Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga swadaya masyarakat yang fokus mengurusi masalah buruh migran di Indonesia, Migrant Care, menilai kebijakan migrasi tenaga kerja di Indonesia yang nir hak asasi manusia (HAM) berdampak sistemik pada pelanggaran HAM bagi buruh migran Indonesia, terutama perempuan.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah berpandangan, dalam skema kebijakan migrasi yang anti terhadap HAM, buruh migran perempuan menjadi korban paling utama. Hal itulah yang mendasari peluncuran Laporan Kajian Kebijakan Migrasi di Indonesia dari Perspektif HAM. Selain itu, peluncuran laporan ini juga menjadi rangkaian peringatan Hari Perempuan Internasional.
Migrant Care, papar Anis, dalam beberapa waktu lalu telah mengkaji puluhan kebijakan, yang di antaranya terdapat Memorandum of Understanding (MoU), Undang-Undang, Peraturan Presiden (Perpres), Instruksi Presiden (Inpres), Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan Daerah (Perda), dan Peraturan Desa (Perdes).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari seluruh hal yang dikaji, hampir tidak ada satupun kebijakan yang berpedoman pada HAM," ujar Anis di Jakarta Pusat, Senin (7/3).
Peraturan-peraturan pemerintah yang belum berpedoman terhadap pemenuhan HAM itu, menurut Anis, yang memicu terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM buruh migran, khususnya perempuan, selama ini.
Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo menuturkan, berdasarkan laporan tersebut, pihaknya tidak melihat adanya perubahan yang signifikan dari produk-produk kebijakan tentang tata kelola penempatan buruh migran Indonesia, baik sebelum maupun sesudah Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya yang sudah disahkan oleh DPR pada 12 April 2012 dan diundangkan dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012.
"Sehingga, pertanyaan besarnya, apakah memang pada waktu itu ada kesungguhan yang kuat dari pemerintah Indonesia, ketika meratifikasi, benar-benar didedikasikan untuk kebutuhan buruh migran?" kata Wahyu.
Menurut Wahyu, masih ada perbedaan cara pandang di antara kementerian maupun lembaga pemerintah di Indonesia terkait penempatan buruh migran.
"Kita lihat di beberapa forum internasional, saya lihat komitmen kuat di Kemlu pemerintahan Retno Marsudi tentang penempatan buruh migran, tapi di sisi lain, Kemenaker merasa bahwa konvensi ini menjadi beban. Ini persoalan internal atau domestik yang harus diselesaikan," ujarnya.
Lebih lanjut, Wahyu menyebut masih ada konflik antara kementerian dan lembaga pemerintah mengenai penanganan buruh migran yang notabene berimplikasi kuat terhadap apa yang dialami para pekerja migran di luar negeri.
"Di Kemenaker kontraproduktif dengan (kebijakan penanganan buruh migran) ini, misalnya Kepmen tentang pembiayaan keberangkatan ke Hongkong dan Taiwan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain," katanya.
Wahyu menuturkan, dari seluruh Kepmen tentang penanganan buruh migran, hanya Kepmen tentang tata cara pemulangan TKI secara mandiri yang dinilai cukup baik. "Itu pun memang desakan masyarakat sipil dan itu dianggap perubahan Kemenaker yang pada saat itu dipimpin Muhaimin Iskandar," ujarnya.
Wahyu memberi contoh salah satu MoU yang harus dikaji ulang oleh pemerintah, yakni Mou antara pemerintah Indonesia dengan Jepang yang hanya merupakan turunan dari perjanjian ekonomi dan perdagangan antara kedua negara dalam skema Indonesia-Japan Economic Partnership (IJEPA).
"Tentu saja MoU itu lebih banyak menggunakan prinsip-prinsip ekonomi dan abai prinsip-prinsip HAM. Jadi domain perjanjian seharusnya ada perlindungan buruh migran, tidak bisa hanya jadi turunan perjanjian ekonomi," katanya.
Sementara itu, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menganggap laporan Migrant Care ini sebagai fondasi yang bagus ke depan, karena memuat gap analysis.
Lalu membayangkan gap analysis itu nantinya jika bisa dilengkapi dan diselesaikan, maka akan memudahkan pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah di lapangan.
"Pemerintah belum sampai situ," ujarnya.
Ia menambahkan, "dengan gap analysis ini, kami jadi tahu di mana kami harus fill the gap. Kami dukung dan siap bekerjasama."
Lalu berpendapat, gap analysis itu bisa menjadi langkah awal untuk mengembangkan analisa hukum dan sistem di lapangan. "Pemerintahan kita ini proses pembenahan hukum waktunya sangat panjang dan sulit, sementara di lapangan beberapa sistem sudah kita ubah," katanya.
(gil)