Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak pemerintah menentukan besaran iuran jaminan pensiun berkisar 8 persen, dengan rincian 5 persen pemberi kerja dan 3 persen pekerja. Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya sebelumnya juga mengusulkan iuran 8 persen dengan besaran manfaat 30 persen.
Presentase itu jauh lebih besar dibanding usul Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menyarankan 1,5 persen, sementara Kementerian Keuangan mengusulkan 3 persen. "Kalau iuran 1,5 persen, besaran manfaatnya akan sangat kecil," kata Elvyn saat rapat dengan komisi IX di Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/5).
Elvyn mengatakan, idealnya iuran jaminan pensiun seharusnya berkisar di angka 10 persen, bila melihat kebijakan yang diterapkan negara-negara maju. Misalnya, Amerika Serikat yang menerapkan iuran 10,40 persen dengan rincian 4,2 persen pekerja dan 6,2 persen pemberi kerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Italia menerapkan iuran 33 persen dengan rincian 9,2 persen pekerja dan 23,8 persen pemberi kerja. Adapun Jepang menerapkan iuran jaminan pensiun sebesar 16,8 persen dengan rincian 8,4 persen pekerja dan 8,4 persen pemberi kerja.
Anggota Komisi IX Rieke Diah Pitaloka berpendapat, angka 8 persen untuk iuran jaminan pensiun tidak boleh dikurangi lagi agar manfaat yang dirasakan signifikan. "Meskipun kami maunya 15 persen," kata Rieke.
Dengan iuran awal sebesar 8 persen, Elvyn berpendapat iuran tersebut memadai untuk membayar kewajiban-kewajiban yang akan jatuh tempo pada periode yang akan datang, dengan tidak memberikan beban yang berlebihan pada generasi mendatang. "Karena konsepnya adalah yang muda menanggung biaya yang tua," ujar Elvyn.
Usia pensiun yang ditetapkan untuk pertama kali adalah 56 tahun. Besaran manfaat minimum berjumlah Rp 300 ribu dan maksimal Rp 3,6 juta. "Nilai tersebut masih bisa ditinjau kembali," katanya.
Komisi IX dan BPJS Ketenagakerjaan berharap Presiden Joko Widodo dapat segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Pensiun karena program tersebut harus mulai beroperasi pada Juli 2015. Sikap cepat pemerintah dibutuhkan karena BPJS Ketenagakerjaan harus melakukan sosialisasi untuk program jaminan pensiun tersebut.
(rdk)