Lorong gelap tampak tak berujung. Lembap dan pengap. Rumah-rumah petak di gang sempit ‘berpagar’ jemuran tali. Membentang dari satu rumah ke sebelahnya, begitu seterusnya. Di situ tergantung daster lusuh, seragam pabrik, hingga celana dalam basah.
Air dari jemuran yang tak terperas, mengucur ke saluran got yang mampet. Airnya meluap. Rerupa bau mendekap. Memacak hidung saya ketika pertama kali mendatangi RW 17 Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara.
Saya berjalan dibuntuti aroma pesing pipis bocah, bekas cucian piring, dan air rendaman pakaian yang dibiarkan berhari-hari.
Di atas genangan kotor pada gang sempit ini, para warga juga memasak. Sementara bak sampah di tiap-tiap pojok gang belum tentu tiap hari diangkut.
Di RW 17, ribuan warga tinggal di rumah-rumah berukuran 3x4 meter. Warga asli, pendatang, hingga pelimbang dari Sumatra, Bugis sampai Ambon. Guyub di atas kesamaan nasib.
Rumah mereka tak berjarak. Atap-atap rumah saling beradu. Membekap ketika fajar menjenguk.
RW 17 Muara tercatat sebagai permukiman kumuh kategori berat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Lokasinya selemparan batu dari apartemen elite Pluit Sea View. Dua wajah terpisah empang dan tembok setinggi tiga meter. Di tubir Waduk Pluit dan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Ada 1.816 rumah berhunikan 7.228 orang di daerah ini. Artinya, satu rumah petak jadi tempat berteduh enam hingga tujuh kepala. Saking padatnya, RW 17 membawahi 34 RT resmi dan sekitar 20 RT tak resmi alias perwakilan.
Sabtu, 20 Juli 2019
Kebon Tebu dan
Kenangan Penggusuran
Ini adalah hari pertama saya tinggal di kampung kumuh RW 17 Muara Baru. Sekitar pukul 10.00 WIB, saya sudah di ujung pintu rumah Eny Rochayati. Ibu aktivis Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) itu tinggal bersama suaminya Agus Herman dan dua anaknya: Roy dan Frizcha.
Pagi itu, Eny kebetulan sedang memasak pindang gabus. Ikan jadi salah satu santapan favorit warga pesisir. Tak ada dapur di rumah Eny yang berukuan 3x4 meter itu. Mereka melubangi tembok, membuatkan alas untuk tempat meletakkan kompor. Tabung gas 3 kilogram hanya diletakkan di lantai. Di samping rak televisi dan tumpukan baju sekolah anaknya.
Pungkas memasak Eny mengajak saya berkeliling RW 17. “Melihat potret kemiskinan kota,” candanya. Kami berkeliling ditemani kader JRMK lainnya: Herdayati dan Paryati.
Tujuan pertama adalah daerah yang dikenal sebagai Kebon Tebu. Kampung yang terletak di tepi Waduk Pluit.
Di sini terlihat bagaimana pola hidup warga kampung kumuh di pagi hari. Puluhan anak bermain di jalanan, tanpa gawai. Berlarian, bermain sepeda, serta bercanda riang. Sementara ibu-ibu sibuk mencuci dan menjemur pakaian. Khusyuk.
Sebagian perempuan lain menyibukkan tangan dengan mengemas jajanan anak. Ibu-ibu di sini mencari uang tambahan mengingat upah sebagai buruh lepas pabrik kadang tak cukup.
Gang Kampung Kebon Tebu tampak semrawut di akhir pekan. Jalan yang hanya selebar 3 meter hanya bisa dilintasi sepertiga. Kanan-kiri jalan jadi jatah parkir sepeda motor warga.
“Apalagi kalau malam, sudah enggak bisa lewat, motor semua,” kata Eny.
Hal unik lain dari perjalanan hari pertama saya di kampung kumuh adalah menjamurnya warung kelontong. Hampir setiap rumah –jika tak bisa dikatakan semua- membuka warung kelontong. Menjual barang-barang yang sama: air mineral, kopi, mi instan, rokok, dan kebutuhan lain.
Sebelum meninggalkan Kebon Tebu, Eny sempat mengajak mendekat bibir waduk. Hal pertama yang menyita perhatian, waduk ini seolah menyempit, membeku di pinggir karena padat ditumpuk sampah. Warga di sini masih terbiasa buang sampah sembarangan. Lempar di selokan, kali, ataupun di depan rumah.
Di antara tumpukan sampah tempat kami berdiri, Eny mengenang bagaimana separuh kampung ini digusur saat Jokowi-Ahok menjabat DKI 1.
Perkampungan di atas perairan Waduk Pluit sudah berhasil “disikat”. Warga dipindah ke Rusun Marunda. Separuh lagi belum sempat dieksekusi. Negosiasi terlampau alot dan terlanjur suksesi kepemimpinan.
Setelah berkeliling, Eny mendadak mengajak saya kembali ke rumah. Dia lupa bahwa malam nanti ada hajatan warga. Salah satu tetangga dilepas naik haji tahun ini. Warga heboh bersiap menghadiri acara itu. Beberapa di antaranya mendiskusikan besaran sedekah untuk bekal si calon haji.
Malam itu pun keakraban mulai saya rasakan di keluarga Eny. Sang suami, Herman, menggandeng tangan saya menyantap kue-kue di meja hajatan. Keguyuban warga mendekap hangat. Senyum, tawa, canda, saya lalui bersama.
Sepulang hajatan Herman mengajak saya main ke salah satu warung. Warga sekitar lebih mengenal daerah itu dengan nama gudang. Ada lima orang pemuda yang terlihat mengobrol. Beberapa saat, Herman menyadari para pemuda itu mabuk, termasuk keponakannya, Eman. Herman menasihati mereka.
“Dia itu kalau mabuk, pasti onar,” ucap Herman. Nadanya sedikit kesal.
Kami pun pulang dan bergegas tidur. Saya tidur di ruang tamu bersama Roy. Usianya masih 19 tahun. Kasur digelar persis di tempat Eny memasak tadi pagi.
Sebelum tidur, Herman menyarankan saya untuk mengoleskan lotion antinyamuk. Entah kenapa, pagi tiba, bintik merah tetap jadi tato indah dari rumah Herman.
Minggu, 21 Juli 2019
Kebakaran
dari Gang Sempit
Seperti di tempat-tempat lainnya, minggu adalah momen keluarga berekreasi. Eny mengajak saya mengunjungi Taman Waduk Pluit. Sebagian warga lebih senang menyebutnya Taman Jokowi atau Tamjok. Letaknya persis di bibir Waduk Pluit.
Warga RW 17 Muara Baru menjadikan Tamjok sebagai destinasi wisata di akhir pekan. Selain letaknya yang dekat dengan rumah, berkunjung ke taman ini gratis.
Beberapa keluarga sedang duduk-duduk di pinggir waduk. Dengan alas seadanya, mereka menikmati rindangnya pepohonan. Anak-anak asyik menikmati wahana permainan yang tersedia: sepeda listrik atau motor-motoran.
“Dulu semua ini perkampungan, jadi kita sekarang senang-senang di atas penderitaan orang lain,” canda Eny memecah hening.
Saat matahari tepat di atas kepala, Eny dan beberapa kader JRMK hendak menemui pedagang kaki lima (PKL) Tanah Pasir yang hendak digusur. Saya ikut dengan menebeng motor butut putih milik Herman.
“Walaupun tua, ini dari Pak Jokowi,” kata Herman. Kami pun berangkat.
Matahari di langit Penjaringan siang itu begitu menyengat. Bulir keringat tak henti mengucur dari kening Herman, yang biasa dipanggil Babe. Saat melintasi Polsek Penjaringan, ponsel jadul Herman berdering. Herman langsung meminta saya memutar balik. Kembali ke rumah.
“La illaha ilallah! Putar balik, rumah kebakaran!” teriak Herman kepada saya.
Tak pikir lama, saya pun memutar sepeda motor ‘Jokowi’ pulang. Asap hitam telah membumbung. Muka Herman pucat pasi. Mulutnya tak berhenti merapal nama Ilahi.
Sepanjang jalan, orang-orang berhamburan di Jalan Raya Muara Baru. Sebagian teriak histeris, sebagian lagi berlari menghampiri titik kebakaran. Wajah Herman makin lemas.
Sesampainya di Gang Marlina, gang rumah Herman, ia menyadari titik api bukan berasal dari rumahnya yang berada di RT 3, melainkan di RT 1 yang lebih dikenal orang dengan sebutan Kampung Tembok Bolong. Meski begitu, kami tetap menghampiri titik api tersebut.
Saya dan Herman harus berputar-putar lewat gang-gang sempit nan gelap bak labirin untuk sampai di lokasi kebakaran. Beberapa kali saya harus merunduk saat lewat rumah warga yang menjemur pakaian di luar. Beberapa kali juga saya harus menepi, bergantian melintas di gang senggol. Butuh waktu sepuluh menit sampai ke titik kebakaran.
Terlihat rumah-rumah semi permanen jadi santapan si Jago Merah. Beberapa warga berlarian sembari menggendong barang. Bantal, pakaian, pengeras suara, hingga televisi, mereka selamatkan.
Mustahil mobil pemadam kebakaran bisa menyentuh lokasi melewati jalan sempit. Warga akhirnya berbaris untuk menyalurkan ember berisi air guna memadamkan amukan api. Selang satu jam, si jago merah padam. Namun 22 bangunan terlanjur hangus. Total 120 jiwa kehilangan tempat tinggal.
“Ini sudah ketiga kali kebakaran,” tutur Herman.
RW 17 Muara Baru memang jadi wilayah langganan kebakaran. Belum genap seminggu dari kejadian tersebut, api melalap 17 rumah di RT 22 RW 17 Muara Baru pada Kamis (26/7) malam.
Tercatat 30 kepala keluarga jadi korban kebakaran. Setelah menyaksikan kebakaran siang itu, saya menemani Herman, Eny, dan orang-orang JRMK berbincang soal penggusuran. Setelah itu kami pulang, beristirahat mengantisipasi hari Senin yang padat.
Senin, 22 Juli 2019
Denyut Kampung Bengek
dan Tawuran
Ketukan sendok Eny di secangkir teh manis membangunkan saya. Tidur malam saya begitu pulas. Kulit tubuh mulai terbiasa dengan gigitan nyamuk. Pagi ini saya berencana ke Kampung Bengek. Lokasinya berada di RT 4, masih di RW 17. Menurut cerita Eny, kampung ini baru dibangun beberapa tahun belakangan.
Beberapa warga RW 17 menjebol tembok pembatas lahan milik PT Pelindo dan mulai mendirikan bangunan. Mencapai Kampung Bengek, saya harus melewati satu lubang di tembok setinggi 3 meter. Pertama kali masuk, saya spontan menggeleng-gelengkan kepala. Kampung liar ini lebih kumuh dari sudut-sudut lain di RW 17.
Tumpukan sampah dan lalat-lalat yang beterbangan menyambut kedatangan. Anak-anak kecil berlarian di jalan sempit bertepi karung-karung berisi hasil memulung. Gang di sini tak begitu lebar, hanya sekitar satu meter.
Ada puluhan rumah yang sudah berdiri. Kebanyakan rumah semi permanen berdinding triplek dan beratap seng. Seperti rumah Joko (65), warga Kampung Bengek yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung plastik.
Rumah Joko hanya seluas 3x4 meter. Dua kasur bergeletak di lantai, berdampingan dengan lemari es dan kompor di pojok rumah. Ia tinggal bersama istri, tujuh orang anak, dan tujuh orang cucu. Tak ada ventilasi di rumah Joko. Pengap bukan main saat masuk ke dalamnya.
“Maaf ya, Mas, rumahnya berantakan begini,” kata Joko seraya mempersilakan saya masuk.
Mulanya, kata dia, Kampung Bengek dipakai warga menaruh kandang ayam. Sebab rumah mereka di RW 17 terlalu sempit dipakai bermukim ribuan orang. Seiring berjalan waktu, warga mulai mendirikan rumah di tanah terlarang.
Selesai bercerita, Joko mengajak saya berkeliling. Saya kaget bukan main saat mengetahui Kampung Bengek berdiri di atas empang yang menjadi hamparan tumpukan sampah.
Sampah plastik, pakaian, hingga kotoran manusia terlihat jelas dari sela-sela lantai rumah warga. Bau busuk, anyir, pesing, dan aroma tak sedap lainnya pun menusuk hidung. Ibu-ibu nampak santai memomong bayinya. Ada yang merumpi, sambil makan rujak bersama.
Joko hanya sebentar menjamu saya siang itu. Saya tahu dia tengah panik, anaknya kedapatan menjambret di salah satu petak di Muara Baru.
Cerita dari kampung kumuh tak selesai sampai di situ. Malam harinya, ketika keluarga Herman tengah beristirahat santai, beberapa orang mampir di rumah. Saat sedang asyik-asyiknya berbincang, Herda, tamu Eny, menyela dan berteriak,
“Astaghfirullah, aduh bagaimana ini, anak saya di polsek!”
Herda menerima pesan dari anak perempuannya, Tia, yang memberi tahu bahwa anak laki-lakinya yang bernama Kiki ditangkap polisi karena tawuran. Anak muda di RW 17 Muara Baru sering tawuran. Umumnya terjadi usai bubaran sekolah ataupun dini hari menjelang subuh.
Kepala Unit Reskrim Polsek Penjaringan, Kompol Mustakim menyampaikan salah pergaulan jadi masalah utama bagi generasi muda di RW 17 Muara Baru. Selain tawuran, konsumsi narkoba jadi kriminal yang umum ditangani Polsek Penjaringan.
“Sebulan bisa empat sampai lima kasus (narkoba), berarti setahun bisa 48 kasus. Lima puluh persennya kejadian di situ (RW 17),” ucapnya kepada CNNIndonesia.com.
Beruntung Kiki bisa dibebaskan setelah mendapat pembinaan dari aparat polisi. Dalam pengakuannya, Ia cuma terjebak dalam situasi tak diinginkan. Tawuran itu diakuinya melibatkan teman-teman sekolahnya dan sejumlah anak jalanan.
Selasa, 23 Juli 2019
Menantang
dunia malam
Jika prostitusi merupakan anak kandung dari rapuhnya ekonomi warga, maka Penjaringan sudah menjawabnya sejak 1960. Meski umur kampung maksiat di sini lebih muda dari Kramat Tunggak yang tumbuh zaman kuda gigit besi (1920).
Ada bisik seseorang dari kampung ini, sebagian perempuan di RW 17 memilih jalan menjajakan tubuh. Royal, sebuah lokalisasi yang identik dengan prostitusi bertarif rendah. Sebagian perempuan bekerja karena terpaksa. Ada juga yang terjebak dalam penjualan manusia.
Bermodal motor pinjaman dari warga, malam itu saya bersilaturahim di lembah hitam Penjaringan. Lokasinya mudah dilacak. Berada di Gedong Panjang. Cukup susuri pinggir rel yang memisahkan Stasiun Kampung Bandan dengan Stasiun Angke. Lantunan musik koplo dari kejauhan akan menuntun.
Lampu sorot warna-warni berpendar ke sisi jalan raya. Bunyi house music—dag dig dug memacu adrenalin. Masih pukul 22.00 WIB, sepeda motor sudah berjejer di lokasi. Saya yakin mereka adalah tamu. Sebab perempuan malam di sini lebih memilih menggunakan jasa ojek.
Pakaian mini, gincu tebal, dan tatapan manja. Perempuan seksi berjejer tiap lima meter. Mereka menunggu tamu di tiap-tiap rumah kontrakan. Saya coba masuk ke salah satu gang. Jumlah mereka banyak, tak terhitung jari tangan hingga kaki. Sebagian dari mereka memang masih muda. Senyumnya saya akui cukup manis.
Ada yang berdiri di ujung pintu kontrakan, ada juga yang menunggu di kafe-kafe di gang senggol itu. Makin menelusuri ke dalam, dentuman koplo makin kencang. Ya, setiap kafe di sini beradu musik koplo dan lampu disko masing-masing.
Dalam kafe, minuman beralkohol terjejer di meja. Semuanya dalam kondisi terbuka. Botol yang masih tertutup cukup dipajang di jendela. Di sekitar mereka orang-orang meracau tak jelas. Mabuk.
Saya mendatangi salah satu kafe ketika ada seorang perempuan duduk terdiam. Mukanya muram, sedikit pucat. Seorang muncikari pun menghampiri saya.
“Susah diatur, pusing gua. Kan gua enggak ngurusin dia doang, banyak yang gua pegang,” curhatnya kepada saya.
Saat sedang mengobrol dengan muncikari itu, seorang kakek tua melintas dengan dada menantang langit. Ia dirangkul seorang muncikari lain. Mereka tampak akrab, seperti penjual bertemu pelanggan tetap. Ditawarkannya seorang perempuan untuk menemaninya singkat. Tak banyak berkata, sang kakek dan perempuan itu pun masuk ke kafe. Selanjutnya, saya tak tahu.
Usai meladeni curhatan sang muncikari, saya meninggalkannya dengan pamit baik-baik. Rupanya dia kesal karena ‘anak asuhnya’ menolak untuk bekerja. Saya tahu kemudian, perempuan itu tengah hamil muda. Wajah pucatnya merupakan ekspresi kecemasan batin ketika mengetahui janinnya terindikasi HIV. Janinnya jadi korban aktivitasnya di lokalisasi selama ini.
Saya beralih ke titik lain sembari meniti jalan tempat saya masuk setengah jam lalu. Belum lama beranjak, saya kembali dirangkul seorang pria. Kondisinya setengah mabuk. Mulutnya bau rokok dan tegukan bir.
“Bang, udah ngewe (bersetubuh, bahasa sunda) belum?” tanyanya enteng. Saya menolak tawaran muncikari itu dengan dalih lihat-lihat dulu.
PSK jadi bagian tak terlepaskan dari pemukiman kumuh. Menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), di Penjaringan ada sekitar 600 PSK yang bekerja di 33 kafe. Dari jumlah itu, berdasarkan keterangan sumber saya, 48 orang teridentifikasi mengidap HIV/Aids selama 2017 hingga 2019.
Rabu, 24 Juli 2019
Perjuangan rakyat miskin
belum usai
Hari terakhir saya di kampung kumuh RW 17 Muara Baru. Saya pilih menghabiskan waktu kembali berkeliling ke gang-gang sempit. Menjenguk kembali aktivitas mencuci dan memasak. Merekam hal-hal yang mungkin luput kemarin.
Pagi menjelang siang, saya berjalan ke RT 1, wilayah terdekat dengan apartemen Pluit Sea View. Beberapa kali saya menemukan ibu-ibu mencuci pakaian di luar rumah, menggunakan separuh jalan di gang-gang sempit.
Ada yang menaruh papan penggilasan sampai mesin cuci di depan rumahnya. Saat saya melintas, mereka dengan asyik mengucek pakaian. Air busa bekas cucian pun mengalir ke selokan-selokan kecil di depan rumah. Sebagian mengalir tak beraturan. Tumpah ke jalanan.
Tak hanya pakaian yang mereka bersihkan di tengah jalan. Sebagian warga pun memandikan anak-anaknya di luar rumah mereka. Kasbi, warga RT 3 RW 17, rutin memandikan anak bontotnya di pinggir jalan depan rumahnya.
“Anak saya yang kecil biasanya dimandiin kakak-kakaknya di luar sini, sambil kakaknya nyuci baju,” kata Kasbi.
Hidung ini mengendus aroma ikan goreng dari ujung gang. Selain mandi dan cuci baju, warga pun memanfaatkan jalanan sempit di depan rumahnya untuk memasak. Luas rumah yang tak seberapa memaksa mereka memindahkan dapur ke separuh jalan di luar rumah.
Narsih misalnya. Saat saya berkeliling, sedang memasak telur goreng balado tepat di depan rumahnya. Ikan gorengnya baru saja ditiriskan. Gang di depan rumah Narsih Cuma selebar 2 meter. Separuhnya habis dipakai singgasana Narsih menjadi koki.
“Iya biasa (masak di luar). Habisnya kalau di dalam sempit, panas,” ucapnya sembari tersipu malu.
Dengan segala cerita soal kekumuhan, warga RW 17 Muara Baru masih berjuang untuk hidup layak di tanah yang telah mereka duduki sejak 1970-an. Eny mengingatkan saya tentang janji angin segar yang diberikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sang gubernur berjanji tak akan menggusur mereka, melainkan melakukan penataan.
Sebanyak enam belas RT di RW 17 jadi prioritas penataan kampung ala Anies. Eny, salah satu yang memperjuangkan penataan kampung, menyampaikan perjuangan kali ini adalah pertaruhan. Eny membawa kemuakan warga yang kembung janji-janji politik kepala daerah.
“Hak dasar itu adalah rumah ya, kenyamanan bertempat tinggal, itu yang harus diperjuangkan,” kata dia.
“Kami ingin di Jakarta tetap ada kampung-kampung. Kampung ini mesti diakui, bahwa kampung adalah bagian dari kota. Saya juga berharap Kampung Marlina tetap ada sampai anak cucu saya. Jangan hanya tersisa rusun-rusun yang sebenarnya merupakan kemiskinan baru,” tutur Eny.
Kawasan kumuh Jakarta dipandang sebagai persoalan kronis yang selalu mewarnai perjalanan ibu kota. Sejumlah daerah di Penjaringan ini misalnya, telah menjadi wilayah dengan akar moyang kemiskinan. Sejak belasan hingga puluhan tahun lalu. Tak pernah ada solusi berarti.
Pemerhati lingkungan kumuh, sekaligus inisiator gerakan Jakarta Hidden Tour, Ronny Poluan misalnya. Dia menjadikan salah satu daerah di Penjaringan sebagai ‘destinasi wisata’ kekumuhan, yang ia jual kepada para turis asing. Kegiatan itu telah dilakukannya sejak 2008.
“Bahwa dapat saya katakan, ini adalah kegagalan kemanusian. Fail of humanity,” ujarnya. Ronny membantah menjual kemiskinan. Menurutnya, kegiatan jalan-jalan ala Jakarta Hidden Tour merupakan cermin kegagalan pemerintah memanusiakan warganya.
Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna menyebut setidaknya ada tiga faktor penyebab persoalan kemiskinan: transportasi, sewa-harga rumah, dan sembako. Mereka yang tak sanggup akan terlibas. Membuka peluang menggemuknya permukiman kumuh.
“Kalau misalnya pendapatan rendah, kemudian biaya hidup tinggi, ya susahlah,” kata Yayat kepada CNNIndonesia.com.
Yayat menilai kegagalan pemerintah, salah satunya penyediaan lapangan pekerjaan, berkelindan erat dengan tumbuh suburnya kemiskinan di permukiman kumuh. Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, membuka seluasnya para pencari kerja daerah datang ke ibu kota.
Data Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) DKI, pendatang baru di Jakarta dalam satu dekade terakhir fluktuatif. Pada 2010, pendatang baru ada di angka 59.215 jiwa. Sementara pada 2016 menjadi 68.763 jiwa dan satu tahun setelahnya 70.752 jiwa. Tahun lalu, 69.479 jiwa tercatat menjadi penduduk baru Jakarta.
Sementara itu, Pengamat Tata Kota, Nirwono Joga menilai Pemprov DKI sampai saat ini belum memiliki program kerja konkret dalam mengentaskan kemiskinan. Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) bentukan Anies, dinilai tak maksimal.
“Belum ada bukti gerakannya,” kata dia.
Anggota TGUPP Angga Putra Fidrian mengatakan Pemprov DKI tengah berupaya memperkuat komunitas di kampung-kampung. Bertujuan mempersempit gerak berkembang permukiman kumuh. Program tersebut dilakukan melalui langkah, Community Action Plan (CAP). Memungkinkan keterlibatan komunitas dan warga dalam menata daerahnya. Penataan permukiman kumuh RW 17 Muara baru, misalnya, dirancang untuk ditata tahun ini.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi DKI Jakarta Kelik Indriyanto menyebut pemerintah telah menyiapkan Rp24 miliar untuk sistem CAP di 2019 dan Rp9,96 miliar di 2018. Anggaran serupa akan diterapkan di seluruh kawasan kumuh Jakarta. Selain itu, Pemprov DKI telah menanganggarkan Rp897 miliar untuk membangun 10 rusun.
Rusun itu nantinya untuk pemindahan sementara para warga yang ditata kampungnya. Tersebar sesuai kebutuhan penataan. Saat ini, kata dia, pembangunan rusun tersebut masih dalam tahap lelang.