Melawan Ancaman Limbah Batubara di PLTU Indramayu

Abraham Utama | CNN Indonesia
Senin, 30 Jan 2017 07:08 WIB
Kemenangan warga Desa Sumuradem terhadap proyek PLTU dapat memantik semangat komunitas di daerah lain terhadap proyek energi kotor yang menyisakan dampak ekses.
Kemenangan warga Desa Sumuradem terhadap proyek PLTU dapat memantik semangat komunitas di daerah lain terhadap proyek energi kotor yang menyisakan dampak ekses. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Jakarta, CNN Indonesia -- Puluhan kepala keluarga di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra, Indramayu, Jawa Barat, tengah memperjuangkan kehidupan mereka dari ancaman limbah batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) kedua yang akan didirikan sejauh selemparan batu dari tempat tinggal mereka.

Merujuk proyek 35 ribu megawatt, pemerintah akan membangun puluhan PLTU lain. Artinya, ribuan kepala keluarga di daerah lain berpotensi mengalami nasib serupa dengan masyarakat Sumuradem.

Awal pekan lalu, Direktur Eksekutif 350.org May Boeve tiba di Sukra setelah menempuh puluhan jam perjalanan udara dari Brooklyn, Amerika Serikat. Pegiat lingkungan yang masuk daftar pemimpin generasi masa depan versi Time itu berkeliling dunia untuk menyerap dan menggemakan ekses penggunaan energi kotor di forum global.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Hampir setiap orang yang saya temui di Sumuradem mampu menjelaskan dampak buruk pembangunan PLTU itu. Saya dan hampir 40 orang di desa itu kemudian berjalan menuju lokasi proyek. Keyakinan mereka yang luar biasa membuat saya optimis proyek itu dapat dihentikan,” ujar Boeve kepada CNNIndonesia.com di Jakarta, Kamis (26/1).
PLTU Indramayu dan Perjuangan Komunitas Adat Hutan AmazonMay Boeve berpose bersama aktor Leonardo DiCaprio pada konferensi bertajuk divestasi dari proyek energi kotor di New York, AS, September 2015. (Getty Images/AFP/Justin Sullivan)
Organisasi yang dipimpin Boeve merupakan satu dari sedikit lembaga lingkungan yang cakupan kinerjanya melampaui batas negara. Boeve berkata, ia tidak mengimingi maupun menjanjikan hal-hal besar pada warga Sukra.

“Saya tidak ingin memberikan harapan palsu. Organisasi saya menentang proyek PLTU di seluruh dunia dan hanya sedikit yang akhirnya berhasil digagalkan,” ucapnya.

Hal yang sebaliknya, menurut Boeve, dipropagandakan banyak otoritas negara, termasuk di Indonesia. Agen pemerintah selalu menyebut proyek listrik berbasis batu bara akan memutus rantai kegelapan yang selama ini mengungkung pedesaan.

Boeve berkata, pemerintah tak pernah membicarakan dampak buruk energi fosil untuk warga sekitar di PLTU dan terhadap perubahan iklim yang secara nyata sedang terjadi.

Warga Sumuradem mulanya tidak menghiraukan PLTU di desa mereka. Namun, kata Boeve, usai PLTU pertama di desa itu dioperasikan PT PLN (Persero) sejak 2010, warga mulai merasakan kerugian yang tidak pernah mereka duga.

“Mereka mulai sulit bernapas. Pohon kelapa mereka rusak karena debu batu bara, dan tentu saja proyek itu menghambat pekerjaan mereka sebagai petani,” tuturnya.
Jelang pembangunan PLTU kedua di Sumuradem, sekelompok warga terus meyuarakan penolakan. Pertengahan Januari lalu, unjuk rasa mereka di depan Istana Merdeka berakhir dengan audiensi bersama perwakilan Sekretariat Negara.

Sementara itu, pekan lalu Komisi D DPRD Indramayu bertandang ke kantor pusat PLN untuk menyampaikan kecemasan warga Sumuradem terhadap proyek PLTU.

Tak hanya Sumuradem, PLTU kedua yang akan didirikan di Indramayu juga mencakup dua desa lain di Kecamatan Patrol, yakni Mekarsari dan Patrol Baru. PLTU itu merupakan lanjutan dari pembangunan PLTU pertama yang masuk dalam Fast Track Program 10.000 MW era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Konstruksi PLTU kedua akan ditargetkan mulai pada 2017 sehingga dapat beroperasi tahun 2019. Tak seperti proyek PLTU pertama yang dibiayai konsorsium China National Mechinery Industry Corp, China National Electric Equipment Corp, dan PT Penta Adi Samudera, pembiayaan PLTU kedua akan ditanggung Japan International Cooperation Agency.

Kemenangan Kecil

Boeve menuturkan, mega proyek pemerintah atas penyediaan listrik berbasis batu bara sukar dihambat. Kemenangan kecil di badan peradilan dapat menjadi preseden positif untuk kampanye energi bersih di tempat lain.

Warga Kecamatan Astanajapura dan Mundu yang ada di Kabupaten Cirebon merasakan betul upaya yang sedang diperjuangkan warga Sumuradem. Bedanya, mereka menempuh jalur hukum untuk mempersoalkan pembangunan PLTU yang juga akan digelar di desa mereka.
PLTU Indramayu dan Perjuangan Komunitas Adat Hutan AmazonPLTU 1 Cirebon berkapasitas 660 MW yang dioperasikan PT Cirebon Electric Power beroperasi sejak 2012. (Dok. Cirebon Electric Power)
Bersama Wahana Lingkungan Hidup, warga Astanajapura dan Mundu menggugat dokumen analisis dampak lingkungan PLTU Cirebon 2 ke PTUN Bandung. Sidang perdana dilaksanakan 11 Januari lalu.

Boeve mengatakan, kemenangan warga atas gugatan itu akan menjadi sandungan kecil bagi pemerintah. Ia berkata, jika Amdal itu akhirnya dibatalkan, gerakan komunitas warga di lokasi-lokasi proyek pembangunan PLTU lain akan masif.

“Kesuksesan perjuangan itu akan menginspirasi pergulatan warga di daerah lain, terutama komunitas warga yang belum terikat dan terkoordinasi,” tuturnya.
Boeve mencontohkan, pergulatan komunitas adat hutan hujan tropis Amazon di Brasil menentang pembangkit listrik tenaga hidro Belo Monte berkapasitas 8 ribu megawatt. Meski tak berbasis energi kotor, proyek itu bakal berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat adat lokal.

“Proyek itu tidak hanya akan menebang pepohonan di hutan, tapi juga mengeruk tanah untuk mengeksploitasi gas alam. Bermula dari penolakan satu komunitas, kini ada ratusan kelompok menyatakan hal serupa,” kata Boeve.

“Fenomena seperti ini akan berdampak pada pemerintah, bahwa mereka tidak bisa menggelar proyek dengan mulus. Mereka harus memperhatikan suara-suara komunitas lokal,” tuturnya.
PLTU Indramayu dan Perjuangan Komunitas Adat Hutan AmazonPerwakilan komunitas adat dan pegiat lingkungan berunjuk rasa di Sao Paolo, Brasil, Agustus 2011, menentang pembangunan bendungan Belo Monte di Xingu River, hutan Amazon. (AFP Photo/Yasuyoshi Chiba)
Hubungan antarkelompok lokal yang cukup vital terhadap proyek energi pemerintah, kata Boeve, juga terjadi di AS. Sejak 2011 mereka menolak pembangunan pipa bawah tanah sepanjang 1.179 mil yang akan mengalirkan 800 ribu barel pasir minyak (oil sands) setiap hari.

Pada 2015, seperti diberitakan Reuters, presiden AS kala itu, Barack Obama, akhirnya terdesak dan memutuskan untuk menghentikan rencana pembangunan pipa bawah tanah tersebut.

“AS adalah negara terdepan di dunia karena mengambil kebijakan serius untuk melawan perubahan iklim, dan menyetujui proyek pipa bawah tanah akan merusak citra tersebut,” ujar Obama.

Sayang, Presiden AS saat ini Donald Trump membatalkan keputusan Obama. Pekan lalu Trump memerintahkan jajarannya memuluskan proyek pipa Keystone XL dan Dakota Access itu dengan dalih pembangunan infrastruktur energi.

“Perjuangan 350.org di berbagai belahan dunia fokus pada isu yang berbeda-beda. Tapi di AS, perjuangan kami adalah menentang Donald Trump,” kata Boeve.
Merujuk pada kebijakan Trump yang menolak fakta perubahan iklim, Boeve mendorong pemerintah Indonesia berperan lebih besar pada kampanye perubahan iklim.

Menurutnya, sumber energi terbarukan yang berlimpah adalah modal besar Indonesia untuk menanggalkan energi kotor seperti batu bara, minyak bumi, dan gas. Apalagi lembaga pembiayaan global secara perlahan telah meninggalkan sektor itu.

Pernyataan Boeve setidaknya merujuk pada keputusan Bank Perancis Societe Generale untuk tidak membiayai PLTU Tanjung Jati B Unit 2 di Jepara, Jawa Tengah. Mereka mendasarkan langkah itu pada Persetujuan Paris dan energi kotor yang digunakan PLTU Tanjung Jati.

“Pertumbuhan ekonomi memang penting, mendorong orang mendapatkan listrik adalah fokus pemerintah. Di sisi lain, apakah pemerintah masih akan memanfaatkan sumber daya yang akan segera habis atau energi yang akan bertahan lebih lama?” kata Boeve.
(abm/rdk)
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER