LAPORAN KHUSUS

Debu Batubara dan Hilangnya Ruang Kelas SD Loa Janan

Riva Dessthania Suastha & Rosmiyati Dewi Kandi | CNN Indonesia
Kamis, 08 Sep 2016 11:44 WIB
Kajian valuasi ekonomi KLHK menyebutkan, Kutai Kartanegara termasuk kabupaten dengan bisnis pertambangan yang nilai manfaatnya minus Rp581 triliun.
Bangunan bekas SD Negeri 009 terlantar ditinggalkan guru dan siswa di Desa Bakungan Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Kamis, 25 Agustus 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Kutai Kartanegara, CNN Indonesia -- Area Gedung Sekolah Dasar (SD) Negeri 009 dipenuhi ilalang tinggi. Begitu membuka ruang kelas, debu tebal batubara memenuhi lantai.

Sekolah itu tak terawat dan tidak terlihat aktivitas belajar mengajar di SD yang beralamat di Desa Bakungan, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, itu.

Dari area sekolah terdengar deru mesin aktivitas pertambangan sejumlah perusahaan pertambangan batubara yang sedang menghancurkan bongkahan batubara dan memindahkannya ke kapal tongkang. Debu batubara yang memenuhi udara diduga mengganggu pernapasan, memicu batuk, serta menimbulkan rasa sakit di kepala.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepala SD 009 Yusri yang ditemui CNNIndonesia.com di ruang kerjanya mengaku, gedung sekolah yang ditinggalkan itu sebenarnya baru dibangun tahun 2011, menggantikan bangunan lama dari kayu yang kini kembali ditempati.

Tak sampai enam bulan siswa menikmati kesenangan di gedung baru, orang tua melalui Komite Sekolah meminta kembali ke bangunan lama di Jalan Kemuning di desa dan kecamatan yang sama. Lokasi gedung baru SD 009 dengan sekolah lama berjarak tak lebih dari 1 kilometer.

Tapi bagi orang tua dan guru, lokasi sekolah lama mereka jauh lebih baik, lebih sehat, dan lebih tenang ketimbang gedung baru yang berjarak tak lebih dari 500 meter dari perusahaan pertambangan batubara.

“Orang tua merasa kondisi sekolah sangat membahayakan. Saya sudah berkali-kali menindaklanjuti situasi itu ke Dinas Pendidikan Kabupaten Kukar, tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut,” kata Yusri, 25 Agustus lalu.

Yusri menjadi Kepala SD 009 sejak September 2012. Saat itu, sekolah sudah kembali menempati bangunan lama.

Salah satu ruang kelas bangunan bekas SD 009 yang berdebu batubara. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Untuk memastikan penggunaan kembali sekolah lama, Yusri menggagas pertemuan dengan Komite Sekolah pada 21 Oktober 2013. Rapat yang dihadiri 175 orang tua dari 200 siswa itu memutuskan: gedung baru tidak akan lagi ditempati demi kesehatan dan kenyamanan proses belajar mengajar.

Jika sekolah itu masih digunakan, orang tua tidak akan menyekolahkan anak-anak mereka di sana.

Guru dan siswa SD 009 pernah menjalani aktivitas belajar mengajar di dua bangunan sekaligus, yang lama dan yang baru. Hal itu terpaksa dilakukan lantaran kedua bangunan tak memiliki ruang kelas yang cukup untuk kelas 1-6, ruang guru, ruang kepala sekolah, dan ruang tata usaha.

Gedung lama dan bangunan baru sekolah masing-masing hanya terdiri dari enam ruangan.

Kini setelah kembali menempati bangunan sekolah lama, ruang kelas dibagi menjadi dua bagian agar dapat menampung seluruh siswa. Untuk menyiasatinya, sekolah membagi jam masuk sekolah dari pagi sampai sore.

“Satu kelas sebenarnya sampai 40 siswa, tapi kami bagi dua. Yang penting bisa memenuhi standar sertifikasi guru untuk mengajar minimal 20 siswa per kelas,” Yusri menuturkan.

Ruang kepala sekolah, guru, dan tata usaha hanya menggunakan satu kelas yang dibagi menjadi tiga bagian. Sekolah ini juga tidak memiliki perpustakaan, ruang unit kesehatan sekolah (UKS), dan pagar untuk mengamankan bangunan dan anak-anak.
Bangunan lama SD 009 berdiri di atas lahan seluas 1.918 meter persegi, termasuk 900 meter persegi area yang belum dibangun. Luas tanah itu sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan 12 ruangan.

“UPT (Unit Pelaksana Teknis) bilang, ada rencana tahun 2017 sekolah ini mau dibangun. Tapi belum tahu benar atau tidak,” katanya.

Situasi yang tak jauh berbeda terjadi di SMA Negeri 2, Jalan PT Ex Cita, Desa Bakungan, Kecamatan Loa Janan. Siswa dan guru di sekolah ini bertahan karena tak punya pilihan untuk pindah.
Yusri, Kepala SD 009, Desa Bakungan, Loa Janan, Kutai Kartanegara. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Akibatnya, sekolah kerap memulangkan siswa lebih cepat dari jam yang seharusnya karena tak tahan menghirup debu batubara.

“Sebenarnya enggak layak ada tambang batubara di lingkungan sekolah. Kami guru, siswa, sering pusing dan mual karena baunya. Bahkan ada yang sampai muntah,” kata Rusdiana, guru kimia SMA 2.

Rusdiana mulai mengajar di SMA 2 tahun 2014. Saat pertama kali datang, suaranya serak dan tak kunjung sembuh hingga enam bulan. Ditambah lagi sesak napas dan batuk.

Pengalaman yang sama dialami Guru Bahasa Indonesia Rusnah. Menurut Rusnah, bau batabara semakin menyengat saat sedang hujan dan proses produksi—memasukkan bongkahan batubara ke crusher hingga dimuat dalam kapal tongkang.

Sekolah yang dimulai pukul 07.15 WITA sedianya berakhir pada 14.00 WITA. Tapi mereka sering terpaksa pulang jam 11 atau 12 siang.

“Kalau bertahan di sini saat perusahaan sedang produksi, bisa pingsan. Pening di kepala sampai enggak tahan,” ujar Rusnah.

Kadang Rusnah berpikir, dia harus memeriksa kondisijantungnya.

Saat CNNIndonesia.com mendatangi SMA 2, 25 Agustus lalu, Rusnah tengah mengajar di depan kelas. Dia dan para siswa tak sanggup menerima paparan debu batubara yang melingkupi ruang kelas.

Siswi kelas 2 Nurlaila mengatakan, sejak menjadi murid SMA 2, dia sering mengalami sesak napas. Dia tak sungkan izin pulang jika sudah tak sanggup menerima paparan debu batubara.

Guru Seni Budaya dan Sejarah SMA 2 Vivi Rubiyanti punya cerita yang lebih mengerikan. Putranya yang bernama Pidi Adinata—10 April 2000—pernah menderita batuk dan mengeluarkan dahak berwarna hitam.
“Maka itu rumah saya juga ditutup semua, hampir enggak ada ventilasi udara. Itu pun debu tetap saja masuk ke rumah,” tutur Vivi.

Rumahnya yang terletak di Jalan Gerbang Rayaku RT 13 RW 04 Nomor 62, Desa Bakungan, hanya berjarak 10 meter dari perusahaan pertambangan batubara. Dia meyebut, debu batubara itu setidaknya menjangkau lima RT lainnya selain RT 13 yaitu 08, 09, 10, 11, dan 14.

“Sebenarnya enggak layak tinggal, tapi mau bagaimana. Jemur baju enggak bisa di luar rumah, hitam semua” kata Vivi.

Vivi mengaku menerima kompensasi dalam bentuk uang tunai dari empat perusahaan yang beroperasi di sekitar rumahnya. Masing-masing dari PT Indo Perkasa sebesar Rp830 ribu per bulan; PT Rinjani Kartanegara Rp300 ribu per bulan; PT Baramulti Suksessarana Tbk Rp180 ribu per bulan; dan CV Kutai Kumala Energi Rp80 ribu per bulan.

Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanni Adiati mengatakan, pernah menanyakan langsung kepada Bupati Kukar Rita Widyasari tentang ancaman aktivitas pertambangan bagi lingkungan pada 15 Juni lalu.

Saat itu, Rita mempresentasikan kelayakan Kota Tenggarong meraih Anugerah Adipura—penghargaan bagi kota yang berhasil dalam kebersihan dan pengelolaan lingkungan.

Salah satu misi yang dipresentasikan Rita adalah meningkatkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sejumlah program dipaparkan di antaranya mencegah dan mengendalikan pencemaran lingkungan, serta menjalankan prinsip tata ruang dan lingkungan yang berkelanjutan.
Salah satu bagian bangunan SD 009, Desa Bakungan, Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara. (CNN Indonesia/Safir Makki)


“Mukanya merah dia waktu dengar pertanyaan itu. Jawabannya ngawur. Untuk kolam tambang, katanya akan dijadikan kolam energi, pokoknya enggak masuk akal,” kata Hanni kepada CNNIndonesia.com.

Hanni mengatakan, selama ini belum ada satu pun kolam lubang tambang yang dijadikan pilot project untuk kolam energi yang dimaksud Rita. Persoalan tambang yang semrawut di kabupaten itu akhirnya menggagalkan Tenggarong meraih Adipura 2016.

Selain menyoroti Kukar, KLHK secara spesifik mencatat empat dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan batubara yaitu pencemaran udara, kerusakan lahan, penurunan produktivitas pertanian dan perikanan, serta hilangnya hutan.

Secara rinci, dampak-dampak tersebut yaitu kerusakan habitat dan biodiversitas pasca lokasi pertambangan, hilangnya perlindungan ekosistem, perubahan lanskap lahan, stabilitas site dan rehabilitasi terganggu, serta muncul limbah tambang dan pembuangan tailing.

Rincian lainnya yaitu terjadi longsoran fasilitas tailing, emisi udara dan debu, perubahan iklim dan konsumsi energi, pelumpuran di sungai dan perubahan aliran sungai, buangan air asam tambang, limbah bahan berbahaya beracun (B3), risiko terpapar bahan kimia, kebisingan dan radiasi, keselamatan dan kesehatan kerja, gangguan kesehatan warga di permukiman lingkar tambang.

Hal itu masih ditambah lagi dengan tumpang tindih antara area pertambangan dengan kawasan hutan. Berdasarkan catatan KLHK, ada 4,9 juta izin tambang yang bersenggolan dengan kawasan hutan lindung dan 1,3 juta dengan hutan konservasi—kawasan yang terlarang untuk melakukan eksplorasi.
Kementerian yang dipimpin Siti Nurbaya Bakar telah membuat panduan valuasi ekonomi dalam kegiatan pertambangan, dengan mencontohkan pembukaan 200 hektare lahan untuk tambang batubara.

Valuasi ekonomi lingkungan dibuat untuk mengetahui kuantifikasi nilai ekonomi penurunan manfaat lingkungan dan kuantifikasi nilai ekonomi pengembalian fungsi lingkungan.

Dokumen valuasi tambang yang diperoleh CNNIndonesia.com menyebutkan, ada kerugian mencapai Rp581,43 triliun yang harus ditanggung Kabupaten Kutai Kartanegara dari sisi lingkungan, sosial, kesejahteraan warga, serta keberlangsungan ekosistem yang secara langsung berdampak penting bagi warga.

Kajian valuasi tersebut dilakukan KLHK tahun 2013 dengan menghitung nilai manfaat yang diperoleh Kukar dari aktivitas pertambangan. Hasilnya, net present value (NPV) natural capital di Kukar lebih besar yaitu Rp990,19 triliun dibanding NPV ooperasional yang hanya Rp408,75 triliun. Sehingga nilai manfaat tambang menjadi minus ratusan triliun.
Aktifitas belajar mengajar di SD 009 di Desa Bakungan, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kamis, 25 Agustus 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Dokumen ini mengingatkan pada pernyataan Sekretaris Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Samarinda Agus Tri tentang bisnis pertambangan di dekat permukiman warga yang membutuhkan biaya operasional dan kewajiban lingkungan sangat besar.

Kepala Bidang Pencemaran Badan Lingkungan Hidup (BLH) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Suyitno mengatakan, perusahaan memiliki kewajiban mengelola debu batubara dari jangkauan warga sekitar.

Jika tidak mampu, kompensasi menjadi salah satu jalan keluar. “Makanya di sini ada istilah ‘uang debu’. Dalam aturan sebenarnya enggak ada, tapi ketika masyarakat sudah terkena debu, harus ada kompensasi,” kata Suyitno.

Solusi lain adalah melakukan relokasi untuk masyarakat sekitar. Namun Suyitno menilai, upaya relokasi biasanya ditolak warga. “Kadang masyarakat tidak mau dipindah dan tetap ingin perusahaan membayar kompensasi,” ujarnya.

Cerita Yusri, Rusdiana, Rusnah, Nurlaila, dan Vivi mewakili kegundahan warga Desa Bakungan yang tersiksa dengan keberadaan aktivitas perusahaan batubara di wilayah mereka.

Yusri masih menanti janji pemerintah setempat membangun SD 009 dengan lebih layak.
(asa)
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER