Surabaya, CNN Indonesia -- Pengacara pendamping Aliansi Mahasiswa
Papua (AMP) Veronica Koman menyebut ada kesalahan pendekatan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan dan pemerintah pusat dalam menyikapi konflik Papua.
Hal itu menyusul rentetan peristiwa panjang yang dialami ratusan mahasiswa Papua di
Surabaya dan di sejumlah daerah lainnya dalam beberapa hari belakangan.
"Ormas dan pemerintah pusat melakukan pendekatan yang salah terhadap orang Papua," kata dia saat ditemui di Kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Senin (3/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, kata Veronica, yakni soal sikap ormas yang dinilainya sebagai hal yang kontradiktif. Hal itu terlihat dari teriakan oknum ormas yang menyebut 'hidup NKRI', lalu berikutnya meneriakkan 'usir Papua'.
"Yang pertama ormas kan berpendapat bahwa Papua tidak boleh merdeka, ormas teriak NKRI, tetapi enggak lama mereka juga teriak 'usir Papua! usir Papua!' Jadi yang mana? Itu kan kontradiksi," kata dia.
Atas dasar tersebut, Veronica mengatakan sikap ormas yang melakukan intimidasi terhadap AMP tersebut justru malah membuat mahasiswa Papua semakin antipati dan merasa tak diakui.
"Dan apakah dengan mendiskriminasi, melempar, memukul, sampai berdarah. Apakah itu membuat orang Papua menyadari dirinya adalah bagian dari NKRI? Kan tidak, justru akan semakin menjadi antipati," ucap Veronica.
Kendati demikian, Veronica mengaku tetap menghargainya. Menurut dia, aspirasi ormas itu merupakan bagian dari kebebasan berpikir. Namun ia sekaligus juga mengajak ormas-ormas tersebut untuk kembali merefleksikan apakah aspirasi itu telah disampaikan dengan pendekatan yang benar.
Lebih lanjut, kata dia, kesalahan pendekatan terhadap orang Papua juga dilakukan pemerintah pusat atau dalam hal ini ialah rezim Presiden RI Joko Widodo. Pemerintah pusat, kata dia, kini melalui cara pendekatan yang memakai upaya pembangunan Papua. Padahal, menurut Veronica, akar konflik bukanlah hal itu.
"Kalaupun Presiden Jokowi membangun gedung tertinggi di dunia di Papua pun itu tidak akan meredam konflik. Itu kesalahan pendekatan," ujar dia.
Veronica lalu memaparkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di mana sebenarnya akar konflik di Papua bermula dari sejarah proses integrasi Papua ke Indonesia pada 1960-an silam.
"Dimulai dari Referendum Pepera yang penuh dengan cerita yang kelam dan penuh intimidasi. Itu akar konfliknya, maka menyelesaikan konflik haruslah mencapai akar konflik. Kalau pembangunan, pemerintah kan pakai jalan putar," kata dia.
Atas dasar itu, Veronica menyatakan pihaknya mengimbau pemerintah dan masyarakat, terutama ormas, seharusnya bisa menunjukkan sikap yang bijak dalam merealisasikan solusi terhadap penyelesaian konflik Papua.
"Ajak diskusi jangan dimaki, dirangkul jangan digebukin," ucap Veronica.
Pengacara pendamping Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) memberikan keterangan pers di Surabaya, 4 Desember 2018. (CNNIndonesia/Farid) |
Sementara itu, dalam peringatan hari jadi ke-57 Papua Barat dalam dua hari belakangan, Veronica mengatakan pihaknya mencatat setidaknya ada 537 mahasiswa Papua yang diamankan kepolisian.
"Itu terjadi di belasan titik di Papua maupun di luar Papua. Lalu juga terjadi pengrusakan sekretariat organisasi damai di Papua oleh aparat, salah satunya di Asmat," ucap dia.
Sebelumnya, di Surabaya pada Sabtu, 1 Desember 2018, terjadi bentrok antara ormas setempat dengan ratusan orang dari AMP yang sedang melakukan aksi peringatan 57 tahun Papua Barat di Jalan Pemuda.
Imbas dari bentrok tersebut, untuk mencegah konflik susulan, pada Minggu (2/12) dini hari, kepolisian setempat mengamangkan ratusan mahasiswa dari Asrama Mahasiswa Papua ke Mapolrestabes Surabaya.
Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Sudamiran mengatakan pengangkutan mahasiswa bertujuan untuk mengamankan, karena ada laporan warga yang mengkhawatirkan kericuhan terjadi di sekitar asrama.
Mahasiswa Papua itu diantar menggunakan 10 unit truk polisi, dengan kawalan ketat. Pantauan
CNNIndonesia.com di lapangan, tak ada satu patah katapun yang dikatakan mereka saat menuruni truk.
Kapolrestabes Surabaya Kombes Rudi Setiawan menyatakan para mahasiswa Papua yang tak menetap di Surabaya mereka pulangkan ke daerahnya masing-masing.
(frd/kid)