambang kripto sebagai bisnis yang terukur. Ia bisa memprediksi berapa penghasilan yang akan didapat dalam sehari jika menggunakan mesin X atau mesin Y. Ia pun bisa tahu berapa konsumsi listrik yang akan tersedot untuk menambang. Faktor inilah yang membuatnya ketagihan menambang.

Pesona Kartu Grafis

Sama seperti tambang ekstraktif, seorang penambang mata uang kripto perlu alat khusus untuk bekerja. Pada dasarnya ada dua metode menambang berdasarkan alat yang dipakai yakni dengan komputer biasa yang dilengkapi kartu grafis (Graphics Processing Unit/GPU), atau dengan mesin khusus menambang Application-Spesific Integrated Circuit (ASIC) Miner. Masing-masing punya nilai positif dan minus.
Kartu grafis di sini adalah kartu grafis yang biasa dijual di pasaran. Tergantung keinginan penambang, jumlah kartu grafis yang akan dipakai bisa bervariasi bergantung pada isi dompet.
Keuntungan memakai kartu grafis adalah ongkosnya yang relatif lebih murah. Bila modal yang dimiliki pas-pasan, penambang bisa membeli kartu grafis satu per satu. Kartu grafis juga dirasa lebih nyaman bagi pemiliknya karena minim suara dan panas ketimbang ASIC Miner.
Hanya saja, kartu grafis tak tak begitu cepat dalam memproses. Suplainya pun kini kian terbatas.
Sementara itu, ASIC Miner adalah mesin bercip yang diciptakan khusus untuk menambang mata uang kripto. Tenaga mesin ini lebih besar, lebih efisien, dan lebih cepat ketimbang kartu grafis.
Sepadan dengan kualitasnya, harga satu unit ASIC Miner berkali-kali lipat lebih mahal dari menambang dengan kartu grafis. Cara mendapatkannya pun lebih sulit, hanya bisa diimpor dari China. Sekali mesin ini rusak, perlu waktu untuk memperbaikinya karena harus dikirim kembali ke Negeri Tirai Bambu itu. Aspek minus lainnya, mesin ini menghasilkan panas dan bising yang lebih tinggi.
Demam Bitcoin hampir setahun belakangan mengatrol harga alat-alat tambang di atas. Pasar kartu grafis dengan spesifikasi mapan adalah ‘korban’ langsung maraknya aktivitas tambang kripto. Harga sebuah model kartu grafis bahkan ada yang naik hingga hampir 50 persen.
Belum lama, Faldi membeli kartu grafis model GeForce GTX 1080 keluaran Nvidia dengan banderol Rp11 juta. Padahal, harga normal model itu ada di kisaran Rp8,5 juta. Ia berani beli lebih mahal karena tak punya pilihan lain. Ketersediaan kartu grafis di pasaran saat ini memang sedang langka.
Mangga Dua Mall, salah satu pusat perbelanjaan elektronik terbesar di Indonesia, jadi tempat tepat untuk mengecek kabar ini. Dari penelusuran singkat pada Februari 2018, sedikit sekali kartu grafis yang tersedia. Bahkan seorang pemilik toko berujar, “Taruhan deh, Mas, keliling Mangga Dua juga enggak akan dapat. Mending pulang saja.”
Sekalipun ada, biasanya toko-toko di Mangga Dua hanya punya satu unit sisa dengan harga selangit. Dari pengakuan sejumlah pemilik toko di sana, model GeForce GTX 1060 dan 1070 keluaran Nvidia sebagai yang paling dicari. Model Radeon RX 570 dari AMD juga termasuk model yang laris diburu oleh para penambang mata uang kripto.
Selain kartu grafis, power supply dan motherboard adalah komponen komputer yang mengalami kenaikan harga. Dua komponen ini termasuk yang paling sering diganti karena proses penambangan yang cepat membuat aus.
Peningkatan harga juga terjadi di mesin ASIC Miner. Seorang penambang bernama Lawrence Samantha (31) melihat kenaikan di ASIC Miner lebih gila. Sebelum harga Bitcoin meroket, harga satu unit ASIC Miner masih di kisaran US$2.000 atau Rp27,3 juta jika dikonversi dengan kurs sekarang. Namun saat ini satu unit mesin tersebut sudah menembus Rp80 juta. Jika menengok situs jual-beli seperti Tokopedia, mudah menemukan yang lebih mahal lagi.

Ganjaran Para Penambang

Bila dibandingkan dengan perdagangan mata uang kripto yang bisa dilakukan dengan nominal kecil, aman untuk disimpulkan bahwa menambang mata uang kripto perlu modal jauh lebih besar. Cukup mendengar harga peralatan tambang, orang awam yang berminat bisa gentar dibuatnya.
Faldi ingat betul pertama kali ia memutuskan menambang kripto. Didorong rasa penasaran pada Februari 2017 silam, ia menyulap komputer rumahnya untuk menjalankan program tambang kripto. Rasa penasarannya berbuah untuk pertama kali ketia ia menerima hadiah sebesar US$3 per hari. Tertarik akan prospeknya, Faldi menambah kartu grafis secara bertahap.
Saat ini Faldi memiliki 14 kartu grafis dan 2 ASIC Miner merek Baikal. Sudah sekitar Rp200 juta yang ia habiskan untuk belanja peralatan dan perlengkapan penunjang. Meski modal yang ia keluarkan besar, Faldi merasa hadiah yang ia terima sepadan. Selain membiayai persalinan anak, pendapatan dari menambang mata uang kripto membantunya mencicil rumah dan menambah tabungan.
“Awalnya keluarga tanya, ‘ngapain sih beli alat-alat melulu?’ Ketika tahu pendapatannya yang lumayan besar, langsung boleh,” ujar Faldi.
Lawrence membenarkan bahwa hadiah menambang memang besar dan relatif stabil. Pria yang sempat bekerja di Silicon Valley itu juga meyakini masa depan bisnis tambang kripto cerah.
Lawrence pertama kali menambang Bitcoin pada 2010 silam dengan memakai komputer sederhana. Kala itu tingkat kesulitan menambang Bitcoin relatif mudah dan bisa dilakukan dengan mesin biasa.
Bitcoin waktu itu bernilai kecil dan bukan instrumen investasi sehingga orang-orang tak begitu meliriknya. Bertahun-tahun kemudian, Lawrence kini sudah memiliki perusahaan tambang kripto dan mendirikan bangunan khusus untuk menampung ‘mesin tambang’ miliknya di suatu tempat di Jawa Barat.
Para penambang seperti Lawrence dan Faldi ini bisa meraup pundi-pundi karena secara prinsip Bitcoin serupa tambang emas. Mereka hanya menemukan dan bukan menciptakan keping-keping baru.
Secara total hanya ada 21 juta keping Bitcoin di dunia, meski satu kepingnya bisa ‘dipecah-pecah’ hingga hampir tak terhingga. Hingga tulisan ini dibuat, tinggal 4 juta keping Bitcoin yang belum ada di beredar di pasar kripto dan hanya bisa ‘dikeluarkan’ ke dunia oleh para penambang.
Sistem hadiah ini diciptakan sebagai ganjaran bagi para penambang atas kerja keras dan integritas mereka. Bagaimana pun juga, mereka adalah sosok-sosok sentral yang menjaga arus transaksi uang kripto tetap berjalan. Sama seperti dunia nyata, penambang pun baru bisa mendapatkan Bitcoin jika menginvestasikan energi –dalam kasus ini listrik.
Keuntungan yang mereka kantongi berasal dari nilai tukar kripto terhadap mata uang sungguhan di perusahaan perdagangan kripto seperti Indodax.

Sisi Gelap Tambang Kripto

Di balik keuntungan tambang kripto, ada efek samping yang membayangi bisnis ini: kelangkaan kartu grafis dan penggunaan listrik yang masif.
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa harga kartu grafis melonjak pesat sejak setahun belakangan ketika Bitcoin mulai populer di Indonesia. Penyebabnya tak lain para penambang kripto yang menyerap dengan cepat suplai di pasaran. Tak heran harga kartu grafis terus meroket.
Penjual di Vira Jaya Computer —salah satu toko di Mangga Dua Mall— mengatakan stok kartu grafis di tempatnya sudah kosong semenjak tahun baru. Sekalipun ada suplai baru dari distributor yang jumlahnya tak lebih dari 10 unit, pasti akan langsung ludes diborong para penambang.
Mereka yang merugi dari kelangkaan kartu grafis ini adalah para penikmat gim PC. Kartu grafis model premium sejatinya menyasar pasar penggila gim PC, akan tetapi mereka justru terpinggirkan ketika demam Bitcoin melanda. Dompet mereka kalah tebal dari para penambang.
Salah satu dari gamer yang dibuat dongkol kelangkaan kartu grafis ini adalah Arnold Marciano Hilario (26). Belum lama ini ia harus merogoh Rp16,5 juta dari sakunya untuk satu unit Zotac GTX 1080 Ti 11 GB. Padahal ia tahu harga normalnya hanya sekitar Rp12,5 juta. Kini Arnold harus berpikir dua kali jika ingin menambah kartu grafis baru.
“Merasa terganggu lah. Masih mau beli lagi tapi nunggu (harga) turun dulu,” ucapnya.
Gamer lain, Abednego Sigit (22), mengakui pergerakan harga kartu grafis melesat tinggi. Pada Maret 2017 sewaktu tinggal di Australia, Abed menebus satu unit Nvidia GeForce GTX 1060 di kisaran Rp2,5 juta. Harganya kini naik jadi Rp3,5 juta. Bedanya, ia melihat stok di Australia tidak langka seperti di Indonesia.
“Sama sekali enggak. Ke toko langsung dapat, diantar juga gratis.”
Di YouTube bahkan mudah untuk menemukan video yang menampilkan kesuksesan penambang kripto berkartu grafis dengan sederet keluhan para gamer di kolom komentarnya.
Hal lain yang mengkhawatirkan dari tambang kripto adalah konsumsi listriknya yang begitu besar. Indeks konsumsi energi dari Digiconomist per 20 Maret 2018 mencatat jaringan Bitcoin sudah menyedot 56,53 Terawatt/hour atau setara dengan 0,25 persen konsumsi listrik seluruh dunia. Dengan konsumsi sebesar itu, listrik yang disedot jaringan Bitcoin dapat menghidupi 5,234 juta rumah tangga di Amerika Serikat.
Konsumsi listrik di sebagian besar negara di Afrika pun sudah kalah dari kebutuhan jaringan Bitcoin. Jika dianggap sebagai negara, berdasarkan data Digiconomist pada akhir Maret, Bitcoin menempati peringkat 48 sebagai negara paling banyak mengonsumsi listrik atau setara Israel. Dengan tren yang terus menanjak tiap waktu, jaringan Bitcoin bahkan diprediksi akan memakan konsumsi listrik seluruh dunia pada Februari 2020.
Secara kuantitas, China menjadi negara paling subur bagi penambang kripto dan otomatis menjadikannya paling ‘kotor’ dalam jejak karbon yang ditinggalkan. Dengan pembangkit listrik di China masih banyak yang bertenaga batu bara, konsumsi listrik jaringan Bitcoin membuat karbon yang dilepas ke langit negara itu mengepul tebal.
Sebagai gambaran betapa ‘kotor’-nya konsumsi listrik bitcoin, perbandingan dengan Visa jadi salah satu cara yang sering dilakukan. Tak seperti Bitcoin, Visa merupakan protokol pembayaran yang lebih jamak digunakan publik di seluruh dunia.
Berdasarkan laporan resmi perusahaan pada 2016, Visa menghabiskan energi 674.992 Gigajoule untuk seluruh operasionalnya di seluruh dunia, setara kebutuhan sekitar 17 ribu rumah tangga di AS. Sementara pada 2017, transaksi yang mereka selesaikan berjumlah 111,2 miliar.
Konsumsi listrik Visa untuk setiap 100 ribu transaksi hanya menyedot 169 Kwh. Sementara satu transaksi Bitcoin membutuhkan hingga 768Kwh listrik.
Lawrence menganggap angka-angka tersebut wajar. Menurutnya, teknologi Bitcoin masih terbilang baru sehingga masih terus berkembang dan membutuhkan waktu hingga jaringan Bitcoin atau kripto lain menyamai tingkat efisiensi Visa.
“Tapi ini masalah waktu saja sih, Visa juga bukan pemain kemarin sore. Ethereum baru tiga tahun, Bitcoin baru sembilan tahun, Visa sudah berapa puluh tahun?”
Lawrence tidak memungkiri saat ini konsep desentralisasi yang diagungkan dalam sistem kripto masih kalah andal dari konsep sentralisasi yang diusung bank pada umumnya. Pasalnya dalam konteks skala dan kecepatan, sistem kripto yang ada sekarang belum bisa menyamai jumlah dan kecepatan transaksi Visa. Ia berpendapat inilah tantangan para penerbit teknologi kripto.

Alternatif Mengeruk Emas

Efek buruk seperti yang disebutkan di atas tidak menyurutkan minat para penambang kripto. Sebaliknya, mereka tetap yakin teknologi baru ini adalah masa depan keuangan yang tak bisa dihindari.
Faldi, misalnya, bertekad membeli kartu grafis baru untuk memperkuat rangkaian mesin tambang di rumahnya. Ia mengesampingkan harga yang relatif mahal demi memperbesar keran pemasukan.
Namun sebenarnya ada cara mudah bagi yang berminat mencicipi menambang kripto tanpa membeli peralatan mahal seperti yang dilakukan Faldi atau Lawrence. Cukup menginvestasikan sejumlah uang pada para penambang lain, seseorang bisa mendapat pemasukan dari tambang kripto dalam jangka waktu tertentu. Metode ini bernama cloud mining.
Cara ini terbilang jauh lebih praktis ketimbang menambang sendiri. Pelaku cloud mining tak perlu keluar uang untuk bayar listrik membeli peralatan komputer, hingga perawatan rutin. Semua beban itu sudah ditanggung oleh orang lain. Hanya saja, upah yang diterima oleh peserta cloud mining ini lebih kecil ketimbang penambang biasa.
Sebagai gambaran singkat, Aditya Prakarsa melalui kanal YouTube miliknya bercerita dirinya memperoleh US$95 dalam 113 hari sejak ikut cloud mining pada 19 Februari 2017. Kala itu Aditya membeli paket senilai US$145,5.
Pendapatan metode ini juga bergantung pada fluktuasi harga Bitcoin di pasaran. Semakin tinggi harga Bitcoin, untung yang dibagi oleh penyedia jasa cloud mining akan lebih sering. Harga Bitcoin ketika Aditya membuat video itu masih di angka Rp38,65 juta.
Mereka-mereka yang tertarik dengan cara ini biasanya menghubungi perusahaan penyedia jasa clound mining. Beberapa yang dikenal luas adalah Genesis Mining, Hashflare, Hashnet, hingga Eobot.
Sebanding dengan sifat praktisnya, cloud mining juga punya risiko tersendiri. Salah satunya adalah muncul perusahaan-perusahaan yang menerapkan skema ponzi bagi calon investor.
Perusahaan bodong ini mengaku punya mesin tambang dan menawarkan sistem bagi hasil bagi calon investor. Uang terkumpul lalu diputar untuk membayar para korbannya sesuai dengan kontrak. Namun sistem ini akan berhenti ketika tak ada korban baru yang bergabung dalam cloud mining. Sebab, dari awal kelompok ini tidak memiliki mesin tambang sama sekali.
Teknologi Bitcoin, sebagai kripto pertama, sudah berusia sekitar sembilan tahun. Inovasi yang memotong peran pihak ketiga dalam transaksi ini berhasil bertahan sekaligus membuktikan diri di setiap keraguan yang muncul. Sepanjang Bitcoin ada, keberadaan penambang kripto pun akan terus ada karena justru dari mereka sistem di jaringan tersebut berjalan.
Lawrence mengingatkan agar mereka yang berminat menambang kripto berhati-hati. Biar bagaimana pun, mata uang kripto dan blockchain adalah dunia baru sehingga ada saja potensi kejahatan yang mengintai. Ia juga berpesan bahwa menambang kripto bukan cara instan mengejar profit.
“Ibarat perkebunan karet lah. Karet kan getahnya menetes satu per satu, kita kumpulin dulu, setelah jumlahnya lumayan baru kita jual. Tentunya kalau kamu punya perkebunan besar bisa setiap hari jual, tapi kalau misalnya cuma punya satu-dua pohon, ya dikumpulin dulu. Jadi otomatis ketika dapat satu tetes tidak langsung dijual.”
  • Penulis : Bintoro Agung Sugiharto

  • Editor : Vetricia Wizach Simbolon

  • Naskah Infografis : Vetriciawizach Simbolon

  • Infografis : Timothy Loen

  • Videografis : Asfahan Yahsyi

  • Tata letak : Muhammad Ali, Fajrian

Back to top