Jakarta, CNN Indonesia -- Mendiang Bondan Winarno yang baru mangkat pada hari ini lebih dikenal milenial sebagai pakar kuliner dengan slogan 'Maknyus'. Namun, sebelum itu, pria yang wafat pada usia 67 di hari ini itu adalah seorang wartawan. Dalam karier jurnalismenya, Bondan pernah berada dalam grup Sinar Harapan di era Orde Baru.
Karib Bondan yang juga wartawan senior, Aristides Katoppo bertutur soal pertemanannya dengan Bondan.
Tides, demikian dia disapa, bercerita kali pertama mengenal Bondan saat mereka bekerja di majalah
Mutiara, bagian dari surat kabar
Sinar Harapan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, Tides mengangkat Bondan sebagai redaktur pelaksana di majalah gaya hidup perempuan tersebut. Demi memajukan majalah, Tides mengaku ia dan jajaran redaksi termasuk Bondan mencoba berinovasi agar majalah Mutiara tidak hanya berisi resep masakan, cara menjahit, atau berdandan saja.
Mereka berusaha menghadirkan karya jurnalisme yang mengangkat seni dan budaya majalah. Usaha mereka, menurut Tides, ditempuh dengan menarik seniman dan budayawan ternama sebagai penulis.
Masalah muncul saat Tides meminta WS Rendra menulis juga di
Mutiara. Padahal saat itu, Pemerintahan Presiden Soeharto melarang setiap media massa memberi ruang bagi sastrawan tersebut.
“Pernah waktu zaman orde baru WS Rendra dicekal pemerintah. Tidak boleh diwawancara, tulisannya tidak boleh dinaikkan, dan seterusnya. Tapi saya memberi dia kesempatan untuk menulis di Mutiara. Saya minta dia menulis lewat kaca mata sebagai budayawan, bukan sebagai aktivis,” kata Tides kepada
CNNIndonesia.com saat dihubungi via telepon, Rabu (29/11).
Bondan, menurut Tides, adalah orang yang sangat taat aturan. Ia sangat berhati-hati terhadap setiap kebijakan yang akan diterapkan redaksi
Mutiara. Bondan pun mengingatkan Tides risiko bagi
Mutiara andai menayangkan tulisan Rendra.
“Saya dinilai terlalu longgar dalam hal ini. Tapi Bondan lebih berhati-hati dan teliti dari saya. Bahkan saya katakan dia terlalu hati-hati," kata Tides.
 Generasi milenial lebih mengenal mendiang Bondan Winardno sebagai pakar kuliner dibandingkan jurnalis. (Screenshot via twitter (@PakBondan)) |
Meski begitu, Tides mengaku puas bekerja sama dengan Bondan karena sifat hati-hatinya.
"Kerjanya sangat memuaskan, ia berperan sebagai penjaga gawang” ujar Tides.
Kembali pada tulisan Rendra, Mutiara akhirnya memuat tulisannya yang bertema manula penari topeng di Cirebon. Tides memutuskan mengenyampingkan pendapat Bondan dan menyetujui tulisan Rendra tersebut naik cetak.
Setelah tulisan tersebut naik, Tides mengatakan terjadi perdebatan di publik, bahkan sampai ada tuntutan hukum.
“Saya disambangi sama Pak Sudomo, Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban ABRI saat itu. Untungnya beliau mengatakan ini hanya tulisan tentang budaya, jadi tak masalah,” ungkap Tides.
Tides mengatakan, tuntutan hukum dan perdebatan tersebut tak akan terjadi andai ia menuruti saran Bondan. Ia mengungkapkan, Bondan adalah penyeimbang dirinya yang sering menabrak aturan.
Liputan InvestigasiKiprah jurnalisme di Orde Baru tak berhenti di situ. Saat sudah tidak bergabung dengan media massa apapun, Bondan menelurkan sebuah karya investigasi yang fenomenal,
Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi.
Hasil investigasi yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku itu membongkar skandal terbesar pertambangan emas dunia yang dilakukan sebuah perusahaan tambang bernama
Bre-X Gold Minerals, Ltd.
Pada karya tersebut, Bondan Winarno berusaha membuktikan bahwa kematian Michael T de Guzman, Manajer Eksplorasi Bre-X, palsu. Bondan menilai kematian De Guzman hanya dalih agar dia bisa terbebas dari tuntutan hukum.
De Guzman adalah seorang ahli geologi dari Filipina yang mengklaim menemukan cadangan emas melimpah di Busang, Kalimantan Timur. Ia meyakinkan ahli geologi lain John Felderhof guna membujuk CEO Bre-X Gold Minerals, Ltd David Walsh untuk mendanai pengeboran.
Bondan berhasil membuktikan bahwa tak ada emas di Busang. Emas itu hanyalah akal-akalan de Guzman. Mendiang Bondan membuktikan banyak kalangan tertipu oleh de Guzman. Termasuk pemerintah Indonesia dan kalangan pengusaha saat itu.
Buku Bondan itu sempat dicekal pemerintahan Orde Baru dan ditarik dari peredaran. Namun hembusan angin reformasi membuat buku tersebut diterbitkan kembali pada Juni 1998.
(kid)