Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah diminta untuk merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasca terungkapnya penyelundupan burung Kakatua Jambul Kuning di dalam botol minuman mineral.
UU yang sudah berlaku selama 25 tahun ini dinilai tak cukup kuat lagi untuk mencegah penyelundupan satwa liar atau melindungi satwa liar yang dilindungi dan terancam punah.
“Wildlife crime sudah dinyatakan sebagai kejahatan yang terorganisir dan transnasional. Sangat serius. Ketiga terbesar setelah senjata api dan narkotika,” tutur Indra Exploitasia dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jakarta, Senin (11/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indra mengatakan kejahatan itu terjadi di hulu berupa perburuan liar sampai ke hilir, yakni di perdagangannya. Menurut dia, ada suplai dan permintaan.
“Perlindungan di habitat juga penting tapi bagaimana menutup pasar gelap yang terpenting,” katanya. “Jadi kami berharap bisa segera merevisi undang-undang itu.”
Sementara itu, Andri Santosa dari Kelompok Kerja Konservasi mengatakan dorongan untuk merevisi UU Nomor 5/1990 sudah dilakukan sejak 2005. Soalnya, dalam banyak kasus belum berubahnya kebijakan dasar membuat penegakan hukum untuk memberantas penyelundupan satwa liar pun sulit.
“Kasus ini harus menjadi momentum untuk merevisi. Naskah akademiknya sudah ada, tinggal dibahas,” katanya.
Adapun Hanom Bashari dari Burung Indonesia menyarankan revisi tak hanya dilakukan pada UU Nomor 5/1990 tapi juga peraturan-peraturan turunannya. Peraturan perundangan itu seperti diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan PP Nomor 8 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
“Beberapa satwa liar Indonesia tidak masuk ke dalam PP itu,” katanya. “Kami juga mendorong kebijakan di daerah. Mudah-mudahan perubahan UU Nomor 5 nanti juga akan membawa angin segar ke daerah juga, tempat hewan itu berada.”
Identifikasi 88 KasusSofi Mardiah dari Wildlife Conservation Society mengatakan, pihaknya selama ini banyak bekerjasama dengan kepolisian dan Kementerian Kehutanan dalam menangani masalah perdagangan tumbuhan dan satwa liar.
Dia bilang kasus perdagangan tumbuhan dan satwa liar ini sangat tinggi di Indonesia. “Kami sendiri sudah mengidentifikasi ada 88 kasus,” katanya. “Tapi (penegakan hukum) yang ada belum beri efek jera.”
Sofi menyarankan, apabila nanti direvisi, kategorisasi satwa liar atau tumbuhan yang dilindungi sebaiknya mengacu pada CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).
CITES memiliki daftar 35 ribu lebih spesies tumbuhan dan satwa berdasarkan tingkat proteksinya.
(utd)