Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga pengawas pelayanan publik Ombudsman RI (ORI) mengungkap maladministrasi Kementerian Kehutanan di Kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK). Pasalnya, pengembangan investasi dan usaha di kawasan tersebut terhambat, lantaran penerbitan SK Menhut Nomor 463/Menhut-II/2013.
Dalam SK tersebut, Menhut menetapkan sejumlah kawasan di BBK sebagai kawasan hutan. Padahal, kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (
free trade zone). Terlebih, jika merujuk Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011, kawasan Tanjung Uncang, Tanjung Gudap, Batu Ampar, Telaga Punggur, serta Sekupang telah ditetapkan sebahai kawasan industri.
"SK Menhut Nomor 463 mengakibatkan beberapa area industri dan perumahan di Batam berada di lokasi ilegal di area hutan. Ini masalah pelayanan publik, perizinan di area yang diindikasikan sebagai hutan menjadi terhenti," ujar Kepala Ombudsman RI Danang Girindrawardana, saat menggelar audensi dengan pihak terkait, di kantornya, Jumat (9/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nasib masyarakat maupun pemerintah menjadi terkatung-katung lantaran SK tersebut. Padahal, di kawasan BBK terdapat empat pelabuhan besar dan 110 galangan kapal. Menteri Koordinator Kemaritiman Dwisuryo Indroyono Susilo menuturkan, kawasan tersebut merupakan kawasan produktif. Para investor pun ragu bergerak lantaran kealpaan hukum.
"110 galangan kapal yang ada di Batam, paling produktif tumbuhnya dan pesat. Kawasan itu juga membuka lapangan pekerja untuk 120 orang," ujar Indroyono di Kantor Ombudsman, Jumat (9/1). Bahkan, 88 galangan kapal lain di luar Batam diminta untuk berkembang laiknya Batam.
Indroyono menambahkan, di kawasan Tanjung Ucang dan Selauki akan dibangun pengeboran lepas pantai di dengan kandungan gas ekuivalen 7 juta barel per hari. Selain itu, juga akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Gas.
Kepala Badan Pengusahaan Batam Mustofa Widjaya menuturkan, hingga kini para investor dan masyarakat mengalami kebingungan lantaran ketidakpastian hukum. "Para investor inginnya tempat tersebut legal. Kawasan tersebut termasuk kantor kita, kantor Pak Wali Kota," ujar Mustofa di kantor ORI, Jumat (9/1).
Merujuk data BP Batam, 22.000 rumah dan 49 galangan kapal berada di lokasi hutan. Padahal, seluruhnya telah mengantungi izin pemerintah. Selain itu, layanan perizinan investasi lain pun terancam tak dapat diberikan.
Ombudsman mencatat, layanan administrasi Badan Pertanahan Nasional untuk lahan yang diindikasikan sebagai hutan turut terhenti. Lebih lanjut, layanan kredit perbankan juga menjadi terhambat.
Sebelumnya, pemerintah Batam telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Majelis hakim memutuskan SK Menhut tersebut telah dibatalkan. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut pemerintah menangani kekosongan hukum tersebut.
(meg/sip)