Belu, CNN Indonesia -- Cinta belum tentu berbalas. Jose Ximenes Siqueira Da Costa tahu persis rasanya. Sambil menyesap kopi susu hangat dari gelasnya di teras rumah yang sejuk, Jose berkisah.
Ia berujar, betapa bulat hatinya bersetia untuk Indonesia meski, kata dia, “Indonesia tidak menghargai saya.” Indonesia, sindir Jose, lebih mencintai dan memedulikan warganya yang ingin merdeka.
“Beginilah negara Indonesia yang baik ini. Para pejuang yang mau mempertahankan negara tidak dihargai, tapi mereka yang mau merdeka dihargai,” kata lelaki 43 tahun berambut cepak dengan kumis melingkar itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jose yang kini menetap di Desa Haliwen, Kota Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, ialah mantan Wakil Komandan Batalion Milisi Aitarak –kelompok paramiliter Timor Timur prointegrasi Indonesia yang dikomandani Eurico Guterres.
Dari Wakil Komandan Milisi Aitarak, Jose kini beralih profesi menjadi tenaga kontrak Satuan Polisi Pamong Praja Belu. Meski kecewa dengan pemerintah Indonesia, tak ada penyesalan di hatinya, tak ada nada getir pada suaranya.
“Saya pindah ke Belu sejak 1999 demi Indonesia tercinta ini. Mencintai Indonesia menyebabkan saya harus eksodus ke Indonesia, atau dibunuh di Timor Leste,” kata dia saat disambangi
CNNIndonesia.com di Atambua, Selasa (2/8).
Tahun 1999 pascareferendum Timor Timur, terjadi kerusuhan besar antara milisi prointegrasi dan prokemerdekaan. Ratusan ribu warga prointegrasi kemudian eksodus. Mayoritas memilih mengungsi ke Nusa Tenggara Timur yang paling dekat dan berbatasan langsung dengan Timor Timur.
Jose berkata, sejak eksodus hingga saat ini, tak ada sedikitpun bantuan yang ia terima dari pemerintah Indonesia.
“Saya bangun rumah ini hampir Rp40 juta, itu dikasih (biaya) dari saudara-saudara saya. Tidak ada bantuan dari pemerintah Indonesia. Gubuk tidak, seribu-dua ribu rupiah pun tidak. Saya jadi gembel di Belu ini,” ujarnya.
“Coba lihat rumah ini,” kata Jose, melayangkan pandangan ke bangunan tempatnya tinggal. “Rumah ini bongkar pasang. Saya bawa seng ini dari Timor Timur. Ada 58 lembar seng saya bawa dari Dili ke sini.”
Walau begitu, Jose cinta mati kepada Indonesia. Ia yakin Indonesia negara terbaik baginya. Hal itu pula yang ditanamkan kedua orang tuanya kepada dia sejak kecil.
Dari seluruh keluarga besarnya, hanya Jose yang memilih tinggal di Indonesia. Ia menyeberang perbatasan membawa istri dan keempat anaknya. Sementara saudara-saudaranya tetap di Timor Leste.
[Gambas:Video CNN]Jose pernah kembali ke Timor Leste, ke daerah asalnya di Ossu, Viqueque. Itu terjadi tahun lalu, 2015, kala Jose sampai pada titik ketika kesabarannya habis.
Ia kesal karena tak juga diperhatikan pemerintah Indonesia, dan akhirnya menghubungi saudaranya di Timor Leste, menyampaikan niat pulang kampung.
Maka 16 tahun setelah eksodus, Jose dijemput 16 orang kerabatnya di Mota Ain, pintu perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Ia dibawa ke Viqueque untuk dirawat. Jose mengalami stroke ringan di kaki.
Namun Jose ternyata memutuskan untuk kembali ke Belu, ke Indonesia. “Saya terlalu sayang Merah Putih. Saya tidak menyesal memilih NKRI walaupun sengsara begini. Kalau menyesal, saya sudah selamanya pulang ke Timor Leste.”
Meski harapan tipis, Jose menyimpan asa Presiden Jokowi dapat memperhatikan para pejuang prointegrasi yang dari 1999 hingga kini masih tinggal di kamp pengungsian.
Satu permintaannya kepada pemerintah Indonesia: berikan tanah kamp pengungsi eks Timor Timur kepada penghuninya.
Tanah tempat rumah Jose berdiri misal, bukan kepunyaan dia, tapi milik Dinas Peternakan Belu. Sementara status Jose, seperti para pengungsi lain, hanya menumpang.
“Tanah ini kan milik pemerintah. Kami minta tolong kepada Bapak Presiden Jokowi agar tanah ini diberikan saja kepada sekian ratus orang yang tinggal di sini. Itu saja.”
 Pemukiman warga eks Timor Timur di kawasan Aitaman, Atambua, Nusa Tenggara Timur. Warga di sini memilih Indonesia sebagai jalan hidup kendati terjepit kemiskinan. CNN Indonesia/Safir Makki) |
Tiada listrik, minim air bersihLain Jose, lain Luis. Anggota milisi Perlawanan Rakyat (Wanra) pro-Indonesia, Luis Portilo S, mendapat bantuan dari Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pengungsi (
United Nations High Commissioner for Refugees; UNHCR) dari 1999 sampai 2005. Ia juga pernah dibantu pemerintah Indonesia merenovasi rumah pada 2007.
Sayangnya, kehidupan Luis tak kunjung membaik. Ia mengeluhkan minimnya fasilitas publik yang disediakan pemerintah di tempat tinggalnya di Dusun Salala, Desa Kabuna, Kabupaten Belu. Hingga kini tak ada listrik yang mengaliri permukiman warga. Sumur umum yang menjadi satu-satunya sumber air bersih pun kadang kering.
“Kami berharap, kalau bisa pemerintah bantu rakyat miskin di pelosok Salala. Listrik dan air bersih. Itu saja, tak lebih,” ujar Luis.
Dengan sarung Timor sebagai busana dan handuk melilit di leher, Luis bercerita ia berasal dari Ermera, Timor Timur. Ia pindah ke Belu karena Indonesia kalah dalam referendum Timor Timur.
Jika tidak pindah, kata Luis, ia dan keluarganya kemungkinan besar bakal dibunuh oleh kelompok prokemerdekaan yang memenangi referendum.
 Memilih membela Indonesia, anggota milisi Perlawanan Rakyat Luis Portilo S harus pindah dari kampung halamannya, Ermera di Timor Leste, ke kamp pengungsian di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. (CNN Indonesia/Raja Eben Lumbanrau) |
Luis sejak awal ikut berjuang mendukung integrasi Timor Timur ke Indonesia. Wanra yang menjadi wadah perjuangannya, menurut buku
Timor Timur Satu Menit Terakhir: Catatan Seorang Wartawan karya CM Rien Kuntari, ialah perkumpulan pemuda yang dibentuk 1978 di bawah Tentara Nasional Indonesia.
Wanra dibina oleh Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat. Milisi bersenjata ini membantu TNI mengejar Gerakan Pengacau Keamanan Timor Timur selama 23 tahun.
Tak heran Luis diincar kelompok prokemerdekaan Timor Timur.
Serupa, Margarida Amaral juga ikut eksodus karena merasa terancam. Istri pejuang milisi pro-Indonesia itu mengungsi ke Laktutus di Kecamatan Nanaet Dubesi, Belu, karena memiliki keluarga di sana.
“Saya lari ke sini karena takut dibunuh. Selain itu, kehidupan di Indonesia masih lebih baik dari di seberang (Timor Timur),” kata Margarida yang tak fasih berbahasa Indonesia.
Laktutus adalah garda terdepan perbatasan Indonesia dengan Timor Leste bagian timur. Di sini, sungai menjadi batas alam kedua negara.
Laktutus yang bersuhu dingin tak memiliki infrastruktur memadai. Jalanan berbatu dan berbukit membuat waktu tempuh ke sana mencapai dua jam dari Atambua, ibu kota Kabupaten Belu.
Di Belu, para pejuang prointegrasi menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dalam ironi. Risiko mereka menyabung nyawa bak dianggap sepi.
(rel/agk)