Jakarta, CNN Indonesia -- Kaget. Mungkin itulah perasaan yang ada di setiap benak anak-anak usia dini yang tinggal di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, saat mempelajari bahasa Indonesia sejak masuk sekolah dasar (SD).
Beragam bahasa lokal yang berasal dari akar Bahasa Portugis di Belu memang menjadi sarana penghubung masyarakat di sana sehari-sehari. Kebiasaan menggunakan bahasa lokal itu pun sedikit demi sedikit berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa Indonesia anak-anak di Belu.
Saat berkunjung ke kabupaten yang berbatasan langsung dengan Timor Leste itu, CNN Indonesia menemukan banyaknya anak usia sekolah SD kelas 1 hingga 3 yang masih kelu berbahasa Indonesia. Hal yang kontras jika dibandingkan dengan kemampuan berbahasa Indonesia anak-anak yang hidup di kota-kota besar di Pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ke-kelu-an anak-anak Belu dalam berbahasa Indonesia dapat ditemukan dalam diri Aloysius (8), seorang anak kelas 3 yang berasal dari Kecamatan Lamaknen, Belu, NTT.
Saat berbincang-bincang dengannya, terlihat bahwa bocah laki-laki tersebut cukup lancar menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan memakai bahasa Indonesia. Namun, CNN Indonesia melihat kegagapan Aloysius saat ia diminta untuk membaca sebuah buku cerita bergambar berbahasa Indonesia yang disediakan untuknya.
Beberapa kali Aloysius terlihat masih kesulitan mengeja kata dan kalimat dalam Bahasa Indonesia di buku cerita yang berkisah tentang seorang koki di restoran itu. Bahkan, keberadaan tanda baca pun berkali-kali ia abaikan saat membaca buku tersebut.
"Ya, dia ini terbilang masih kurang kemampuannya berbahasa Indonesia. Karena ia kan telah kelas 3 SD, seharusnya sudah lancar bacanya. Tapi tadi lihat saja masih belum lancar," ujar Ambrosius anggota Save The Children.
Kegagapan Aloysius dalam berbahasa Indonesia menjadi cermin dari kemampuan berbahasa anak-anak di Belu. Walaupun tidak semua anak mengalami kesulitan, namun mayoritas dari mereka baru dapat memahami bahasa Indonesia dalam waktu yang lama setelah belajar.
Koordinator Program BELAJAR (Better Literacy for Academic Result) dari Save The Children, Benny Giri, mengatakan ada dua faktor yang menyebabkan kesulitan memahami bahasa Indonesia terjadi pada anak-anak di Belu sampai saat ini.
Pertama, metode belajar konservatif yang diterapkan di beberapa SD di Belu menjadi faktor pendukung sulitnya anak-anak mempelajari bahasa Indonesia. Kedua, minimnya budaya literasi—atau membaca—masyarakat Belu juga menjadi pendorong lemahnya kemampuan memahami bahasa nasional di sana.
"Sebagian besar mereka (keluarga di Belu) hanya punya buku atau bahan bacaan berupa Bible (Alkitab) misalnya. Ternyata, sebagian besar mereka (anak-anak di Belu) juga tidak pernah lihat orang tuanya membaca," ujar Benny.
Selain menemui Aloysius, CNN Indonesia juga sempat menemui Maria Imamata (32), seorang wanita asli Belu, saat berkunjung ke daerah perbatasan tersebut. Maria mengaku, kebutuhan bahan bacaan anak-anak di Belu yang tinggi belum mampu dipenuhi dengan maksimal sampai saat ini.
Ibu dari seorang anak yang bersekolah di SD Katahon, Belu, itu juga mengatakan bahwa kedatangan Save The Children di daerahnya turut membantu anak-anak dalam mendapatkan bahan bacaan berbahasa Indonesia.
"Mereka (anak-anak) kan ada pos membaca dari Save The Children. Jadi, setiap ada kegiatan mereka pinjam buku-buku di sana (untuk dibaca di rumah)," ujar Maria.
Kebiasaan menggunakan Bahasa Buna, salah satu bahasa lokal di Belu, dalam aktivitas sehari-hari masyarakat di desa Maria juga diakui olehnya. Menurut Maria, penggunaan Bahasa Buna tetap tidak bisa ditinggalkan karena ia menganggap itu merupakan warisan dari nenek moyang mereka.
"Kebiasaan di rumah sering pakai Bahasa Buna. Karena itu bahasa ibu kita. Di sekolah awalnya juga (diajarkan) Bahasa Buna, setelah itu (mengarah ke pengajaran) Bahasa Indonesia agar anak-anak mengerti," kata Maria.
Penggunaan bahasa lokal bukan menjadi penghalang utama munculnya ketidakmampuan anak-anak di Belu dalam memahami Bahasa Indonesia. Namun, budaya
membaca dan sarana serta pra-sarana pendidikan yang kurang memadai lah faktor utama penyebab kurangnya pemahaman bahasa nasional di daerah perbatasan itu.
Kelunya anak-anak untuk berbahasa Indonesia di Belu merupakan potret dari keadaan masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan. Mungkin, ada banyak Belu-Belu lain yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia hingga saat ini.
(hel)