Jakarta, CNN Indonesia -- Bupati Mimika Eltinus Omaleng menuntut PT Freeport Indonesia untuk membayarkan ganti rugi atas penambangan emas yang dilakukan di empat hingga lima gunung emas di Mimika, Papua. Ia mengatakan Freeport tidak pernah membayar ganti rugi selama 48 tahun atau sejumlah US$ 3,6 miliar.
Selain ganti rugi, Eltinus juga menuntut Freeport untuk membayarkan hak ulayat masyarakat adat suku Amungme yang wilayahnya menjadi target penambangan emas.
"Kami tuntut karena kami mau katakan hak ulayat itu besar. Kami yang hadir ini ada di tempat operasi Freeport. Mereka sudah habiskan gunung emas yang mereka ambil dari sana. Kami mau supaya ganti rugi itu dulu," ujar Eltinus di Gedung Sekretariat Negara Sayap Timur Lantai 3, Jalan Veteran 3, Jakarta Pusat, Senin (29/6).
(Baca Juga: Pemberian Izin Khusus Freeport Dinilai Langgar Undang-Undang)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eltinus menjelaskan ganti rugi tidak pernah pernah dibayarkan sejak 1967 hingga saat ini meski pihaknya telah sering melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan. Ia berpendapat dalam pertemuan itu Freeport selalu memberikan jawaban yang sama tanpa adanya tindakan.
"Selalu dikatakan bahwa di dalam kontrak kerja ini pemerintah Indonesia dengan Freeport sudah tandatangan bersama, jadi kami diarahkan ke pemerintah terus. Itu tahun ke tahun," kata dia.
Ia pun berharap agar Presiden Jokowi bersedia memberikan jawaban atas keinginan masyarakat Mimika perihal permasalahan ini karena Freeport selalu mengaitkan kontraknya dengan pemerintah pusat. Lebih jauh, terkait ganti rugi, Freeport memaparkan adanya dana 1 persen dari keuntungan untuk dialokasikan bagi pendidikan dan kesehatan masyarakat sekitar.
"Kami tidak mau urusan dengan itu. Itu dia punya kewajiban untuk melihat masyarakat sekitarnya. Mereka ambil gunung kami berapa sudah habis mereka tambang," kata Eltinus.
(Lihat Juga: Pemerintah: Perubahan Status Freeport Demi Jamin Investasi)Sementara itu, seorang warga Suku Amungme, Janes, berpandangan bahwa dana 1 persen yang diberikan Freeport kepada pemerintah pusat itu merupakan hasil kesepakatan atas terjadinya kerusuhan masyarakat di Tembagapura. Namun, ia menganggap uang 1 persen itu sebagai uang darah atau tebusan untuk penyelesaian konflik.
"Bukan hanya Amungme, tapi semua suku di Mimika. Kami tidak mau karena 1 persen uang darah. Oleh karena itu, kami anggap itu masuk mentah, itu bukan ke kami," kata dia.
Janes kemudian berharap pemerintah bisa menjadi penolong masyarakat kecil yang menjadi korban perusahaan swasta karena tanahnya dieksploitasi hingga mengalami kerusakan.
(utd)