Deretan Nama yang Dibui dan Lolos dari Jerat UU ITE

Abraham Utama | CNN Indonesia
Senin, 28 Nov 2016 10:20 WIB
Revisi pasal 27 ayat (3) UU ITE menyebut pencemaran nama baik hanya dapat bergulir jika melibatkan antarpersonal. Ancaman penjara pun turun jadi 4 tahun.
Ilustrasi (CNN Indonesia/Fajrian)
Jakarta, CNN Indonesia -- Draf perubahan UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mulai berlaku Senin (28/11). Saat pemerintah dan DPR menyetujui draf revisi itu, sorotan para pegiat kebebasan berekspresi dan pakar hukum tidak lepas dari pasal 27 ayat (3).

Sejak beleid itu diterbitkan delapan tahun silam, puluhan orang telah diperkarakan atas dasar pasal tersebut, dengan tuduhan pencemaran nama baik melalui internet. Sebagian dari mereka lolos dari dakwaan, sementara lainnya harus meringkuk di penjara karena vonis bersalah.

Pada periode 2009 hingga 2015, menurut catatan Institute for Criminal Justice Reform, setidaknya terdapat 20 kasus pasal 27 ayat (3) UU ITE yang diadili di persidangan.
Kasus Prita Mulyasari merupakan salah satu yang menyita atensi publik. Ia dilaporkan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Tangerang, Banten, 2009 silam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Prita dipersoalkan karena mengirim surat elektronik berisi keluhan atas pelayanan rumah sakit tersebut ke sejumlah rekannya. Ketika proses hukum bergulir, ibu rumah tangga itu ditahan di Lapas Wanita Tangerang.

Di tingkat pertama, hakim membebaskan Prita dari dakwaan pencemaran nama baik yang diatur pasal 27 ayat (3) UU ITE. Namun kasus tersebut terus berlanjut.

Di tingkat kasasi, hakim membatalkan vonis bebas Prita. Ia dipidana enam bulan penjara. Tahun 2012, kasus Prita pun berakhir. Mahkamah Agung menyatakan Prita tak bersalah.

RS Omni tidak hanya memperkarakan Prita Mulyasari ke jalur pidana, tapi juga perdata. Hal itu memunculkan gerakan publik bertajuk 'Koin Peduli Prita'.RS Omni tidak hanya memperkarakan dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan Prita Mulyasari ke jalur pidana, tapi juga perdata. Hal itu memunculkan gerakan publik bertajuk 'Koin Peduli Prita'. (ANTARA FOTO/Ismar Patrizki)
Nasib berbeda dialami Benny Handoko alias Benhan. Atas serangkaian perdebatan dan pernyataan di Twitter, ia divonis penjara enam bulan karena melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Pangkal kasus Benhan adalah debat panas (tweet war) antara dirinya dan sejumlah akun Twitter, salah satunya @TrioMacan2000.

Benhan menyebut mantan politikus PKS Muhammad Misbakhun merupakan salah satu pihak yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban hukum pada kasus Bank Century.

Serupa Benhan, beberapa orang turut menjadi pesakitan atas tuduhan pencemaran nama baik melalui internet. Mereka, antara lain, adalah seorang guru sekolah dasar di Bali bernama Herrybertus Johan dan warga Tasikmalaya bernama Diki Candra.

Sementara itu, mereka yang lolos dari jerat pidana UU ITE antara lain Ervani Emy Handayani, Muhamad Fajrika Mirza, dan Muhammad Arsyad.

Standar Ganda

Selama pelaksanaan UU ITE, Institute for Criminal Justice Reform menyatakan kepolisian, jaksa, dan hakim tidak menggunakan standar hukum yang sama untuk para tertuduh pencemar nama baik di internet.

Sebagian dari tersangka, seperti Prita Mulyasari, ditahan atas pertimbangan ojektif penyidik. Dasarnya, pasal 27 ayat (3) memuat ancaman pidana penjara selama enam tahun.

Florence Saulina Sihombing, mahasiswa S2 Fakultas Hukum UGM, divonis hukuman dua bulan penjara dengan masa percobaan selama enam bulan, karena menghina Yogyakarta melalui media sosial.Florence Saulina Sihombing, mahasiswa S2 Fakultas Hukum UGM, divonis hukuman dua bulan penjara dengan masa percobaan selama enam bulan, karena menghina Yogyakarta melalui media sosial. (ANTARA FOTO/Pradita Utama)
Melalui revisi UU ITE yang mulai berlaku Senin ini, DPR dan pemerintah menurunkan ancaman hukum pidana penjara itu menjadi empat tahun. Artinya, tersangka pencemar nama baik di internet tak lagi dapat ditahan penyidik atas dasar pertimbangan objektif.

Selain itu, pasal 27 (3) kini hanya dapat digunakan untuk perkara antarpersonal. Mereka yang merasa dihina di internetlah yang dapat memperkarakan persoalan itu ke kepolisian.

Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum Henry Subiakto mengatakan, kasus Florence Sihombing yang divonis bersalah karena menghina kota Yogyakarta tak lagi dapat terjadi.

"Unsurnya orang, bukan seperti kasus Florence," ucapnya.
Revisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE resmi diberlakukan hari ini, Senin (28/11). Ketetapan ini merujuk pada aturan yang memberlakukan sebuah undang-undang bisa diterapkan maksimal 30 hari setelah pengesahan UU dalam rapat paripurna DPR.

Parlemen dalam hal ini telah mengesahkan hasil revisi UU ITE melalui ketok palu rapat paripurna DPR pada 27 Oktober 2016.

Pengesahan UU ITE sekaligus menjadi penegasan yang menuntut masyarakat lebih berhati-hati dalam mengemukakan pendapat ataupun opini di ranah publik, terutama media sosial.

Di dalam UU ITE dijelaskan bahwa masyarakat dilarang membuat dan menyebarkan informasi yang bersifat tuduhan, fitnah, maupun SARA yang mengundang kebencian.

Buni Yani adalah salah satu contoh pengguna media sosial yang kena jeratan pasal UU ITE. Dia menjadi sorotan khalayak luas karena hasil penyebaran informasi yang dia unggah di media sosial berujung pada kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Gubernur nonaktif DKI Jakarta Ahok Tjahaja Purnama, alias Ahok.

Video yang diunggah Buni Yani memuat pernyataan Ahok menyitir Surat Al Maidah ayat 51. Setelah Ahok jadi tersangka penista agama, kasus pun menjadi blunder bagi Buni Yani. Dia kena jeratan sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa rasa kebencian berdasarkan SARA.
Buni Yani dianggap melanggar Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena dengan sengaja atau tanpa hak menyebarkan informasi menyesatkan.

Hasil revisi UU ITE pun semakin memperteguh aturan soal penyebaran informasi. Salah satu poin krusial di antaranya tertuang pada Pasal 27 ayat (3). Dalam revisi poin tersebut mendapat penambahan penjelasan terkait istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses".

Penjelasan tersebut menjadi ketentuan yang masuk pada delik aduan. Unsur pidana pada ketentuan itu mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah sebagaimana yang diatur dalam KUHP.

Pasal 27 adalah juga salah satu poin yang menjadi perdebatan karena dianggap sebagai 'pasal karet'. Sejumlah kalangan sempat mempertanyakan aturan itu karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi.

Namun dalam revisi kali ini pasal karet mendapat sejumlah pengurangan hukuman pidana. Untuk kasus pencemaran nama baik, hukuman pidana mendapat penguranan hukuman dari enam tahun menjadi empat tahun penjara.

Kemudian dalam pasal 29 tentang pengancaman dengan kekerasan, semula berlaku hukuman 11 tahun, kini hanya empat tahun. (abm/abm)
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER