Jakarta, CNN Indonesia -- Penangkapan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta sekaligus Anggota Badan Legislatif Daerah (Balegda) Mohamad Sanusi dikaitkan dengan pembahasan dua rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai reklamasi. Anggota Balegda DPRD DKI Gembong Warsono menjelaskan, ada dua pasal krusial yang membuat pembahasan raperda tersebut memanas antara DPRD dengan Pemerintah Provinsi DKI.
Gembong menjelaskan, kedua pasal tersebut adalah terkait isu perizinan dan kontribusi tambahan. “Jadi dua pasal ini yang akhirnya membuat belum ada kesepakatan di antara eksekutif dan legislatif,” ujar Gembong kepada CNNIndonesia.com hari ini, Sabtu (2/4).
Menurut Gembong, sejumlah Anggota Balegda dikejutkan dengan pasal perizinan yang tiba-tiba muncul dalam Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai di Jakarta Utara. Padahal dalam pembahasan awal Raperda tersebut, tidak ada klausul mengenai perizinan lantaran izin memang menjadi kewenangan pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gembong mempertanyakan kepada Pemprov Jakarta yang tiba-tiba ngotot memasukan pasal perizinan reklamasi dalam Raperda tersebut. “Karena dalam pemahaman legislatif, perizinan reklamasi itu adalah domain pemerintah pusat. Maka Perda tidak boleh mengatur soal reklamasi,” kata Gembong.
Namun argumentasi DPRD DKI tersebut diabaikan Pemprov DKI Jakarta yang tetap ingin agar perizinan reklamasi masuk dalam Raperda Tata Ruang itu. Padahal, lanjut Gembong, yang menjadi kewenangan Pemprov DKI adalah pengaturan mengenai tata ruang hasil reklamasi karena berdampak terhadap kehidupan dan kesejahteraan warga setempat.
“Jadi bukan soal izin reklamasinya yang menjadi wewenang Pemprov. Tapi kok ini mau dimasukan. Ini yang belum selesai,” tutur politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
Pasal kedua yang menjadi perdebatan adalah mengenai kontribusi tambahan yang diwajibkan Pemprov DKI kepada pengembang yang memperoleh izin reklamasi. Gembong yang juga menjabat Sekretaris Fraksi PDIP di DPRD DKI ini menyebutkan, Pemprov DKI ngotot agar pengembang harus memberi kontribusi tambahan sebesar 15 persen dari total hasil reklamasi.
Kontribusi tersebut harus dibayarkan pada awal setelah pengembang mendapat izin melakukan reklamasi. “Sebagian Anggota Dewan menganggap kontribusi 15 persen itu terlalu berat karena ada pengembang yang merupakan BUMD,” kata Gembong.
Pengembang yang merupakan BUMD tersebut, lanjutnya, tidak akan sanggup menyetor kontribusi 15 persen karena jika diuangkan, angkanya sangat besar. Gembong mencontohkan, untuk izin reklamasi seluas 3 ribu hektare, jumlah kontribusi tambahan yang harus dibayarkan oleh pengembang mencapai Rp2,8 triliun.
Jika sudah seperti ini, BUMD tersebut akan meminta Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) yang jika tidak disanggupi, bakal berujung pada penjualan BUMD tersebut kepada pihak swasta.
Setoran kontribusi tambahan dari pengembang tersebut akan digunakan oleh Pemprov DKI untuk melakukan revitalisasi daratan hasil reklamasi. Gembong mengaku memahami pola pikir Pemprov DKI tersebut.
“Tetapi kami menyoroti ketidakmampuan BUMD itu. Makanya perlu kami sinkronkan. Pembahasan belum selesai,” ujar Gembong.
Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lungganan (Lulung) sebelumnya menyebut, pembahasan dua raperda mengenai reklamasi tinggal menunggu paripurna. Namun Gembong membantah pernyataan tersebut.
Menurut Gembong, pembahasan kedua raperda masing panjang. Dalam waktu dekat, belum ada agenda paripurna untuk membahas raperda tersebut karena hingga kini pembicaraan masih dilakukan di tingkat Balegda dengan Pemprov DKI.
(rdk)