Greenpeace: Tujuh Warga Dibui Karena Tolak PLTU Batang

Aulia Bintang Pratama | CNN Indonesia
Senin, 05 Okt 2015 19:26 WIB
Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Arif Fiyanto menduga warga tersebut dikriminalisasi karena menolak pembangunan PLTU tersebut.
Puluhan warga Batang bersama LSM Greenpeace Indonesia melakukan aksi membentangkan poster penolakanl di depan Merdeka, Jakarta, Rabu (3/6). (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Organisasi pencinta lingkungan Greenpeace mengapresiasi aksi warga Batang, Jawa Tengah, yang menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di daerah tersebut. Akibat aksi penolakan, sejumlah warga sampai harus dipenjara.

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Arif Fiyanto mengungkapkan setidaknya ada tujuh warga Batang yang ditahan pihak kepolisian tanpa alasan yang jelas. Mereka menduga para warga tersebut telah dikriminalisasi karena menolak pembangunan PLTU dengan bahan dasar batubara tersebut.
"Ada tujuh warga yang ditahan karena dikriminalisasi. Tiga diantaranya bebas setelah ada vonis pengadilan yang menyatakan mereka tak bersalah," kata Arif saat ditemui di Jakarta, Senin (5/10).

Arif menambahkan tiga orang yang divonis bebas tersebut pun sebenarnya sudah sempat mendekam di balik jeruji besi selama kurang lebih lima bulan lantaran tidak setuju dengan pembangunan PLTU Batang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun begitu, tidak semua warga yang terkena kriminalisasi lolos dari jerat hukum. Satu warga asal Desa Karanggeneng bernama Cayadi dinyatakan bersalah dan harus tinggal di penjara selama tujuh bulan.

"Pak Cayadi itu dianggap menganiaya warga yang mendukung pembangunan PLTU padahal saat kejadian beliau tidak ada di tempat," kata Arif.

Ditemui di depan Istana Presiden tengah melakukan aksi unjuk rasa menolak pembangunan PLTU Batang, Cayadi mengungkapkan bahwa kejadian tersebut terjadi pada 2011 lalu, tepatnya saat proyek PLTU pertama dicanangkan. Saat itu sebenarnya dia telah divonis bebas oleh pengadilan negeri setempat.

"Tapi setelah ada pengajuan kasasi oleh jaksa ke Mahkamah Agung saya ditetapkan bersalah. Padahal saya tidak tahu ada kejadian itu," kata Cayadi.

"Putusan kasasi keluar pada 2014 dan saya ditahan selama tujuh bulan tapi sampai sekarang saya tidak pernah menerima apalagi membaca salinan putusan tersebut."

Proyek PLTU Batang tersebut dimulai pada 2011 lalu dan tender dimenangkan oleh PT Bhimasena Power Indonesia, dengan tiga anak perusahaan, yaitu PT Adaro (Indonesia) dan dua perusahaan asal Jepang PT Jpower dan PT Itochu. Saat proyek dimulai total dana yang dibutuhkan untuk membangun dipatok pada angka US$ 4 juta atau jika dirupiahkan (dengan nilai tukar Rp 15.000) akan menyentuh angka Rp 60 triliun.

Sebenarnya target pemerintah saat itu PLTU Batang akan selesai dan bisa beroperasi pada 2016 mendatang. Namun karena gagal memenuhi financial closing hingga tenggat waktu yang telah ditentukan, pembangunan pun urung dilaksanakan.

Berdasarkan data Greenpeace, pertama kalinya PT BPI gagal memenuhi tenggat financial closing adalah pada 6 Oktober 2012. Lalu karena gagal memenuhi tenggat maka pemerintah saat itu memperpanjang tenggat hingga 6 Oktober 2013.

Sayangnya, perpanjangan tenggat tersebut bernasib sama dengan sebelumnya dan akhirnya perpanjangan kembali dilakukan hingga 6 Oktober 2014. Namun, setelah perpanjangan tersebut financial closing tetap belum bisa dipenuhi, hingga tenggat kembali diperpanjang hingga besok, Selasa (6/10). Jika ditotal, perpanjangan tenggat financial closing proyek PLTU Batang terjadi empat kali.

Gagalnya PT BPI memenuhi tenggat waktu financial closing tersebut diakibatkan oleh masyarakat yang menolak memberikan lahan mereka. Itu menyebabkan proses pembebasan lahan belum tuntas hingga waktu yang telah ditetapkan. (utd)
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER