Jakarta, CNN Indonesia -- Banyak di antara kita membenci agama lain dan kelompoknya secara apriori. Kita tidak peduli ajaran agama lain itu seperti apa. Pokoknya karena lain, kita benci.
Sehingga seolah-olah kebencian dan permusuhan itu menjadi norma. Kalau kita tidak membenci atau memusuhi agama lain, kita ini dianggap seperti kurang beriman.
Memang ada norma-norma yang bahkan tertulis yang substansinya bisa ditafsirkan sebagai permusuhan dengan agama lain. Tetapi kita perlu memahami bahwa norma-norma itu merupakan respons terhadap realitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi kalau ada norma yang isinya bisa ditafsirkan sebagai permusuhan kepada kelompok agama lain, sebetulnya itu adalah respons terhadap realitas konflik pada saat lahirnya norma itu.
Ayat-ayat itu saja, ayat per ayat, itu merupakan respons terhadap realitas, maka ada kajian tentang Asbabun Nuzul yaitu konteks historis pada saat turunnya suatu ayat.
Begitu juga dengan hadis. Ada kajian tentang Asbabul Wurud, yaitu konteks historis pada saat Rasulullah SAW mengucapkan pernyataan-pernyataan dan dicatat sebagai hadis itu.
Maka sebetulnya kalau kita mendengar atau membaca norma yang seolah-olah mendorong permusuhan kepada kelompok agama lain, itu merupakan norma-norma yang merespons realitas konflik pada saat lahirnya norma yang bersangkutan.
Kalau sekarang sudah tidak ada realitas konflik dengan agama lain atau kelompok lain, tidak perlu ada norma permusuhan, tidak perlu membenci, karena kita bisa tidak percaya (dengan ajaran agama lain) tanpa membenci.
Bahkan di dalam Al-Quran sendiri ada firman yang menyatakan bahwa boleh, bahkan dianjurkan, untuk berbaik-baik dengan pemeluk agama lain yang tidak melakukan tindakan aniaya kepada kita.
Nah kalau kita mau sedikit saja berempati dan mempelajari ajaran agama-agama lain, kita akan mendapati bahwa ada banyak persamaan antara ajaran-ajaran agama kita dengan agama lain.
Sehingga, sekali lagi, kita bisa tidak percaya tanpa membenci. Dan tidak perlu meneruskan apriori, seolah2 agama lain ini semuanya salah atau jelek, dan seterusnya. Tidak perlu seperti itu.
Di perkampungan komunitas Amish, ini komunitas kristen di Iowa, Amerika Serikat, mereka mengikuti cara hidup seperti pendahulu mereka pada abad pertengahan. Tidak mau berubah, tidak mau pakai teknologi, dan lain-lain.
Semua yang modern tidak mau. Kemudian ada pendeta kampung di situ, yang menjadi pemimpin agama di kampung itu. Kami
ngobrol, dia tanya kepada saya, "Dari Indonesia, ya? Muslim, ya?", saya jawab, "Iya Pak."
Lalu dia cerita, bahwa dulu pernah ada dua orang perempuan dari Indonesia datang ke sini. Yang satu muslim, yang satu kristen. Tapi yang kristen itu pakaiannya minim sekali, roknya pendek dan terbuka sekali, sampai dia tidak tega melihatnya.
Yang muslim itu pakaiannya tertutup, roknya panjang sampai ke bawah, bahkan mau pakai kerudung. Ini dunia sudah terbalik-balik. Yang muslim malah lebih kristen dari yang kristen.