Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partaonan Daulay mendesak pemerintah agar mencantumkan persoalan hak korban kekerasan seksual dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang akan diterbitkan.
Hal itu misalnya terkait pemberian hukuman selain pidana kurungan, yang menyangkut denda.
"Misalnya pemberian denda. Ini, kan, tidak semua korbannya meninggal. Ada juga yang sudah diperkosa sekali saja, tapi korban sudah kehilangan masa depan. Harus ada konsekuensi dendanya," kata Saleh saat dihubungi, Kamis (12/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan, penambahan denda diperlukan untuk memenuhi aspek keadilan bagi korban. Sebab menurutnya, jika pelaku kekerasan seksual terhadap anak menerima hukuman kurungan 10 tahun penjara, maka tidak adil bagi korban, karena merasakan penderitaan sampai seumur hidup.
"Untuk setidaknya rehabilitasi psikologi korban karena korban nanti malu pada keluarga, masyarakat, tetangga. Imbasnya sangat luas dan mengganggu psikologi korban. Itu yang harus diamankan," ujarnya.
Sehingga, dia meminta agar dalam Perppu nanti, pemerintah tidak hanya fokus pada pemberatan hukuman, melainkan harus memikirkan aspek psikologi korban. Untuk besaran ukuran denda, kata dia, perlu ada pembicaraan lebih jauh dengan ahli hukum.
Saleh menyebutkan perkara Perppu tersebut, kemungkinan besar parlemen akan menerima usulan pemerintah tersebut. Meski demikian, dia berharap perlu ada klausul tambahan pemberian hukuman selain pidana kurungan, terutama yang menyangkut hak atas korban.
Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanul Haq mengatakan keberadaan Perppu mungkin dibutuhkan dalam mengatasi persoalan kekerasan seksual. Namun, dia menilai perlu juga didorong adanya pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Menurutnya, RUU tersebut mencakup semua aspek pencegahan kekerasan seksual, seperti menyangkut pemidanaan, pemberatan hukuman, rehabilitasi dan soal penegakkan hukum oleh aparat.
Sebabnya, selama ini, dia menilai aparat cenderung tidak konsisten bahkan melakukan pengabaian. Banyaknya regulasi seringkali membuat penanganan kasus menjadi tidak efektif.
(utd)