Kupang, CNN Indonesia -- Sebanyak 364 murid kelas 1 hingga 3 dari 26 Sekolah Dasar di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur bakal mengikuti lomba membaca yang digelar lembaga non-profit Save The Children. Ajang ini merupakan tahun ketiga diselenggarakan oleh Save The Children.
Terpilihnya Kabupaten Belu sebagai lokasi penyelenggaraan festival membaca bukan tanpa alasan. Tingginya tingkat kesulitan membaca anak usia 8-10 tahun di Belu -kabupaten yang berbatasan langsung dengan Timor Leste- menjadi alasan diadakannya acara itu.
Koordinator Program BELAJAR (Better Literacy for Academic Result) dari Save The Children, Benny Giri mengatakan saat ini ada 59,7 persen dari 700 anak berusia 8-10 tahun di Belu masih kesulitan membaca. Bahkan, mereka mengalami ketidakmapuan mengenali kalimat dalam bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Lebih dari separuh dari 700 anak terdata buta aksara, atau lebih tepatnya kesulitan membaca dalam bahasa Indonesia. Semakin mendekati perbatasan, jumlah anak yang kesulitan membaca semakin tinggi persentasenya," ujar Benny kepada CNN Indonesia di Atambua, Belu, NTT, kemarin.
Nantinya, ke-364 peserta Festival Membaca 2015 akan berpartisipasi dalam serangkai kegiatan membaca dengan didampingi para fasilitator atau orang tua masing-masing.
Anak-anak yang berpartisipasi akan mengikuti kegiatan membaca puisi, merangkai kata, membaca ekspresif, dan sebuah kuis selama festival berlangsung.
Tidak hanya itu, dijadwalkan para guru dan orang tua murid juga akan berpartisipasi dalam kegiatan menyusun metode pembelajaran bahasa yang cocok untuk anak-anaknya sehari-hari.
Dua Faktor PenyebabMenurut penelitian Save The Children terdapat dua faktor utama yang menyebabkan tingginya tingkat kesulitan membaca dalam bahasa Indonesia bagi anak di perbatasan.
Beberapa faktor utama adalah minimnya dorongan dari mayoritas orang tua kepada anak-anaknya untuk mengenali bahasa nasional, sedikitnya bahan bacaan di rumah-rumah warga dan rendahnya kesadaran membaca masyarakat menjadi sebab sulitnya bahasa Indonesia dipahami oleh anak-anak di Belu.
"Lingkungan yang mendukung literasi sangat minim. Memang ada beberapa orang tua yang mendukung belajar anak, tapi mereka peduli hanya untuk mengingatkan jam-jam belajar begitu. Untuk stimulasi anak (agar belajar) mereka masih minim," kata Benny.
Sebagian besar dari mereka (anak-anak di Belu) juga hanya punya buku atau bahan bacaan berupa kitab suci di rumahnya. Sebagian besar mereka ternyata juga tidak pernah melihat orang tuanya membaca. Nah, padahal contoh dari orang tua itu juga penting," ujar Benny menjelaskan.
Lebih lanjut Benny menjelaskan, faktor pendukung yang menyebabkan adanya kesulitan dalam memahami bahasa Indonesia juga berasal dari metode pembelajaran yang terkesan masih berjalan secara konservatif di beberapa SD di Belu.
Beberapa guru di SD-SD di Belu, dikatakan Benny, masih mengajarkan anak didiknya dengan metode dikte untuk mengenal bahasa Indonesia. Padahal, peserta didik justru dipandang dapat memahami bahasa Indonesia jika proses pembelajarannya dilakukan dengan metode pro-aktif antara guru dan murid.
"Masih banyak guru yang menggunakan metode mengajar central learning. Sistemnya masih mendikte murid untuk menghapal huruf A sampai Z. Memang mereka tahu huruf-huruf itu, tapi mereka masih bingung untuk memakai huruf dalam kata-kata atau kalimat. Kalau kita (Save The Children) bilang itu seharusnya ada proses mengenalkan huruf," ujar Benny.
(sip)