Pemerintah Disebut Sunat 100 Pasal RUU Antikekerasan Seksual

CNN Indonesia
Sabtu, 17 Nov 2018 03:39 WIB
Dari 152 pasal dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Komnas Perempuan menyatakan sebanyak 100 pasal dipangkas pemerintah, termasuk pada elemen-elemen kunci.
Ilustrasi antikekerasan seksual. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komnas Perempuan Azriana R Manalu menyatakan ada setidaknya 100 pasal yang disunat pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.

Perihnya lagi, menurut Azriana, 100 pasal yang kena pangkas itu mengandung 'nyawa' dalam RUU tersebut.

"Ada 152 pasal yang mengatur semua, 100 pasalnya di-drop oleh pemerintah," kata Azriana kala ditemui di kantor LBH Pers, Jakarta Selatan, Jumat (16/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Azriana mengatakan pihaknya sebetulnya tak khawatir ada pemotongan jumlah pasal, asal tak terkait dengan elemen kunci dalam draf beleid tersebut. Masalahnya yang terjadi malah sebaliknya. Poin-poin penting penting yang sedang diupayakan di RUU ini justru kena pangkas.

Poin-poin penting itu di antaranya adalah penghapusan frasa 'ketimpangan relasi gender' dalam definisi kekerasan seksual, penyempitan ragam kekerasan seksual dari 9 jenis menjadi 4 jenis saja.

Hal lain yang dihapus di draf RUU itu adalah bab hukum acara, penghapusan bab pemulihan, dan bab perlindungan hak korban.

Azriana mengakui nyawa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini bersinggungan dengan kejahatan yang kerap dianggap publik sebagai hal tabu untuk dibahas.

Ia mencontohkan pentingnya konsep ketimpangan relasi gender dalam kekerasan seksual. Kerap kali kekerasan seksual terjadi akibat ketimpangan relasi kuasa dan gender. Itu pula, sambungnya, yang tercermin dari kasus menimpa eks hononrer SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril Maknun.

"Jadi ketimpangan relasi gender ini kita muat biar yang kaya gini bisa kita kenali, tapi oleh pemerintah malah ditolak," ujarnya.

Anggota Komnas Perempuan lainnya, Sri Nurherwati sebelumnya menyatakan hambatan pembahasan RUU itu adalah munculnya anggapan di benak sebagian anggota parlemen bahwa beleid itu akan mengakui eksistensi kalangan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).

Sri dan pihaknya berkeyakinan kekerasan seksual terjadi di segala jenis hubungan. Itulah yang membuat negara harus hadir untuk melindungi mereka.

Kalaupun masih berkutat dengan asumsi tersebut, ia meminta Komisi VIII DPR RI tetap membahas RUU tersebut guna mencegah kasus kekerasan seksual lainnya.

"Kalau memang untuk melindungi korban, bahas melindungi korban seperti apa. Jangan terjebak dalam polemik LGBT atau bukan karena ini sudah mendesak, kekerasan seksual korbannya sudah terlalu banyak," pungkas Sri.

(bin/kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER