Jakarta, CNN Indonesia -- Ada anggapan bahwa berprofesi sebagai dokter membuat orang cepat bergelimang harta. Biaya pendidikan kedokteran yang tinggi menjadi sebab munculnya anggapan dokter di Indonesia hidup sejahtera.
Kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang juga menjamin kesejahteraan dokter lewat pemberian 60 persen dari total dana kapitasi untuk jasa pelayanan kesehatan semakin memperkuat pandangan bahwa kehidupan dokter memang jauh dari kata susah.
Namun ternyata situasi sebaliknya dialami sejumlah dokter di Blora, Jawa Tengah. "Masyarakat tahunya dokter dimuliakan. Padahal kami diinjak-injak juga," kata Ida Fitri Setiyowati, dokter gigi yang telah empat tahun bertugas di salah satu Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, kepada CNN Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pernyataan Ida muncul setelah dia melihat payahnya sistem kesehatan dan jaminan kesejahteraan dari pemerintah terhadap dokter di daerah di Indonesia. Ida mengakui salah satu contoh buruk jaminan kesejahteraan bagi dokter dan jaminan kesehatan untuk masyarakat dapat ditemukan di wilayah tempat tinggal dan kerjanya di Kabupaten Blora.
Ida membeberkan aspek pengelolaan dana kapitasi yang diberikan BPJS Kesehatan untuk puskesmas. Berdasarkan peraturan yang dibuat pemerintah, minimal 60 persen dana kapitasi diberikan untuk jasa pelayanan kesehatan atau tenaga medis yang melayani pasien. Sedangkan sisanya 40 persen untuk membantu biaya operasional puskesmas.
(Baca:
Sejumput Potensi Duit Hilang dalam Jaminan Kesehatan)
Ida menyebutkan, penyaluran dana kapitasi di Blora tidak disalurkan tepat sasaran. Bahkan dana kapitasi dipotong oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Blora. Idealnya, dana kapitasi yang diperoleh puskesmas tempat Ida bekerja sebesar Rp 150 juta per bulan pada tahun 2014 dengan rincian Rp 90 juta untuk jasa pelayanan dan Rp 60 juta untuk biaya operasional.
"Kalau Rp 90 juta dikali empat bulan berarti seharusnya kami terima Rp 360 juta. Tetapi periode itu hanya menerima Rp 100 juta. Berarti dipotong sampai 70 persen," beber Ida.
Menurut Ida, pemotongan oleh Dinkes pada periode Januari-April 2014. Bukan hanya itu, 26 puskesmas yang berada di Kabupaten Blora diharuskan menyetor dana sebesar 2 persen dari total dana kapitasi yang diterima puskesmas kepada Dinkes.
Ida mengaku pernah memprotes penyimpangan dana kapitasi tersebut kepada Kepala Dinas Kesehatan Blora dan Bupati Blora. Namun dia malah masuk daftar hitam lantaran dianggap terlalu kritis.
Ketidakberesan pengelolaan dana kapitasi untuk 26 puskesmas di Blora makin terkuak ketika hingga 23 Februari 2015, anggaran untuk Januari-Februari tahun ini belum disalurkan ke puskesmas. Padahal Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 tahun 2014 memerintahkan agar pembayaran dana kapitasi kepada FKTP dilakukan paling lambat setiap tanggal 15 bulan berjalan.
"Kepala Dinas datang ke puskesmas dan bilang belum boleh dibagi. Saya enggak tahu apa alasannya," ujar Ida.
Ida mengungkapkan, pemotongan dana kapitasi yang terjadi sepanjang tahun lalu tidak hanya terjadi di puskesmas tempat dirinya bekerja. Seluruh puskesmas di Blora mengalami hal yang sama. Bahkan, 'iuran wajib' dari dana kapitasi diketahui juga harus diberikan oleh seluruh puskesmas di Blora setiap bulan.
"Semua puskesmas di Blora mendapat potongan dana kapitasi semua sekitar 70 persen saat Januari-April 2014. Ada 26 puskesmas di Blora. Semua harus menyetor ke Dinkes Kabupaten sekitar 2 persen setiap bulan sejak Mei 2014," ujar Ida.
Pemotongan Honor Tanpa AlasanPemotongan dana kapitasi yang terjadi di puskesmas di Blora berdampak pada kesejahteraan dokter. Pasalnya, pemotongan dana kapitasi dilakukan dengan memotong honor jasa pelayanan yang seharusnya diterima dokter dalam jumlah penuh sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 tahun 2014, yaitu minimal 60 persen dari total dana kapitasi yang diterima puskesmas.
Sayangnya, tidak ada keterangan jelas yang diberikan kepala puskesmas tempat Dokter Ida bekerja mengenai alasan pemotongan. Pembagian honor jasa pelayanan pun dilakukan dengan mengabaikan poin-poin indikator perhitungan sesuai isi Permenkes Nomor 19 tahun 2014.
(Baca:
Cerita Terlantar, Kisah Rutin Pasien BPJS Kesehatan)
"Pembagian dana kapitasi untuk dokter enggak manut aturan sama sekali. Tidak pakai perhitungan sesuai poin-poin di Permenkes. Sesuka hati kepala puskesmasnya saja," ungkap Ida.
Selain mengacuhkan peraturan, diskriminasi terhadap dokter gigi dan dokter umum juga terjadi. Honor yang didapat Ida setiap bulan dari dana kapitasi lebih kecil dibandingkan penghasilan rekannya yang berstatus dokter umum di puskesmas yang sama.
"Alasan (kepala puskesmas) atas pembedaan itu adalah tanggung jawab dokter umum lebih besar. Aneh, padahal sama-sama tenaga medis. Sumpahnya juga sama, tanggung jawab pun begitu. Yang berbeda toh hanya kompetensinya," kata Ida.
Seluruh kepala puskemas di Blora, menurut Ida, mengetahui pemotongan tersebut. Pemotongan dana kapitasi dapat ditemui dalam dokumen bukti pembagian honor jasa pelayanan kepada para dokter di puskesmas di Blora. Dari situ juga Ida mengetahui ada pemotongan dana yang seharusnya dia dan rekannya terima setiap bulan.
(rdk/sip)