Bukan hanya persoalan tenaga kerja hingga lingkungan, omnibus law UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) disebut telah mengabaikan hak dan kepentingan para penyandang disabilitas.
Dengan demikian, sebanyak 51 organisasi sipil yang tergabung dalam Jaringan Penyandang Disabilitas memberi kesempatan 14 hari kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) segera menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) pencabutan UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR dalam rapat paripurna pada Senin sore, 5 Oktober 2020.
"Mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja dalam waktu 14 hari dari hari ini," demikian dikutip dari rilis Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak Undang-Undang Cipta Kerja 2020 yang dibacakan dalam siaran virtual, Senin (12/10) pagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan jaringan itu dibacakan Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi bersama Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (Sapda) Nurul Saadah.
Mereka menyebut pembahasan omnibus law Ciptaker sejak awal tak pernah memperhitungkan kelompok atau penyandang disabilitas. Padahal, kata mereka, substansi UU Ciptaker sangat berdampak terhadap kehidupan para penyandang disabilitas.
Mereka juga kecewa sebab usulan yang diajukan jaringan penyandang disabilitas untuk ikut serta dalam pembahasan tidak diakomodasi pembuat undang-undang.
"Usulan yang diajukan terbukti tidak diakomodir dalam draf terakhir yang terpublikasi di masyarakat 1 hari sebelum Sidang Paripurna DPR pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU dilaksanakan," demikian pernyataan mereka.
Selain itu, Jaringan tersebut menyebut UU Ciptaker juga tidak harmonis dan sinkron dengan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
UU Ciptaker pun disebutkan telah melakukan kejahatan epistemik dengan masih menyebut istilah 'cacat' bagi penyandang disabilitas. Paradigma cacat sejatinya bertentangan dengan gerakan disabilitas yang selama ini mengusung cara pandang hak asasi manusia.
"Merupakan bentuk pengabaian dari ketentuan dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 yang menyatakan bahwa, 'Istilah Penyandang Cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UU ini berlaku, harus dibaca dan dimaknai sebagai Penyandang Disabilitas, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini'," demikian pernyataan mereka.
Selain itu penggunaan istilah 'cacat', ujar Fajri, juga bertentangan dengan semangat yang dibangun dalam konvensi hak penyandang disabilitas (Convention on the Right of Person with Disabilities) yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
Jaringan itu menyatakan UU Ciptaker juga telah menghapus Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan Gedung yang mengatur aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia. Pasal tersebut merupakan bentuk perlindungan negara terhadap hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan kemudahan dalam akses.
"Bahkan Pasal itu sudah melahirkan peraturan pelaksanaan, yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2017 tentang Kemudahan Bangunan Gedung,
yang mengatur lebih rinci implementasi dari penyediaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas," demikian dikutip dari rilis.
Selain itu, mereka juga keberatan dengan UU Ciptaker yang tidak mencantumkan ketentuan kuota 1 persen bagi perusahaan swasta dan 2 persen bagi BUMN/BUMD untuk mempekerjakan penyandang disabilitas dari total seluruh karyawan. Menurut mereka, hal itu akan mengurangi kesempatan penyandang disabilitas mengakses pasar kerja.
"UU Cipta Kerja masih menggunakan sehat "jasmani rohani" sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan atau menempati jabatan tertentu, yang merupakan tindakan diskriminatif bagi
penyandang disabilitas," kata dia.
Dari total 51 organisasi yang tergabung dalam koalisi, beberapa dia antaranya adalah Komnas Perempuan, PSHK, Perhimpunan Jiwa Sehat, Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN), SAPDA, hingga Institute Inklusif Indonesia.
Selain menuntut Jokowi menerbitkan Perppu, mereka juga meminta pertanggungjawaban fraksi-fraksi DPR yang menyetujui pengesahan RUU Ciptaker memberi penjelasan secara tertulis mengenai pengabaian kelompok disabilitas dalam pembahasan yang dan tidak dicantumkannya UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai Undang-Undang yang terkena dampak.
(thr/kid)