Jakarta, CNN Indonesia -- Kepolisian menyebut terorisme beberapa kali terjadi di bulan Ramadan karena para pelaku percaya mereka akan mati syahid. Salah satu aksi teror itu terjadi pada Senin (3/6) malam ketika seorang pria 22 tahun coba meledakkan bom bunuh diri di pos polisi Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Senin (3/6) malam.
"Mereka percaya ketika mereka melakukan aksi terorisme, atau bom bunuh diri yang membuat pelaku meninggal, maka meninggal dalam keadaan syahid," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Dedi Prasetyo dalam konferensi pers di Mabes Polri, Selasa (4/6).
"Kelompok tersebut melakukan amaliah di bulan suci Ramadan, karena ada kepercayaan di kelompok tersebut bahwa bulan suci Ramadan itu bulan amaliahnya mereka."
Selain insiden semalam, sebelumnya pada Juli 206 juga terjadi bom bunuh diri di Mapolresta Solo dan pelemparan granat di Tugu Gladak, Solo, pada 2012. Sementara pada tahun lalu terjadi insiden bom Surabaya di tiga gereja yang menewaskan 13 orang termasuk pelaku, hanya beberapa hari sebelum bulan Ramadan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dedi juga menjelaskan alasan para pelaku terorisme menargetkan polisi. Ia mengatakan polisi dalam hal ini Satuan Anti Teror Densus 88 terus melakukan menangkap maupun menekan jaringan terorisme di Indonesia, sehingga terbentuk perlawanan.
"Karena kurang lebih dalam 19 tahun, polisi melakukan pendekatan hukum terhadap jaringan atau kelompok terorisme di indonesia. Baik pada masa yang pertama itu berafiliasi dengan Osama bin Laden. Berikutnya tahun 2014 dan 2018 itu berafiliasi dengan ISIS," kata Dedi.
Dedi menjelaskan Densus 88 telah melakukan pemetaan penyebaran jaringan terorisme di seluruh Indonesia yang mencakup seluruh Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi Selatan.
"Semua sedang bergerak dan Densus tidak berhenti melakukan penangkapan ke kelompok JAD yang lalu. Tapi melakukan pencegahan maksimal, agar kelompok ini tidak melakukan aksinya," kata Dedi.
(gst/vws)