Tepat hari ini, Sabtu (15/8), terhitung 58 tahun sejak berlangsungnya Perjanjian New York 1962 antara Indonesia dan Belanda yang dijembatani Amerika Serikat di markas Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), New York.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Indonesia berhasil merebut kekuasaan atas Papua Barat dari Belanda.
Setiap tahunnya aktivis-aktivis Papua menggunakan tanggal Perjanjian New York ini untuk mengadakan demonstrasi di sejumlah daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Papua Barat telah menjadi sengketa antara Belanda dan Indonesia sejak merdeka pada 1945. Indonesia berkeras wilayah tersebut bagian dari kedaulatannya, sementara Belanda juga mengklaim serupa. Kesepakatan sulit tercapai hingga Indonesia bertekad melancarkan operasi militer.
Dalam Konferensi Meja Bundar pada 2 November 1949, Belanda mengakui Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Akan tetapi, Indonesia harus membayar utang pemerintah kolonial Hindia Belanda di masa silam hingga peperangan yang terjadi sejak 1945.
Belanda, di KMB, juga mengakui wilayah Indonesia kecuali Irian Barat atau Papua bagian barat (tidak termasuk Papua Nugini). Daerah tersebut akan tetap dikelola oleh Belanda. Soal Papua akan dibahas kembali satu tahun kemudian.
Namun konflik yang tak kunjung berakhir membuat Indonesia mengupayakan perebutan wilayah Papua Barat dari tangan Belanda, mulai dari upaya diplomasi, konfrontasi sampai operasi militer.
Pada Agustus 1952, Belanda mengumumkan secara sepihak kekuasaannya di Papua Barat.
Kabinet Ali Sastoramidjojo I kemudian mengadukan hal ini pada Sidang Majelis Umum PBB. Namun Belanda menampik dan menyatakan persoalan ini adalah masalah bilateral antara keduanya, bukan perkara internasional.
Diplomasi ini pun gagal. Indonesia tak bisa mengumpulkan dukungan hingga dua per tiga anggota Majelis Umum PBB pada sidang tersebut.
Selanjutnya Indonesia mencoba menawarkan persetujuan Finansial Ekonomi kepada Belanda di Jenewa, 7 Januari 1956. Lagi-lagi Belanda menolak. Uni Indonesia-Belanda pun dibubarkan secara sepihak oleh Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian merencanakan operasi militer Trikora dan membentuk Komando Mandala yang dipimpin Mayjen Soeharto dan ditugaskan membebaskan Papua Barat dari Belanda.
Sikap Indonesia yang semakin serius merebut Papua menyita perhatian internasional. Amerika Serikat mendesak Belanda untuk bersikap lunak dan duduk dalam perundingan -- kemudian berujung pada Perjanjian New York 1962.
Beberapa poin perjanjian New York adalah Belanda diminta menyerahkan Papua Barat kepada Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA).
Kendati demikian, perjanjian ini menuai kritik dari pihak aktivis dan masyarakat Papua Barat. Mereka mengecam tidak ada pihak Papua Barat yang dilibatkan dalam perjanjian yang menentukan nasib mereka itu.
Dalam Perjanjian New York, nasib Papua ditentukan salah satunya oleh Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang digelar 1969. Rakyat Papua bisa memilih ingin merdeka atau bergabung dengan Indonesia. Pepera dilakukan dengan pengambilan satu orang satu suara atau one man one vote.
Namun pelaksanaan Pepera dinilai tidak sesuai dengan mekanisme yang ditetap dalam perjanjian, karena hanya 1.025 suara yang masuk dalam musyawarah, padahal total penduduk Papua saat itu 800 ribu orang.
Hal ini juga diungkapkan tokoh Papua, Socratez Sofyan Yoman dalam artikel berjudul Ketidakadilan dan Kepalsuan Sejarah Integrasi Papua ke Dalam Wilayah Indonesia Melalui Pepera 1969.
Proses ini pun yang sejak itu kerap dijadikan alasan oleh sebagian masyarakat Papua atas klaim untuk berdiri sebagai negara sendiri.
Setiap tahunnya hingga kini, aktivis Papua rutin mengadakan peringatan Perjanjian New York. Amerika dituntut bertanggung jawab atas perjanjian yang menurut rakyat Papua tidak menguntungkan mereka.
(fey/vws)