Jakarta, CNN Indonesia -- Draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Perlindungan Kekerasan Seksual Anak, telah masuk tahap finalisasi. Namun, menurut Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanul Haq, selain Perppu, mendorong pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual perlu dilakukan.
"Perppu mungkin diperlukan. Tapi mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual lebih penting," kata Maman saat dihubungi, Kamis (12/5).
Maman menjelaskan, dalam RUU tersebut sudah mencakup semua aspek pencegahan kekerasan seksual, seperti menyangkut pemidanaan, pemberatan hukuman, rehabilitasi dan juga soal penegakkan hukum oleh aparat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, untuk aspek penegakan hukum, aparat cenderung tidak konsisten bahkan melakukan pengabaian. Namun, dia menilai banyaknya regulasi yang mengatur, seringkali membuat penanganan kasus menjadi tidak efektif.
"Untuk beberapa kasus, banyak regulasi yang ada justru tidak terlalu efektif," kata Maman.
Berdasarkan data CNNIndonesia.com, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, masuk ke dalam penambahan program legislasi nasional (Prolegnas) 2015-2019 yang diputuskan DPR dan pemerintah. Meski demikian, RUU tersebut belum masuk menjadi 40 Prolegnas Prioritas 2016.
Senada dengan Maman, aktivis dan penggiat isu anak menilai revisi UU Perlindungan anak dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual lebih kuat sebagai payung hukum. Perppu soal perlindungan kekerasan seksual anak dinilai bersifat sementara dan bisa berganti jika pemerintahan berubah.
"Perppu itu adalah pengganti UU. Untuk sementara tidak apa-apa karena UU lama, tapi untuk jangka panjang revisi UU Perlindungan Anak dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi yang utama," kata pendamping hukum dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar, Siti Sapurah.
Hal yang menjadi penting untuk ditekankan dalam UU, ujarnya, adalah persoalan hukuman pokok maksimal bagi pelaku kekerasan seksual anak.
Perempuan yang mendampingi proses hukum Angeline menegaskan aturan tersebut baru terdapat dalam Perppu. Sementara, UU yang ada selama ini, yakni UU Nomor 23 Tahun 2002 dan UU Nomor 35 Tahun 2014 soal Perlindungan Anak, belum memuat perubahan atas hukuman pokok maksimal bagi anak.
(utd)