Jakarta, CNN Indonesia -- Calon presiden petahana
Joko Widodo dan timsesnya belakangan ini mulai melontarkan pernyataan bernada sindiran yang cenderung menyerang ke kubu
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di muka publik. Meski kadang tak spesifik menyebut nama, namun beberapa kali lontarannya langsung 'menohok'.
Pada beberapa kesempatan, Jokowi dan timsesnya tercatat berkali-kali melontarkan serangannya kepada sang rival, Prabowo dan kubunya di kampanye Pilpres 2019.
Salah satu serangan itu terlihat dalan acara deklarasi Koalisi Alumni Diponegoro di Semarang, Jawa Tengah beberapa hari lalu. Jokowi kala itu menyindir sejumlah kasus hoaks yang melibatkan oposisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus-kasus seperti kabar bohong tujuh kontainer surat suara yang sudah tercoblos, kabar penggunaan selang cuci darah hingga 40 kali di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), hingga kasus kebohongan Ratna Sarumpaet yang mengaku dikeroyok.
"Itu maunya apa sih? Maunya sebetulnya apa? Nuduh kami kriminalisasi itu aja sebetulnya arahnya, tapi masyarakat sekarang ini cerdas dan masyarakat pintar-pintar," kata Mantan Walikota Solo itu.
Tak hanya itu, Jokowi turut menyinggung pihak yang menuding dirinya antek asing justru menggunakan konsultan politik dari luar negeri.
Jokowi tak secara gamblang menyebut siapa pihak yang menggunakan konsultan asing itu. Yang jelas, eks Wali Kota Solo itu menyebut konsultan asing dimaksud menggunakan teori 'propaganda Rusia' dengan memprodukssi dan menyebarkan hoaks serta fitnah.
Jokowi tak sendirian melakukan strategi 'menyerang' itu. Para timsesnya pun melakukan hal demikian beberapa hari belakangan.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai saat ini Jokowi dan timsesnya tengah melakukan transformasi strategi politik. Semakin mendekati pertarungan di 'laga pamungkas' pada 17 April 2019, Jokowi mulai mengubah strateginya dari bertahan menjadi menyerang.
"Saya pikir ini merupakan perubahan strategi berperang Jokowi di Pilpres, karena yang awalnya
defence [bertahan] untuk ofensif [menyerang]," kata Wasis saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Senin (4/2).
Wasis melihat beberapa waktu lalu Jokowi maupun timsesnya berkampanye cenderung monoton karena hanya menjalankan strategi bertahan dalam menyikapi berbagai serangan dari kubu Prabowo-Sandi.
Bahkan, kata dia, serangan kabar bohong atau hoaks yang dilakukan oleh kubu Prabowo-Sandi beberapa waktu lalu cenderung tak disikapi secara reaksioner oleh Jokowi maupun timsesnya.
"Sekarang lebih reaktif, mungkin respons balik Jokowi terhadap berbagai tuduhan yang selama ini disampaikan padanya," kata dia.
Wasis menilai perubahan strategi pertempuran yang dilakukan kandidat dalam percaturan politik merupakan hal yang wajar. Sebab, berbagai persoalan dan dinamika baik di internal maupun eksternal harus disikapi dengan cara yang berbeda.
Dalam kasus gaya menyerang Jokowi, Wasisto melihat terdapat juga indikasi persoalan gejolak kepanikan karena elektabilitas Jokowi-Ma'ruf cenderung stagnan belakangan ini.
Di sisi lain elektabilitas Prabowo-Sandi justru perlahan-lahan mulai naik dan mendekati Jokowi-Ma'ruf belakangan ini.
"Kalau dilihat dari sisi panik, itu dikarenakan karena selisih presentase suara dalam berbagai macam rilis survei makin menyempit sehingga muncul sedikit kekhawatiran secara psikis, apalagi ini menjelang detik-detik akhir," kata dia.
Diketahui, berbagai lembaga survei memperlihatkan tren elektabilitas pasangan Jokowi-Ma'ruf cenderung stagnan belakangan ini.
Hasil survei Para Sindicate misalnya, memperlihatkan tren-tren elektabilitas Jokowi-Ma'ruf masih unggul namun cenderung menurun. Sementara Prabowo-Sandi mengalami tren kenaikan.
Bahkan, survei yang dilakukan Median mendapatkan selisih elektabilitas Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi hanya berjarak 9,2 persen atau berkisar 1 digit.
Atas dasar itu Wasis menilai Jokowi mengganti gaya kampanyenya dengan lebih menyerang. Hal itu sebagai upaya untuk mempertahankan keunggulan elektabilitas dari Prabowo jelang hari pencoblosan.
"Mungkin saat ini Jokowi masih di atas angin karna masih berada di atas Prabowo dalam berbagai rilis survei. Saatnya bagi Jokowi untuk mati matian mempertahankan posisi tersebut dengan cara menyerang pihak lawan," kata dia.
 Capres Prabowo Subianto dan Joko Widodo. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari). |
Di sisi lain, Wasis turut menyarankan Jokowi dan timsesnya agar berhati-hati untuk menerapkan strategi ini agar tak menciptakan blunder yang bisa menjadi bumerang tersendiri.
Ia menyatakan Jokowi sebagai petahana harus berhati-hati dan tak mudah menuduh seseorang bila tak memiliki bukti yang kuat. Hal itu agar tak menjerumuskan Jokowi pada isu politik kosong tanpa makna yang belakangan ini sudah marak terjadi.
"Perlu juga berhati hati bila menggunakan antek asing dan konsultan Rusia karena itu bisa jadi menjadi tuduhan tanpa bukti yang malah jadi bumerang politik," kata dia.
Mengubah Strategi Demi Ceruk SuaraPengamat Politik dari Universitas Paramadina, Arif Sutanto menambahkan perubahan gaya kampanye Jokowi yang lebih menyerang tak lepas dari strategi untuk menyasar segmentasi kelompok pemilih emosional.
Sebab, kata dia, kelompok pemilih emosional lebih banyak memilih pemimpin berdasarkan faktor persona dan citra ketimbang melihat visi dan misi calon kandidat. Ceruk ini yang dinilai Arif, coba dimanfaatkan Jokowi.
"Model kampanye positif Jokowi memang lebih bisa diterima kalangan lebih rasional, tetapi terkesan lemah bagi pemilih lebih emosional," ucap dia.
"Makanya, sentuhan terhadap aspek emosional dilakukan lebih lewat pengembangan citra diri melalui serangan terhadap lawan," kata Arif saat dihubungi, Senin (4/1).
Arif menyatakan perubahan strategi ini memiliki kemungkinan berhasil jika disampaikan oleh Jokowi dan timsesnya secara terukur dan berbasis data.
Apabila tidak dilakukan demikian, Arif menilai Jokowi justru sedang terjebak dalam umpan permainan Prabowo-Sandi yang awalnya menggunakan strategi memyerang.
"Jika tidak, ada peluang Jokowi justru terjebak dalam permainan strategi lawan," kata dia.
Meski begitu, strategi 'jual-beli' serangan yang mulai terlihat berlakangan ini dinilai Arif karena kedua paslon anya sama-sama ingin menciptakan sensasi politik. Aapalgi strategi itu justru tak menciptakan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat Indonesia.
"Jadi, dibandingkan terperangkap strategi propaganda, baiknya kedua pasang kandidat mengembangkan narasi politik lebih konstruktif dan tidak memecah-belah," kata dia.
(rzr/osc)