Jakarta, CNN Indonesia -- Albert Maramis dari Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia mengkritik media massa karena dianggap terlalu menyederhanakan kasus bunuh diri. Menurutnya, kasus bunuh diri merupakan masalah yang kompleks sehingga tak bisa diberitakan hanya dari satu aspek.
“Sering kali media massa melakukan penyederhanaan kasus, misalnya menyebutkan penyebab bunuh diri hanya dari satu sisi,” kata Albert di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), di Jakarta.
Senada dengan Albert, Benny Prawira dari komunitas Into The Light berpendapat penyederhanaan yang dilakukan oleh media saat memberitakan kasus bunuh diri justru dapat menimbulkan upaya peniruan dari orang lain yang membaca berita itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Misalnya, pemberitaan bahwa bunuh diri karena putus cinta. Orang yang bernasib sama bisa saja melakukan bunuh diri juga. Seharusnya tidak perlu berfokus pada penyebab bunuh dirinya,” tutur Benny.
Ia berpendapat kronologis dan penyebab bunuh diri tak perlu dijabarkan secara detail dalam berita. Begitu pula dengan surat wasiat atau diari orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri.
“Surat wasiat serta diari itu sifatnya privasi. Tidak perlu dipampangkan di media massa. Saya lihat juga kadang alamat pelaku bunuh diri ditampilkan secara gamblang di media. Untuk apa?” katanya.
Pemberitaan semacam itu, kata Benny, malah akan menimbulkan kesulitan pada orang tua atau keluarga orang yang melakukan bunuh diri tersebut. “Masih ada stigma kuat yang melekat pada orang yang bunuh diri. Hal ini kemudian membebani hidup keluarganya,” kata Benny.
Adapun, Into The Light merupakan komunitas yang bergerak dalam bidang pencegahan bunuh diri. Komunitas ini berusaha memberikan penguatan kepada orang-orang yang berniat ataupun telah melakukan percobaan bunuh diri.
Di sisi lain, Direktur Kesehatan Jiwa Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes Eka Viora berpendapat laporan media tentang bunuh diri perlu menekankan bahwa setiap bunuh diri merupakan kerugian bagi masyarakat.
“Bunuh diri tidak terjadi karena faktor tunggal. Jangan menyalahkan korban karena tindakan tersebut disebabkan oleh kombinasi berbagai penyebab. Tekankan bahwa putus cinta, tidak lulus ujian, atau tidak jadi ke luar negeri bukanlah penyebab bunuh diri,” tuturnya.
Selain itu, media juga diharapkan memberikan informasi pencegahan bunuh diri, seperti pusat pencegahan krisis, pusat pengobatan keracunan, atau lembaga yang dapat memberikan pertolongan untuk pencegahan bunuh diri.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2015, bunuh diri di banyak negara merupakan penyebab kematian nomor dua untuk penduduk kelompok usia 15 hingga 29 tahun. Setiap tahun tercatat ada 800 ribu orang meninggal karena bunuh diri.
Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia diperingati setiap 10 September. Pada tahun ini, tema pencegahan bunuh diri yaitu “Mengulurkan Tangan dan Menyelamatkan Jiwa”.
(obs)