Jakarta, CNN Indonesia -- Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) menyimpulkan perusahaan air minum sebagai sektor usaha yang paling sering melakukan praktik suap terhadap pejabat publik di tingkat kota.
Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko mengatakan, kesimpulan tersebut adalah salah satu hasil survei TII mengenai indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia tahun 2017 yang dilakukan di 12 kota.
"Suap di kalangan pelaku usaha, sektor lapangan usaha paling tinggi adalah sektor perusahaan air minum," kata Wawan di Jakarta, Rabu (22/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wawan menjelaskan, berdasarkan perhitungan prevalensi dan jenis suap, perusahaan air minum mendapat poin tertinggi, yakni 4,1 dari skala 0-5. Angka tersebut tergolong paling tinggi dibanding 18 sektor usaha lain yang turut disurvei.
Setelah perusahaan air minum, ada sektor perbankan dan kelistrikan yang juga cukup tinggi praktik suapnya. Perbankan dan kelistrikan diberi poin 4,0 oleh TII.
Tingginya praktik suap tersebut mempengaruhi kompetisi dalam transaksi bisnis antarperusahaan. Kompetisi menjadi kotor karena ada praktik suap yang dilakukan sejumlah perusahaan.
Tidak sedikit perusahaan yang gagal mendapatkan omzet karena pesaingnya menjalankan bisnis secara tidak lazim.
"Kami menemukan setidaknya 17 persen pelaku usaha di 12 kota gagal mendapat keuntungan karana pesaing memberikan suap," ujar Wawan.
Sektor lain yang disurvei juga tidak menunjukkan hasil positif yang signifikan. Poin antara sektor yang paling tinggi dan paling rendah praktik suapnya hanya berbeda sedikit.
Misalnya, sektor dengan praktik suap terendah yakni kehutanan, perikanan, dan perkebunan hanya mencapai poin 3,5 atau hanya berbeda 0,6 poin dari sektor dengan tingkat suap tertinggi.
"Ini penting untuk catatan kita bersama. Artinya masih banyak perilaku suap oleh pelaku usaha," lanjut Wawan.
TII Melakukan Survei di 12 kota yaitu Jakarta Utara, Medan, Pekanbaru, Padang, Bandung, Surabaya, Semarang, Banjarmasin, Pontianak, Balikpapan, Manado, dan Makassar.
Kota-kota tersebut dipilih karena merupakan ibu kota provinsi sehingga dapat mewakili penggambaran kondisi praktik korupsi di wilayah bagian barat, tengah dan timur Indonesia.
Di samping itu, kedua belas kota yang disurvei juga merupakan penyumbang produk domestik bruto terbesar di tingkat nasional.
"Jika diakumulasi, 12 kota yang kami survei menyumbang 70 persen PDB tingkat Nasional," ucap Wawan.
Adapun responden yang dilibatkan mencapai 1.200 pengusaha dari sektor manufaktur, keuangan, jasa, konstruksi, dan perdagangan.
Masing-masing kota yang disurvei melibatkan 80-110 responden yang terdiri dari 41 persen perusahaan kecil, 29 persen perusahaan menengah, dan 30 perusahaan besar.
TII menggunakan lima indikator dalam survei yang dilakukan Juni-Agustus 2017 tersebut. Indikator-indikator itu adalah prevalensi korupsi, akuntabilitas publik, motivasi korupsi, dampak korupsi, dan efektivitas pemberantasan korupsi.
Hasil survei tersebut menyatakan bahwa ibu kota Provinsi Sumatera Utara, yakni Medan menjadi kota terkorup dibanding 11 kota lain yang disurvei.
"Dari enam indikator ini kita temukan bahwa indeks persepsi korupsi Kota Jakarta Utara ada di poin 73,9, Pontianak 66,5, Pekanbaru 65,5, Balikpapan 64,3, Banjarmasin 63,7, Padang 63,1, Manado 62,8, Surabaya 61,4, Semarang 58,9, Bandung 57,9, Makassar 53,4, dan Medan 37,4," kata Wawan.
(gil)