Alokasi Kursi DPR Saat Pemilu Dinilai Bermasalah

Tiara Sutari | CNN Indonesia
Minggu, 18 Sep 2016 20:45 WIB
Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menilai, ada kejanggalan dalam metode penetapan harga kursi di Jawa dan luar Jawa.
Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menilai banyak terjadi permasalahan alokasi kursi pada penetapan harga dan jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay).
Jakarta, CNN Indonesia -- Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menilai banyak terjadi permasalahan alokasi kursi pada penetapan harga dan jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut ditunjukan dengan data-data Pemilihan Umum alokasi kursi DPR yang menunjukan berbagai pergeseran prinsip alokasi.

Direktur SPD August Mellaz mengatakan, pergeseran tersebut telah menciderai amanat konstitusi dan merenggut hak kesetaraan serta tidak menjalankan prinsip non diskriminatif dalam pelaksanaan Pemilihan Umum.

Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 disebutkan, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebagai contoh pemilu 2004 yang menganut prinsip Jawa-luar Jawa, alokasi kursinya berdasarkan kepadatan penduduk. Harga kursi di Jawa lebih mahal daripada di luar Jawa," kata August di Jakarta, Minggu (18/9)

August melanjutkan, situasi tersebut berubah pada Pemilihan Umum 2014. Sebaliknya kuota harga kursi luar Jawa lebih mahal dibandingkan dengan kuota Pulau Jawa.

Sebagai contoh, harga kursi atau kuota kursi pada pemilihan umum 2014 dinilai terlalu mencolok. Harga satu kursi DPR daerah pemilihan Kepulauan Riau misalnya, seharga 631.863 penduduk, sedangkan untuk pemilihan Jawa Barat III, harga satu kursi DPR setara dengan 323.220 penduduk.

Hal ini menunjukan bahwa harga kursi Kepulauan Riau dua kali lipat harga kursi di Pulau Jawa.

August menilai hal tersebut cukup janggal karena tidak ada rincian mekanisme dan metode penghitungan pembagian suara dalam penetapan harga kursi.

"Metode penghitungan apa yang digunakan, mekanismenya bagaimana, tidak ada rincian hitungannya. Kalau jelas ini tidak akan jadi masalah," kata August.

Selain itu, ia juga mempermasalahkan ketiadaan alokasi kursi ulang serta hilangnya instrumen pertumbuhan wilayah. Pelaksanaan empat kali pemilu di Indonesia tanpa ada satupun preseden alokasi kursi ulang, menurutnya, telah menghilangkan hak dan kesempatan bagi setiap penduduk untuk diwakili secara setara di DPR.

Oleh karena itu, August mengatakan, perlu ada alokasi kursi DPR yang dilakukan ulang dengan berdasarkan pada prinsip one person, one vote, one value (Opovov) sesuai dengan prinsip Opovov yang dianut dalam pemilihan presiden.

"Karena selama ini alokasi kursi tidak menganut Opovov, tapi non Opovov yang bertentangan dengan pilpres. Ini pernah dilakukan pada Pemilu DPR tahun 1955, alokasinya didasarakan Opovov, tingkatanya hampir mendekati sempurna," katanya.

August mengatakan, alokasi kursi DPR hendaknya dilakukan dengan menggunakan data berbasis sensus penduduk terakhir dan hasil alokasi bisa digunakan dalam dua periode pemilu. Hal tersebut berdasarkan pada periode sensus penduduk Indonesia yang dilakukan setiap 10 tahun sekali.

Selain itu, menurut August, perlu melibatkan berbagai metode penghitungan dalam menetapkan prinsip alokasi harga dan jumlah kursi di DPR. Menurut August, misalnya dengan cara mendekatkan rasio pemilih dengan penduduk, rasio penduduk padat dan rendah, ataupun memperpendek rasio ketimpangan keterwakilan antar provinsi.

"Selain itu, alokasi kursi DPR harusnya berdasarkan pemilu, jadi kebalikan dengan yang sebelumnya. Biasanya jumlah kursi ditetapkan sebelum pemilu, sekarang sebaliknya, jumlah kursi ditetapkan setelah pemilu dengan melihat seberapa tingginya tingkat partisipasi pemilih," kata August. (gen/rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER