Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan penetapan calon gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus sebagai tersangka korupsi kemarin. Dia diduga korupsi pengadaan Lahan Bandara Bobong di Kabupaten Kepulauan Sula tahun anggaran 2009.
Mantan Bupati Kepulauan Sula itu adalah satu dari sekian banyak calon kepala daerah yang ikut berlaga pada Pilkada serentak 2018. Penetapan tersangka calon kepala daerah menjadi 'bumbu' dalam pesta demokrasi lima tahunan kali ini.
Beberapa minggu sebelum penangkapan Ahmad, KPK sudah lebih dulu mencokok lima calon kepala daerah lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tindakan KPK berbeda dengan Polri dan Kejaksaan Agung. Kedua penegak hukum tersebut memilih menunda proses hukum yang berkaitan dengan calon orang nomor satu di wilayahnya masing-masing.
Langkah penetapan tersangka oleh KPK di tengah proses Pilkada mendapat sorotan pemerintah lewat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
Wiranto meminta agar KPK menunda pengumuman tersangka calon kepala daerah. Pernyataan Wiranto langsung memancing pro kontra.
Buru-buru Wiranto meluruskan pernyataannya. Mantan Panglima ABRi itu menyebut permintaan penundaan penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka oleh KPK hanya sebatas imbauan dan bukan sebagai bentuk paksaan.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Fariz Fachryan menilai ada yang gelisah dengan langkah lembaga antirasuah yang memilih tetap memproses hukum calon kepala daerah, terutama calon gubernur.
Kegelisahan itu salah satunya muncul dari partai politik yang mengusung para calon.
Fachryan menyebut tak menutup kemungkinan ada kaitan imbauan pemerintah dengan pencalonan kepala daerah jagoan dari partai politik koalisi pemerintah.
Menurut dia, karena partai politik tahu ada kadernya yang maju Pilkada serentak 2018 terlibat dugaan korupsi, mereka langsung mencari cara agar proses hukum tersebut ditunda.
"Mungkin saja ada kepentingan-kepentingan partai politik, ketika mereka tahu ada kadernya terlibat korupsi," kata Fachryan kepada CNN Indonesia.com, Sabtu (17/3).
Sejauh ini calon kepala daerah yang menjadi pesakitan di KPK banyak diusung dan didukung partai koalisi pemerintah.
Ahmad sendiri diusung oleh Golkar dan PPP. Selain itu ada Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Marianus Sae, yang diusung PDIP dan PKB.
Kemudian Calon Gubernur Lampung Mustafa diusung Nasdem, Hanura, dan PKS, Calon Gubernur Sulawesi Tenggara Asrun diusung PDIP, PAN, Hanura, PKS, dan Gerindra. Ada juga Calon Bupati Jombang Nyono Suharli yang diusung Golkar, PKB, NasDem, PAN, dan PKS.
Terlepas dari itu, Fachryan meminta KPK tetap jalan saja untuk terus memproses hukum calon kepala daerah dengan berpegang pada alat bukti, keterangan saksi, dan dokumen pendukung lain. Meskipun, calon kepala daerah itu diusung oleh partai koalisi pemerintah.
"Jika itu terkait dengan politisi-politisi di pemerintah, dalam artian partai-partai pemerintah, KPK jangan mundur. Saya pikir jangan terlalu dihiraukan," tuturnya.
Menurut Fachryan langkah KPK yang ingin tetap memproses hukum calon kepala daerah yang terindikasi korupsi itu bukan sebagai bentuk pembangkangan kepada pemerintah.
Dia menyebut menjerat para koruptor merupakan tugas dari lembaga yang berdiri 2003 itu.
"Saya pikir tidak seperti itu, KPK sudah pada koridornya, bahwa penegakan hukum tidak bisa dipolitisasi oleh kepentingan politik," kata dia.
Fachryan berharap KPK tak berhenti pada penetapan tersangka Ahmad, mengingat masih ada beberapa calon kepala daerah yang terindikasi terlibat korupsi. Seperti yang disampaikan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa ada beberapa calon kepala daerah yang berpotensi menjadi tersangka.
Jalan TerusWakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan bahwa pihaknya tetap mempertimbangkan imbauan Wiranto untuk menunda penetapan tersangka calon kepala daerah yang ikut Pilkada serentak 2018, meskipun tetap mengumumkan penetapan tersangka calon gubernur Maluku Utara Ahmad.
Menurut Syarif, pihaknya tak bisa menunda lagi pengumuman tersebut lantaran proses hukum sudah berjalan sejak jauh-jauh hari. Untuk efektifitas penahanan kasus, kata dia KPK tak bisa menundanya tiga bulan ke depan sampai Pilkada serentak 2018 usai.
"Kami sangat memperhatikan usulan dari Pak Menkopolhukam. Cuma kebetulan saja kasus yang ini memang sudah saatnya diumumkan," kata dia kemarin.
"Kalau kita tunda lagi sampai Juni itu kan lama sekali. Artinya roda untuk P21 nanti lama lagi. Itu akan mengganggu roda kerja KPK. Jadi bukan tidak mau kompak, kan tetap kompak dengan pemerintah," tutur Syarif.
Syarif berkata penetapan tersangka calon kepala daerah yang dilakukan pihaknya tak bisa dikaitkan dengan sikap membangkang atas imbauan Wiranto. Dia meminta semua pihak tak mencampuradukan dan mengaitkan proses hukum KPK dengan politik dalam Pilkada.
"Tetapi ini enggak ada hubungannya dengan membangkang atas himbaun dari Pak Menkopolhukam," tuturnya.
Syarif menyadari penolakan pemerintah atas saran KPK untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang pergantian calon kepala daerah yang menjadi tersangka. Dia menyebut pembentukan aturan itu dilakukan bila ada situasi genting dan mendesak.
Menurut Syarif, dalam penetapan tersangka calon kepala daerah ini tak ada situasi genting dan mendesak pemerintah untuk mengeluarkan Perppu.
"Jadi saya pikir untuk penetapan penetapan tersangka ini enggak genting-genting amat. Jadi memang saya sih sepakat aja dengan pemerintah tak perlu ada Perppu," kata dia.
(ugo)