Jakarta, CNN Indonesia -- Jajaran mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menolak menghadiri rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR dalam agenda membahas dugaan penyelewengan pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
Penolakan itu disampaikan Taufiequrahman Ruki, Zulkarnain, Adnan Pandupraja, Johan Budi, dan Indrianto Senoaji secara tertulis kepada sekretaris komisi hukum DPR. Mereka menuturkan, KPK saat ini masih terus menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi dalam pembelian lahan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Untuk menghindari kesan adanya destruksi independensi penanganan kasus maupun independensi kelembagaan KPK, dengan segala hormat kami berhalangan menghadiri undangan Komisi III DPR RI," ujar Ruki dalam keterangan resmi, Selasa (26/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia berpendapat, penanganan dugaan korupsi perkara pembelian lahan RS Sumber Waras sebaiknya diserahkan kepada jajaran pimpinan KPK saat ini, sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku.
Menanggapi penolakan itu, Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, keterangan eks komisioner KPK terkait perkara sumber waras sangat penting. Pada Agustus 2015, KPK meminta Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit investigasi jual beli lahan RS Sumber Waras.
Permintaan itu sebagai tindak lanjut laporan pengamat politik dan perkotaan Amir Hamzah ke KPK. Amir menduga ada penyimpangan yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam pembelian lahan itu.
"Seingat kami, permintaan audit investigasi kepada BPK selaku auditor negara itu paling tidak ada bukti permulaan yang cukup dugaan tindak pidana korupsi. Bukan soal ada atau tidak adanya niat jahat," kata Bambang.
Komisi hukum berniat mengundang kembali lima mantan komisioner KPK setelah masa reses. DPR memasuki masa reses pada 29 April.
Berdasarkan hasil audit investigasi, BPK menemukan perbedaan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan di sekitar RS Sumber Waras yakni di Jalan Tomang Raya dengan lahan rumah sakit di Jalan Kyai Tapa.
Pihak RS Sumber Waras bersedia menjual lahan dengan nilai NJOP Rp20,7 juta per meter persegi yang menyesuaikan NJOP untuk area Jalan Kyai Tapa.
Namun, berdasarkan perhitungan BPK, NJOP seharusnya tidak mengacu pada harga Jalan Kyai Tapa melainkan Tomang Utara senilai Rp7 juta per meter persegi.
Penjualan lahan di Kyai Tapa dilakukan setelah Peraturan Gubernur Nomor 135 Tahun 2013 diubah melalui Pergub Nomor 145 Tahun 2014 yang ditandatangani Gubernur DKI saat itu, Joko Widodo.
Pergub Nomor 135 Tahun 2013 mengatur, NJOP meliputi tanah dan perairan di dalamnya dan bangunan yang melekat di atasnya. NJOP dihitung berdasar rata-rata harga pasar dan daftar biaya komponen bangunan di suatu wilayah.
Sementara itu, Pergub Nomor 145 Tahun 2014 mengatur, NJOP bangunan dengan zonasi nilai tanah khusus atau wilayah khusus pun tak lagi menyesuaikan dengan harga pasar.
Pasal 4a kebijakan ini menyatakan, Kepala Dinas Pelayanan Pajak dapat menentukan sendiri NJOP suatu bangunan khusus dengan dasar untuk menggali potensi bangunan yang ada di dalamnya.
Setelah melalui serangkaian kajian internal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Ahok memutuskan membeli lahan itu pada 10 Desember 2014. Saat itu, Ahok menjabat sebagai pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Jokowi yang menjadi Presiden RI.
Pembayaran dilakukan melalui cek sekitar Rp755 miliar yang diserahkan ke Sumber Waras dengan perantara Dinas Kesehatan Jakarta.
(gil)