Jakarta, CNN Indonesia -- Warisan bisnis ketelanjangan ala Hugh Hefner, pendiri majalah Playboy, yang meninggal pada Rabu (27/9), sempat hadir di Indonesia. Bentuknya, majalah
Playboy Indonesia. Usianya tak lama. Gerombolan berkedok agama menyingkirkannya.
Mulanya, PT Velvet Silver Media membeli lisensi majalah dewasa yang lahir pada 1953 itu, pada 2006, dengan harga sekitar Rp 3-4 miliar. Penerbit menyebar 100 ribu eksemplar per bulan untuk edisi pertama. Harganya, Rp49 ribu per eksemplar untuk Jawa dan Rp50 ribu per eksemplar untuk luar Jawa.
Berbeda dari kekhawatiran banyak pihak, majalah ini tampil lebih sopan. Menurut Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Indonesia, ketika itu, pihaknya tak akan menampilkan foto-foto telanjang ala Heffner. Kontennya pun didominasi isu lokal dan tak melulu konten porno.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misalnya. pada edisi perdana, Playboy Indonesia memuat wawancara ekslusif dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Meskipun, foto-foto model dengan baju renang atau pakaian dalam tetap jadi menu utama.
"Tidak akan pernah ada foto bugil atau telanjang di Playboy Indonesia. Sudah ada perjanjian dari franchise di Amerika. Kita tidak akan menampilkan foto atau kartun yang telanjang karena harus sesuai dengan aturan yang ada," kata Erwin, yang juga merangkap sebagai Direktur PT Velvet Silver Media, kepada
Detikcom, Kamis (6/4/2006).
Namun, kontroversi telanjur mencuat. Merek Playboy kadung dipersepsikan ada di zona merah. Saat terbit perdana pada 7 April 2006, ormas Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa di depan kantor Playboy, di Jl. TB Simatupang. Jakarta Selatan. Tak cuma berorasi, massa melakukan perusakan dan pembakaran.
Pemilik gedung kantor Playboy, AAF (Aceh Asean Fertilizer), protes atas kerusakan tersebut. Playboy lantas pindah ke perkantoran di Fatmawati Mas, Jakarta Selatan. Perusahaan pun menggandeng warga lokal untuk mengantisipasi kericuhan sejenis.
 Foto: CNN Indonesia/ Hesti Rika Massa dari ormas keagamaan sedang berunjuk rasa di depan pengadilan, Jakarta (5/5). |
Pemimpin FPI Rizieq Shihab lantas mengadukan sembilan awak Playboy Indonesia ke Polisi. Termasuk, Erwin Arnada (Pemimpin Redaksi). Menurutnya, mereka telah melanggar KUHP dan Undang-Undang Pers 1990 karena menyebarkan pornografi.
Polisi pun menetapkan Erwin dan dua model majalah ini; Kartika Oktavina Gunawan dan Andhara Early, sebagai tersangka terkait kasus pornografi, pada 29 Juni 2006. Pada bulan yang sama, kantor majalah Playboy Indonesia pindah ke Bali demi menghindari aksi perusakan.
Di tengah penanganan kasus itu, dan juga berbagai ancaman, Playboy edisi Mei tidak terbit. Baru sebulan kemudian edisi Juni terbit.
Dua model Playboy Indonesia, Fla Priscilla dan Julie Estelle, kemudian menyusul ditetapkan sebagai tersangka atas laporan Masyarakat Anti Pembajakan dan Pornografi Indonesia (MAPPI) dan FPI, pada Juli 2006. Mereka dianggap telah melanggar pasal 282 KUHP tentang Tindak Pidana Susila.
Kasus hukum Erwin berlanjut ke pengadilan. Pada April 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus bebas Erwin Arnada. Vonis hakim itu digugat hingga ke Mahkamah Agung (MA).
Majelis Hakim Kasasi MA memvonis Erwin Arnada terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kesusilaan, pada 29 Juli 2009. Erwin diganjar dua tahun penjara.
Atas putusan tersebut, Dewan Pers menyebutnya sebagai kriminalisasi terhadap pers. Menurut Dewan Pers, kerja jurnalistik harusnya ditangani melalui UU Pers, bukan mendahulukan pidana.
Setelah sempat mendekam di penjara selama 8,5 bulan, Erwin Arnada akhirnya bebas usai MA mengabulkan permohonan pengajuan kembali (PK) perkaranya, pada Maret 2011.
Namun,
Playboy Indonesia telanjur tutup pada Maret 2007 setelah menerbitkan sepuluh edisi. Peran kelompok-kelompok keagamaan, seperti FPI dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) signifikan dalam menggagalkan tangan gurita bisnis Heffner di Indonesia.
Kasus hukum yang menyeret Playboy Indonesia ini sendiri menarik perhatian media asing.
The Guardian, misalnya, menulis kondisi unjuk rasa saat Erwin dibebaskan oleh PN Jaksel, "Kelompok pendemo dari Front Pembela Islam, dengan
track record serangan terhadap bar, klub malam dan kedutaan-kedutaan Barat, berkumpul di luar pengadilan dan menyatakan kekecewaan mereka atas keputusan tersebut."
CBS News bahkan menampilkan ironi dalam kasus majalah Playboy di Indonesia ini, ketika itu. "Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki tabloid-tabloid lain yang menampilkan foto dan cerita (pornografik) yang lebih eksplisit. Film porno di video, meski ilegal, dijual kurang lebih secara terbuka di toko-toko di seluruh negeri.
"Majalah FHM dan Maxim, yang juga berisi foto wanita dalam pakaian dalam, telah dijual beberapa tahun sebelum kehadiran Playboy Indonesia tanpa kecaman."
 Foto: Dok. Eggi Sudjana Rizieq Shihab (kedua dari kanan) saat beribadah haji dalam pelariannya ke Timur Tengah, beberapa waktu lalu. |
Kini, setelah berkutat dengan isu-isu moral dengan jalan kekerasan, Imam Besar FPI Rizieq Shihab tersandung kasus penyebaran konten pornografi bersama Firza Husein. Alih-alih menghadapi kasus itu seperti Erwin, ia hanya bisa menghindar ke luar negeri agar tak ditahan Polisi. Ironis.
(arh/arh/asa)