Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam deretan pahlawan nasional Republik Indonesia, ada satu nama yang menunjukkan identitas ketionghoaan, yaitu John Lie Tjeng Tjoan. Ia adalah Tionghoa peranakan.
Pemerintah menganugerahinya gelar pahlawan nasional atas jasanya dalam perang kemerdekaan. John Lie juga dikenal dengan nama Jahja Daniel Dharma.
Ia lahir di Manado pada 9 Maret 1911. John Lie memang dibesarkan oleh lautan. Pernah menjadi buruh pelabuhan di Jakarta, ia menyempatkan diri mengikuti kursus navigasi. John Lie akhirnya bisa menjadi klerk mualim III pada kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij, sebuah perusahaan pelayaran Belanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah Indonesia merdeka, John memutuskan untuk bergabung dengan Angkatan Laut RI. Di Angkatan Laut, John Lie banyak ditugaskan untuk menyelundupkan komoditas ekspor pada awal masa kemerdekaan.
Blokade pasukan Belanda di laut bisa ditembusnya hingga mencapai Singapura untuk menukar komoditas ekspor dengan senjata. Di Angkatan Laut dia mencapai pangkat Laksamana Muda. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Atas jasa-jasanya, selain pahlawan nasional, pemerintah juga menganugerahinya Bintang Mahaputra Adipradana pada 2009 lalu. Namanya bahkan diabadikan menjadi nama kapal perang KRI John Lie (358) pada akhir 2014.
Selain John Lie, menurut sejarawan dari Yayasan Nabil, Didi Kwartanada, masih banyak tokoh dari etnis Tionghoa lain yang pantas mendapat anugerah pahlawan nasional.
Ia menyebut salah satunya adalah Liem Koen Hian. "Dia sebetulnya adalah salah satu bapak bangsa Indonesia karena ikut merancang UUD 1945," kata Didi kepada CNN Indonesia.
Koen Hian juga dikenal sebagai salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Di kedua lembaga persiapan kemerdekaan itu, Koen Hian secara tegas menunjukkan dukungannya bagi kemerdekaan Indonesia, dan menghimbau golongan Tionghoa untuk ikut mendukung idenya tersebut.
Namun namanya, menurut Didi, tak dapat dijumpai dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah. "Dalam buku sejarah namanya dihapus," kata Didi.
Sebelum di BPUPKI dan PPKI, Koen Hian sudah aktif berpolitik. Ia mendirikan Partai Tionghoa Indonesia pada 25 September 1932 di Surabaya. Partai ini mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. "Pada saat itu umumnnya orang-orang Tinghoa cenderung bersimpati kepada Belanda atau Tiongkok," kata Didi.
Melalui partai ini, Koen Hian yang juga sebagai wartawan ini menyerukan warga Tionghoa menjadi WNI setelah Indonesia merdeka.
Sempat ada usulan agar Koen Hian menjadi pahlawan nasional. Namun ditolak karena ia tak mengantongi kewarganegaraan Indonesia.
Koen Hian memang sakit hati pada negara yang pernah dibelanya untuk merdeka. Pasca kemerdekaan, ia memang seperti terlupakan.
Menurut Didi, untuk bisa mendirikan sebuah apotek saja, Koen Hian tak dapat izin.
Ia sempat ditahan tanpa keputusan pengadilan. Hal yang sangat menyakitkan baginya karena dilakukan oleh bangsa yang ia bela mati-matian selama bertahun-tahun. "Ia kemudian patah hati dan tak mau jadi WNI," katanya.
Hingga akhir hayatnya pada tahun 1952, Koen Hian tak juga menjadi WNI. Ia meninggal dunia di Medan.
Untuk skala nasional, John Lie dan Liem Koen Hian memang dua nama yang dinilai pantas untuk jadi pahlawan nasional. Namun untuk skala daerah, jumlahnya menurut Didi jauh lebih banyak. Ada ratusan tokoh etnis Tionghoa yang punya jasa besar dalam merebut atau mempertahankan kemerdekaan Indonesia
di tingkat lokal. Sebagian dari mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Salah satu tokoh lokal yang punya andil besar dalam perjuangan adalah Wan Moy. Wanita asal Jawa Tengah ini telah aktif berjuang sejak usia 13 tahun. "Waktu itu ia jadi mata-mata tentara Siliwangi untuk memata-matai Belanda," kata Didi.
Sebagai wanita pejuang, Wan Moy juga aktif di Palang Merah Indonesia, merawat prajurit yang terluka. Didi memperkirakan Wan Moy masih hidup hingga kini.
Nama lain yang turut merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah Gan Sing Lip. Ia merupakan salah satu dari personel Angkatan Udara yang dikirim ke California, Amerika Serikat untuk menjadi pilot.
Bersama sekiatar 50 personel yang dikirim ke California itu, Gang Sing Liep kemudian menjadi tulang punggung Angkatan Udara RI
bersama rekan-rekan prajurit lainnya.
Pada era Orde Baru dia mengubah namanya menjadi Sugandhi. Sama seperti John Lie, setelah wafat, Sing Liep dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Didi memperkirakan ada ratusan tokoh Tionghoa yang punya peran besar dalam kemerdekaan Indonesia. Namun namanya memang tidak muncul ke permukaan.
(ded)