Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Golongan Karya (Golkar) Meutya Hafid Ansyah berpendapat perlunya perspektif gender dari aparat penegak hukum agar dapat menjalankan peraturan dan Undang-Undang (UU) yang berpihak kepada perempuan.
Ia mencontohkan sudah ada UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) namun implementasinya kurang berjalan baik karena ketidakpahaman para penegak hukum.
"Seorang terdakwa kasus KDRT dibebaskan hakim hanya karena berdasarkan pengakuan terdakwa, ia telah mendapatkan maaf dari istri. Padahal istrinya tidak datang di persidangan dan tidak pernah bicara di depan media," kata Meutya saat diskusi di kantor Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Matraman, Jakarta Timur, Selasa (21/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hakim tersebut dinilai Meutya tidak punya perspektif gender. Hal tersebut menghambat upaya untuk menghilangkan kasus KDRT. "Semaju apapun parlemen ketika penegak hukum tidak punya perspektif gender akan sia-sia," kata Meutya menegaskan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2014. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan terhadap istri paling tinggi dibandingkan kasus lainnya.
Di sisi lain, pemerintah sempat mendapat kritik karena persoalan perlindungan perempuan dari kekerasan dan sikap diskriminatif tidak mendapatkan tempat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR pada 2015.
Dari 37 Rancangan Undang-Undang yang disahkan DPR pada Senin (9/2) lalu, tidak satupun yang menyinggung secara khusus mengenai persoalan perempuan. RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG), Amendemen UU Perkawinan, RUU Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tidak tembus ke dalam Prioritas Prolegnas 2015.
(utd)