Jakarta, CNN Indonesia -- Front Pembela Islam (FPI) bisa dikatakan sebagai salah satu organisasi pascareformasi. Dia lahir lewat deklarasi di Pesantren Al Umm, Ciputat, Jakarta Selatan tiga bulan setelah lengsernya Soeharto sebagai presiden pada 1998 silam.
“FPI ini adalah [organisasi] afilisasi lokal, dia tidak punya afiliasi transnasional,” kata
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani membuka perbincangan dengan
CNNIndonesia.com di kantornya kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 1 Agustus 2017.
Ismail mengatakan berdasarkan riset mula yang kemudian ditelurkan jadi buku
Wajah Para ‘Pembela Islam' (2010) pihaknya menemukan fakta bahwa FPI tidak memiliki agenda ideologi dalam operasinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Beda kalau punya agenda ideologis, dia [FPI] tidak akan terpengaruh dengan variabel-variabel dinamis. HTI [Hizbut Tahrir Indonesia] misalnya, mau ada variabel dinamis apapun tak terpengaruh. Tapi, kalau FPI itu dinamis: Pilkada ikut pilkada, [di bulan] Ramadan razia, dan macam-macam aksinya karena dia tidak punya agenda ideologis. Kalau di visi misi, betul yang diperjuangkan syariat Islam tapi itu bukan ideologi,” kata Ismail.
Nirideologi, kata Ismail, tak terlepas dari situasi dan kondisi yang berkembang sejak FPI dibangun pada 1998 silam. Kala itu, sambung Ismail, FPI melawan kemungkaran dengan merazia dan menghancurkan tempat yang dinilai sumber maksiat seperti tempat hiburan malam.
Berdasarkan kajian Setara diketahui bahwa FPI rajin merazia tempat-tempat yang dianggap maksiat, atau warung makan yang buka pada bulan Ramadan kurun waktu 1998-2002. Namun, disadari ada risiko konfik horizontal yang bisa menghilangkan nyawa atau membuat anggota FPI meringkuk di penjara.
Setelah itu, mulai ada perubahan dalam aksi FPI salah satunya pada 2003 ketika mereka mendukung
Tempo yang sedang bersengketa dengan Tomy Winata. FPI pun mulai terlihat dalam kegiatan sosial mulai akhir 2004 salah satunya membantu evakuasi mayat-mayat korban Tsunami di Aceh dan membantu korban banjir bandang di Garut pada Septermber 2016 lalu.
 Dalam gerakannya, FPI memperjuangkan menegakkan syariat Islam. (CNNIndonesia/Safir Makki) |
Dalam catatan Setara, pada medio 2005, FPI mulai menampakkan wajah baru dari gerakan anti-maksiat jadi kelompok anti-kebebasan beragama itu terlihat dari tekanan terhadap kelompok Ahmadiyah dan lainnya. Kemungkaran pun diperluas termasuk aliran dan pemikiran yang dianggap sesat, menodai, atau menistakan Islam.
Aksi umat Islam salah satunya yang dimotori FPI pun menjadi salah satu yang membuat pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri menyikapi Ahmadiyah dan tempat ibadah.
“Kalau soal minoritas agama memang itu yang selalu jadi sasaran karena itulah yang mudah di-
attack dan untuk
bargaining karena dengan semakin tampil di ruang publik,
public sphere is politic. Siapa yang menguasai ruang publik punya
bargaining politik kuat. Untuk tujuan apa? macam-macam,” tutur Ismail.
Kelompok-kelompok garis keras ini pun menyadari perlunya strategi membangun dukungan politik dari para politikus dan penguasa. Itu bisa dilihat pada Pilpres 2009 di mana FPI dan Forum Umat Islam sempat menyatakan mendukung JK - Wiranto, dan pada Pilkada DKI Jakarta 2017 di mana FPI menyokong pasangan cagub-wagub asal bukan Ahok.
AswajaSelama ini ada anggapan bahwa kaum muslim radikal identik dengan penganut aliran salafi radikal atau neo-Wahabi. Itu yang selalu disematkan pada FPI sebaga organisasi massa Islam.
Aliran itu dinilai bertentangan dengan kelompok tradisional yang dinilai toleran dan moderat. Tentunya, hal itu tak terlepas dari keberhasilan mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membangun Nadlahtul Ulama dengan citra kelompok moderat dan bertahan hingga kini.
Namun, merujuk pada kajian Setara, FPI malah dikategorikan ke dalam kelompok tradisional. Itu merujuk pada asas Islam yang dipakai FPI adalah teologi
Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), dan mahzab fiqih Asy-Syafi’i.
Bahkan, Ismail mengatakan FPI adalah kelompok pro-Pancasila meskipun dalam tujuannya tegas menegakkan syariat Islam dan prokekerasan.
Sementara itu, secara terpisah Ketua Umum GP Ansor—organisasi kepemudaan NU—Yaqut Cholil Qoumas tak menilai ada persamaan antara pihaknya dengan FPI.
"Cara dakwah NU itu tidak memaksa atau memberatkan, karena Islam mengajarkan seperti itu," tegas Yaqut yang menyatakan ada tiga hal perbedaan prinsip dakwah atau menegakkan syariat Islam yang membuat pihaknya dan FPI terkesan kerap berbenturan di lapangan.
Yaqut pun menegaskan ciri khas dakwah NU itu terinspirasi dari yang dilakukan Wali Songo dalam membumikan ajaran Islam di Indonesia terutama pulau Jawa.
"Kami meyakini, Ansor, khususnya NU, bahwa Islam itu diturunkan ke muka bumi bukan untuk membentuk akhlak baru. Tapi diturunkan untuk menyempurnakan akhlak yang sudah ada," kata Yaqut merujuk, "Itu, artinya apa? Jadi sebelum Islam turun itu sudah ada akhlak. Islam menyempurnakannya."
"Islam datang untuk menyempurnakan, bukan membuat akhlak baru. Melainkan menyempurnakan akhlak yang sudah ada."
Dalam hal sebagai organisasi massa Islam, Yaqut terus terang menyatakan pihaknya tak sepandang dan sama dengan FPI.
"Kami sepertinya belum menemukan [kesamaan]. Mereka melakukan kekerasan, kami tidak melakukan itu. Mereka dengan memaksakan kehendak, kami tidak tuh memaksakan kehendak," kata Yaqut.
Terkait kekerasan-kekerasan yang dilakukan oknum ormas, termasuk FPI seperti lewat razia atau persekusi, Ismail berharap negara untuk hadir. Artinya, aparat-aparat negara dari mulai penegakan hukum hingga pemerintah tak boleh tinggal diam atas pelanggaran pidana oleh oknum ormas agar tak terjadi hukum rimba berbasis agama atau kepercayaan.