Kakao, Jalan Keluar dari Kemiskinan Papua

Gilang Fauzi | CNN Indonesia
Senin, 14 Des 2015 04:05 WIB
Di tengah masa pelik akibat serangan hama, bantuan Oxfam yang selama ini didapat oleh petani Jayapura malah diputus oleh pemerintah pusat.
Siswa-siswi SD Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) St. Fransiscus Xaverius Yanggandur berbaris sebelum kegiatan belajar mengajar di Distrik Sota, Merauke, Papua. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bumi Cenderawasih Papua menyimpan kekayaan alam yang tak terkira nilainya. Pulau terbesar di Indonesia itu dianugerahi tanah subur dengan dukungan alam tropis di lintang garis khatulistiwa.

Salah satu hasil alam yang memiliki potensi besar untuk menjadi komoditas unggulan di negeri mutiara hitam itu adalah kakao. Namun minimnya perhatian pemerintah terhadap pembudidayaan kakao di Papua menjadi sebuah kendala besar yang justru menghambat produktivitas budidaya kakao itu sendiri.

Untuk Kabupaten Jayapura saja, Dinas Pertanian setempat mencatat hanya 14,5 ribu hektare lahan yang baru digarap dari total luas lahan garapan 1,44 juta hektare. Dengan kata lain, masih ada sekitar 1,42 juta hektare lahan garapan kakao yang belum digarap untuk di Jayapura saja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura Adolof Yoku menyatakan minimnya sumber daya manusia dan infrastruktur penunjang menjadi kendala penghambat bagi pengoptimalan budidaya kakao di Jayapura.

"Terlebih, beberapa tahun belakangan ini muncul serangan hama penggeret buah kakao. Kami masih mencari cara agar kakao ini bisa menjadi komoditas unggulan Papua," ujar Adolof saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (11/12).

Peran dan kehadiran lembaga swadaya masyarakat pada akhirnya menjadi alternatif tumpuan para petani kakao untuk dijadikan sebagai pendamping sekaligus mitra kerja. Minimnya pengetahuan para petani dalam hal perawatan tanaman dan pemasaran hasil produksi masih menjadi persoalan paling klasik di Papua.

Organisasi nirlaba dari Inggris, Oxfam, merupakan salah satu LSM internasional yang menaruh perhatian penuh pada keberlangsungan budidaya tanaman kakao di Papua. Melalui Papua Enterprise Development Program yang dimulai sejak 2011, Oxfam tercatat telah mengalokasikan bibit senilai Rp 1 miliar di 11 kecamatan di Jayapura.

Sedikitnya ada lima perusahaan besar yang telah difasilitasi untuk membeli dan memasarkan produk Kakao dari tiga Kelompok Tani di dua Desa hasil binaan Oxfam. Peran mediasi dari Oxfam itu dalam banyak hal telah membantu petani Jayapura lebih giat membudidayakan tanaman kakao dengan jaminan pemasaran hasil produksi yang lebih terukur.

"Selain pembinaan dan bantuan alat, misi utama kami adalah bagaimana caranya memotivasi para petani untuk terus bersemangat membudidayakan tanaman kakao," ujar Koordinator Oxfam untuk wilayah timur Indonesia, Ellva Rori.

Namun di tengah masa pelik akibat serangan hama, bantuan Oxfam yang selama ini didapat oleh petani Jayapura malah diputus oleh pemerintah pusat. Kebijakan baru mengharuskan Oxfam tutup kantor lantaran pemerintah pusat tak memberi restu LSM asing untuk memperpanjang masa tinggalnya di Papua.

Kepergian organisasi yang punya visi "dunia tanpa kemiskinan di Indonesia" itu disesali oleh para petani hasil binaanya. Kepala Kelompok Tani Yambo, Abe Wanimbo, bahkan merasa kehilangan pendamping yang selama ini menyemangati kelompoknya untuk terus bertani.

"Kami banyak diberi bantuan oleh Oxfam. Sebelumnya kalau tidak ada perhatian seperti ini, para petani di sini kerjanya malas-malasan," ujar Abe.

Malasnya para petani dalam bekerja bukan tanpa alasan. Abe bersama kelompoknya di Kampung Bambar, Distrik Waibu, punya pengalaman pahit sebelum digandeng Oxfam untuk membudidayakan tanaman kakao.

Kelompok Tani pimpinan Abe sebelumnya digandeng pemerintah daerah untuk menanam buah merah. Namun berbeda dengan Oxfam, Pemda setempat hanya memberikan bibit buah merah untuk ditanam tanpa pernah sekalipun memberikan pendampingan berupa penyuluhan.

Ketika buah merah panen, Abe bingung harus memasarkannya ke mana. Dia lantas membawa minyak hasil perasan buah merah ke pusat kora untuk diserahkan ke Dinas Pertanian dengan harapan bisa mendapat hasil imbalan jerih payah.

"Tapi bayaran itu tidak pernah ada. Ongkos pergi ke kota pun kami tidak diganti. Kami pulang dengan tangan kosong sudah," kata Abe.

Kakao pada akhirnya menjadi semacam pemantik harapan bagi Abe dan kelompoknya untuk terus bertani. Meski harus ditinggal Oxfam, Abe setidaknya telah dibekali pemahaman untuk menghasilkan produk kakao berkualitas dan memasarkannya dengan nilai jual yang lebih tinggi.

Perusahaan besar asal Amerika Serikat, Ecom, merupakan salah satu pembeli hasil produksi kakao di Jayapura, Keerom, dan Sarmi, Papua. Selama kurun 2014, Ecom mengklaim telah membantu penjualan hasil panen petani dengan membeli sekitar 700 ton biji kering kakao.

Harga beli per kilogram biji kering kakao yang dibaderol Ecom berkisar Rp 30-32 ribu. Harga beli itu terhitung lebih tinggi ketimbang petani menjual kepada middleman atau perantara pemasaran dengan tarif berkisar Rp 16-27 ribu.

Manager Ecom untuk Papua, Kusnan, menyatakan potensi panen biji kering kakao di Papua ditaksir bisa mencapai 48 ribu ton dalam satu tahun. Sementara fakta di lapangan, kata Kusnan, hasil produksi panen biji kering kakao di Papua baru mencapai sekitar 2.146 ton dalam setahun.

"Artinya, dengan kondisi wilayah tropis yang mendukung seperti ini, kakao merupakan potensi untuk bisa menjadi jalan keluar dari kemiskinan para petani di Papua," kata Kusnan.

Kusnan menuturkan, dengan melakukan pembelian langsung tanpa perantara, para petani bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Hasil panen biji kering itu nantinya kemudian akan diekspor dan diolah menjadi produk-produk cokelat berkualitas. Cadbury adalah salah satu merek terkenal yang cokelatnya didatangkan Ecom dari Papua.

Cokelat Papua diakui memiliki kualitas yang dapat menyaingi cokelat domestik maupun luar negeri. Satu-satunya produsen cokelat lokal di Papua, I Made Budi, bahkan menjamin kualitas cokelat Papua nomor wahid di dunia.

"Kandungan minyak dari cokelat Papua sangat tinggi. Bisa saya katakan, kualitas cokelat Papua ini mengalahkan cokelat Ghana dan Pantai Gading," ujar peneliti lokal yang juga sekaligus penemu buah merah itu.

Bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi pusat produsen cokelat paling diandalkan di dunia internasional. Presiden Joko Widodo bahkan punya harapan Indonesia bisa mewujudkannya dalam 5-6 tahun ke depan.

“Insya Allah bisa jadi nomor satu. Saya sudah beberapa kali ke lapangan penghasil cokelat, saya lihat bukan sesuatu yang sulit. Ini hanya masalah niat mau atau tidak memberi perhatian ke petani coklat,” kata Presiden Jokow, Mei silam.

Namun dengan minimnya perhatian pemerintah dalam hal pendampingan dan bantuan pengelolaan pemasaran untuk para petani kakao, adalah muskil cita-cita itu bisa terwujud. Pemerintah perlu terjun langsung dan kembali memfokuskan diri pada program gerakan nasional tanam kakao secara berkelanjutan.

"Kalau perlu, pemerintah bikin departemen khusus pengelolaan kakao. Papua Nugini melakukan itu, dan terbukti petani mereka sejahtera," kata Made. (obs)
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER