Indeks Korupsi Naik, Wakil Ketua KPK Kenang Kebijakan Ahok

CNN Indonesia
Selasa, 29 Jan 2019 19:16 WIB
Wakil Ketua KPK Laode Syarif mengenang kebijakan Ahok menaikkan gaji dan tunjangan PNS Pemprov DKI yang menurutnya baik untuk menekan peluang korupsi.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tren cukup positif dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia membuat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Syarif terkenang mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Laode mengenang kebijakan Ahok saat menaikkan gaji dan tunjangan PNS Pemprov DKI Jakarta. Menurut Laode upaya Ahok itu contoh baik untuk menekan peluang korupsi karena kebutuhan (corruption by need).

"Ada tunjangan kinerja daerah, KPK juga mendukung itu. Sejak zaman Pak Ahok dan dilanjutkan Pak Anies menjadi pegawai DKI tinggi sekali dibandingkan Kabupaten Buton sana," kata Laode dalam peluncuran IPK di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (29/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 2015 Ahok saat memimpin Jakarta memang mengeluarkan kebijakan memberi tunjangan kinerja daerah (TKD) kepada PNS DKI. Tunjangan itu melambungkan gaji PNS Pemprov DKI.

Berdasarkan catatan, pegawai lulusan SMA menerima gaji total (take home pay) Rp13 juta per bulan. Sementara penghasilan PNS eselon II, seperti kepala dinas, kelapa biro, dan walikota berkisar Rp70 juta hingga Rp80 juta.

"Itu (peningkatan gaji untuk cegah korupsi) bukan pesan baru, itu pesan zaman reformasi. Peningkatan gaji aparat penegak hukum harus dinaikkan," tutur Laode.

Namun dia mengingatkan peningkatan gaji bukan jaminan korupsi akan nihil. Sebab itu harus ada reformasi birokrasi yang juga dilakukan.

Laode menyampaikan setidaknya upaya ini jadi cara mencegah perilaku korupsi aparat karena kebutuhan.

"Kalau kebutuhan minimum terpenuhi, insyaallah bisa," tegas dia.

Transparency International hari ini merilis IPK global di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta. Indonesia mendapat skor 38 dari 100 dan menempati peringkat 89 dari 180 negara. Catatan itu lebih baik dibanding tahun lalu saat Indonesia mendapat skor 37,

Salah satu faktor yang memengaruhi IPK adalah indeks kepastian hukum karena aparat negara tidak digaji secara layak.

Dalam acara yang sama Ketua KPK Agus Rahardjo mengaku bingung saat ditanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kapan Indonesia bebas dari perilaku korupsi.

Agus mengaku dicecar pertanyaan tersebut saat menghadiri undangan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI.

"Kemarin saya disuruh men-declare kapan korupsi hilang dari Indonesia. Loh, KPK hanya akselerasi, harus ada komitmen dari presiden," kata Agus.

Agus menyampaikan presiden harus mampu menuangkan komitmen kuat pemberantasan korupsi dalam sebuah rencana aksi. Rencana itu bakal jadi acuan seluruh penyelenggara negara.

Lebih lanjut Agus menyatakan belum melihat komitmen tersebut dari calon pemimpin Indonesia, Jokowi dan Prabowo. Dia menilai belum ada langkah pemberantasan konkret berdasarkan paparan keduanya saat debat capres-cawapres 17 Januari 2019.

"Di debat kemarin kita saksikan masing-masing ingin memperkuat KPK, tapi belum jelas dalam hal apa. Apakah kelembagaan, regulasi, rencana aksi apa yang harus dilakukan," tutur Agus.

Agus berharap ke depan siapapun pemimpinnya, harus ada komitmen kuat dalam pemberantasan korups yang bisa diterapkan secara konkret lewat program-program kerja. (dhf/wis)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER