Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay mengkritik langkah Presiden Joko Widodo mendesak KPU agar tetap menggelar Pilkada Serentak 2020 di masa pandemi Covid-19.
Hadar mengatakan presiden tidak seharusnya mengatur-atur KPU. Sebab KPU adalah lembaga mandiri yang bebas intervensi dan bisa menentukan kebijakannya sendiri.
"Presiden-presiden sebelumnya enggak pernah nyuruh-nyuruh KPU-Bawaslu. KPU-Bawaslu lembaga mandiri, tidak usah diingatkan (untuk melanjutkan pilkada) terbuka di depan publik," kata Hadar saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (10/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hadar mengatakan desain Pilkada 2020 sudah keliru sejak dimulai lagi 15 Juni lalu. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota mengharuskan KPU berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR jika hendak menunda pilkada.
Dengan aturan itu, KPU kehilangan kemandirian untuk mengelola pilkada. Padahal menurut Hadar, seharusnya KPU bisa menyetop pilkada jika pandemi Covid-19 semakin parah.
"Itu pintu yang keliru. Akhirnya KPU tidak bisa apa-apa. Ide-ide lain enggak bisa dia. Kalau presiden bilang tetap harus Desember, ya sudah," tuturnya.
Presiden Jokowi menyatakan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 harus tetap dilaksanakan di tengah pandemi virus corona. Pasalnya, tak ada satu pun negara termasuk Indonesia yang mengetahui kapan pandemi ini akan berakhir.
"Situasi tidak bisa dibiarkan, penyelenggaraan pilkada harus tetap dilakukan, tidak bisa menunggu pandemi berakhir karena kita tidak tahu, negara mana pun tidak tahu kapan pandemi ini berakhir," kata Jokowi disiarkan di akun Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (8/9).
Usulan menunda pilkada bermunculan usai sejumlah bakal pasangan calon melanggar protokol pencegahan Covid-19 di masa pendaftaran. Bawaslu mencatat 316 bapaslon di 243 daerah melakukan pelanggaran.
Kejadian itu juga menjadi perhatian Jokowi. Namun ia menegaskan pilkada tetap harus dijalankan di tengah pandemi.
![]() |
Hadar pun menyarankan agar pilkada ditunda sementara waktu. Ia menilai pilkada kali ini dipaksakan karena seluruh pihak terlihat tidak siap menghadapi pandemi.
"Saya kira kita halusinasi lihat diri kita mampu pilkada dalam kondisi Covid menerapkan protokol dengan tertib. Kita juga tidak mampu mencegah, membubarkan, menjatuhkan sanksi yang punya efek jera," tuturnya.
Dia berkata Indonesia butuh persiapan lebih matang menangani pandemi sebelum menggelar pilkada.
"Baiknya disetop, kemudian dibenahi, baru jalan lagi. Bahwa kita belum siap akhirnya terbukti. Sudah, kita jangan coba-coba nekat," kata Hadar.
Menurut Hadar, tak perlu menunda pilkada hingga pandemi berakhir. Penundaan hanya dilakukan untuk melakukan persiapan lebih matang, khususnya dalam mencegah jatuhnya korban saat pilkada di tengah pandemi.
Dia menyarankan pilkada ditunda sekitar empat hingga tiga bulan. Di masa itu, pemerintah dan penyelenggara pemilu harus merombak aturan dan mekanisme pilkada.
"Lakukan semua pilkada ini tanpa ada pertemuan-pertemuan yang langsung," ujarnya.
Hadar menyarankan agar Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada segera direvisi. Tahapan pilkada harus disesuaikan dengan kondisi pandemi, terutama soal tahapan-tahapan yang berpotensi menimbulkan kerumunan.
Dia menyampaikan aturan saat ini masih mewajibkan beberapa tahapan digelar secara tatap muka. Selain itu, belum ada larangan dan sanksi tegas bagi kandidat pelanggar protokol Covid-19.
"Harus diubah undang-undang itu. Kemarin bisa perppu ekonomi duluan, itu untuk Covid. Kalau mau ngotot pilkada, ubah aturannya," ujar Hadar.
Penundaan pilkada dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Pelaksanaan pilkada disebut bisa ditunda kembali sampai bencana non-alam dalam hal ini pandemi Covid-19 berakhir.
"Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A," demikian bunyi Pasal 201A angka 3 UU a quo.
(dhf/pmg)