Peringatan Reformasi, Mahasiswa Yogya Soroti Moratorium Hotel

Abi Sarwanto | CNN Indonesia
Minggu, 22 Mei 2016 07:40 WIB
Perampasan tanah petani atau aset penampungan air di wilayah Yogyakarta dinilai semakin sering terjadi.
Kawasan Malioboro, Yogyakarta. Kelompok bernama Komite Bersama 18 Tahun Reformasi menyinggung soal pembangunan hotel yang semakin marak di Yogyakarta.(CNN Indonesia/Christina Andhika Setyanti)
Jakarta, CNN Indonesia -- Peringatan 18 tahun reformasi di Yogyakarta diwarnai aksi demonstrasi oleh sejumlah elemen gabungan organisasi. Dalam aksinya, kelompok bernama Komite Bersama 18 Tahun Reformasi itu menyinggung mengenai pembangunan hotel yang semakin marak di Yogyakarta.

Menurut juru bicara demonstran Muhammad Rizky Nur Fattah, pembangunan infrastruktur di Yogyakarta saat ini sudah semakin tidak terkendali. Dampaknya, perampasan tanah petani atau aset penampungan air pun dinilai semakin sering terjadi.

"Kami menuntut kembalikan sepenuhnya pengelolaan SDA pada masyarakat. Kami juga menolak segala bentuk eksploitasi dan intervensi modal asing dalam pengelolaan aset SDA," kata Fattah dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Sabtu (21/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Fattah menilai, pasca Orde Baru, pembangunan di Yogyakarta justru semakin parah dan cenderung berpihak pada segelintir kelompok saja. Namun, hal itu tidak diimbangi dengan kenaikan upah buruh.

Untuk itu, mereka meminta agar pemerintah mencabut PP Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Sebab, menurutnya, peraturan ini telah menyengsarakan sekitar 90 juta pekerja formal di Indonesia.

"Kerja kontrak dan outsorching, serta bergabungnya Indonesia masuk ke dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) semakin mencekik keadaan buruh," katanya.


Dalam aksinya, mereka juga menyoroti semakin banyaknya kriminalisasi terhadap aktivis akhir-akhir ini. Berdasarkan catatan mereka, untuk tahun ini sudah ada 28 aktivis serikat buruh, dua pengacara, mahasiswa, seniman, dan lebih dari 2.300 rakyat Papua serta para petani yang ditangkap dan dipenjara penegak hukum.

"Kaum miskin kota, pekerja seks, dan LGBT juga dikriminalisasi, ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang melalui peraturan daerah yang diskriminatif, Perda DIY nomor 1 tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis dan Perda Ketertiban Umum," ujarnya.

Komite Bersama 18 Tahun Reformasi pun menuntut pemerintah agar dapat segera mencabut beberapa produk hukum yang dianggap membelenggu demokrasi. Produk hukum yang dimaksud adalah TAP MPRS XXV Tahun 1966, UU Intelijen, UU Ormas, UU Penanggulangan Konflik Sosial, UU Kamnas, RUU KUHP, dan RUU Keamanan Nasional. (obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER