Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mendorong pemerintah merombak formulasi kemiskinan yang selama ini diterapkan Badan Pusat Statistik (BPS). Formula yang digunakan dianggap tidak mencerminkan kemiskinan secara komprehensif.
Sekretaris Jenderal KPI, Dian Kartikasari menyatakan formulasi kemiskinan yang menggunakan pendekatan pendapatan dan pengeluaran per hari dianggap sangat bias dan tidak menangkap kemiskinan secara multi dimensional. Jika formulasi penghitungan kemiskinan tidak diubah, ia mengatakan pemerintah seolah abai terhadap kondisi yang terjadi sebenarnya.
"Kalau kemiskinan dilihat secara pendapatan saja penilaiannya bisa jadi sangat bagus sekali seolah-olah kemiskinan kita jadi berkurang. Padahal kemiskinan itu bukan sekedar pendapatan, tapi masalah kesejahteraan juga terdapat di dalamnya," ujar Dian di Jakarta, Minggu (6/3).
Lebih lanjut, ia mengatakan seharusnya indikator kemiskinan memasukkan unsur kemudahan akses publik terhadap barang-barang publik seperti kesehatan dan pendidikan. Dibandingkan masalah pendapatan, Dian mengatakan kedua hal tersebut lebih mencerminkan distribusi kemiskinan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ambil contoh di Mamuju, Sulawesi Barat. Di sana ada golongan masyarakat yang pendapatan per kapitanya cukup tinggi, namun sangat jauh dari akses publik, contohnya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang bisa berkilometer jaraknya. Artinya bisa dibilang rakyat ini belum sejahtera karena kesusahan mendapatkan fasilitas publik," ujarnya.
Diakui olehnya, semakin banyak indikator penyusun angka kemiskinan maka akan semakin rumit penghitungannya. Namun menurutnya, hal itu tak menjadi masalah karena penghitungannya bisa lebih komprehensif.
Jika data kemiskinan yang dihasilkan lebih komprehensif, maka hal itu bisa digunakan sebagai acuan pemerintah untuk melaksanakan beberapa kebijakan pengentasan kemiskinan. Ia beralasan, selama ini kebijakan pemerintah banyak yang meleset karena tidak menggunakan basis data yang benar.
"Kalau datanya tidak benar, maka kita tidak tahu apa yang seharusnya perlu dibenahi. Contoh nyatanya adalah Dana Pengentasan Kemiskinan yang nilainya selalu meningkat antar tahun. Tapi buktinya apa? Angka kemiskinan tidak menunjukkan penurunan yang signifikan," jelasnya.
Hingga saat ini, pihaknya telah beberapa kali mengajukan audiensi dengan pemerintah terkait hal tersebut. Namun menurutnya, sampai sekarang belum ada hasil yang nyata.
"Buktinya sampai sekarang kita masih memperjuangkan akses pendidikan dan kesehatan ke dalam formulasi kemiskinan. Kalau masyarakat tak punya akses ke barang publik, bagaimana perlindungan sosial mereka juga terjamin?" ujarnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan Indonesia per Maret 2015 tercatat sebesar 28,59 juta jiwa atau meningkat dibandingkan jumlah penduduk miskin per September 2014 dengan jumlah 27,73 juta jiwa. Angka tersebut mengambil porsi 11,12 persen dari jumlah penduduk Indonesia per Maret 2015.
(yul)