Jakarta, CNN Indonesia -- Penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) memanggil eks Menteri BUMN Laksamana Sukardi untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkembangan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski, Jakarta.
"Saksi hadir memenuhi panggilan penyidik. Keterangan (Laksamana SUkardi) dibutuhkan mengingat saat itu yang bersangkutan menjabat selaku Menteri BUMN," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Amir Yanto di Jakarta, Selasa (1/3).
Selain Laksamana Sukardi, penyidik juga mengagendakan pemeriksaan terhadap tiga saksi lainnya, yakni Johanes Arief Hartono (Direktur Utama PT Cipta Karya Bumi Indah Periode 2004), Fransiskus Yohanes Hardianto Lazaro (Direktur Utama PT Grand Indonesia) dan Wijajanto Samirin (Swasta). Namun ketiga saksi itu tidak memenuhi panggilan penyidik JAM Pidsus tanpa keterangan yang jelas.
Menurut Amir, pemeriksaan terhadap Laksamana Sukardi pada pokoknya mengenai kronologis terjadinya Perjanjian Kerja sama antara Hotel Indonesia dengan PT Cipta Karya Bumi Indah dengan sistem Built, Operate, and Transfer (BOT) atau membangun, mengelola, dan menyerahkan (bentuk hubungan kerja sama antara pemerintah dan swasta dalam rangka pembangunan suatu proyek infrastruktur) pada tahun 2004.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum ada tersangka yang ditetapkan oleh kejaksaan dalam kasus tersebut. Menurut Amir, penyidik saat ini sedang menyusun dan mempersiapkan rencana pelaksanaan penyidikan dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
Sebagai informasi, setelah menjadi pemenang lelang pengelolaan Hotel Indonesia dan dilaksanakan perjanjian kerja sama dengan PT Hotel Indonesia Natour (Persero) dengan sistem BOT, PT Cipta Karya Bumi Indah telah membangun dan mengelola gedung menara BCA dan Apartemen Kempinski yang tidak ada dalam perjanjian BOT antara kedua belah pihak.
Akibatnya, diduga tidak diterimanya bagi hasil yang seimbang atau tidak diterimanya pendapatan dari operasional pemanfaatan kedua bangunan tersebut sehingga mengakibatkan kerugian negara untuk sementara adalah sekitar Rp1,29 triliun.
(gil)