Sejarawan dari Universitas Indonesia, Andi Achdian menilai parodi lagu kebangsaan Indonesia Raya bukan problem mendasar yang perlu diperkarakan berlarut.
Menurut dia, penyelesaian masalah ini cukup melalui jalur diplomatik antar-negara, seperti permintaan maaf secara resmi dari Malaysia. Andi menuturkan, justru ada masalah lain yang lebih esensial semisal penguasaan kawasan di wilayah perbatasan.
"Tidak ada yang esensial, dalam artian, penghinaan-penghinaan itu kan banyak case-nya ya sebetulnya. Cuma memang, ini menjadi masalah, mungkin karena lagu [kebangsaan]," ungkap Andi ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (28/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di banyak tempat kalau misalkan pertandingan bola--apalagi di Eropa--itu saling ejek pakai lagu itu kan biasa saja. Problemnya, politik di Indonesia itu kan identitas. Jadi segala sesuatu yang secara simbolik menampilkan identitas itu, seolah-olah suci, ya. Padahal kan, enggak ada yang peduli juga. Karena yang substansial menurut saya itu di persaingan ekonomi, di kedaulatan wilayah lautan, di pulau-pulau, kan ini [justru] nggak kita urus," lanjut doktor di bidang sejarah tersebut.
Polah saling olok menurut Andi bukan hanya dilakukan warga Malaysia, tapi juga tak menutup kemungkinan pernah dilakukan warga Indonesia.
"Itu urusan diplomasi antar-dua negara saja, Malaysia juga tahu lah di Indonesia juga nggak kurang-kurangnya yang mengolok-olok Malaysia. Sama saja," kata dia lagi.
Andi lantas menerangkan, Indonesia Raya menjadi sakral setelah ditetapkan sebagai lagu kebangsaan. Itu pun berpuluh tahun setelah lagu ini diciptakan Wage Rudolf Supratman pada 1926 dan dinyanyikan pada Kongres Pemuda II 1928--belakangan dikenal dengan momen Sumpah Pemuda.
Mulanya Indonesia Raya merupakan sebuah lagu yang diciptakan untuk menyemangati kebangkitan nasional. Lagu biasa. Tapi lantas dianggap penting dan bentuk penghormatan negara setelah ditetapkan sebagai lagu kebangsaan.
Lihat juga:Tokoh Tionghoa di Pusaran Sumpah Pemuda |
"Kalau dalam kasus ini kan, soalnya dia sudah menjadi lagu kebangsaan resmi. Jadi memang biasanya problemnya masalah penghormatan antar-negara. Malaysia mungkin [bisa] minta maaf secara resmi, secara diplomatik--kalau [penghinaan] itu terjadi di wilayah mereka. Sama, kalau kita mengolok-olok lagu kebangsaan Malaysia juga begitu."
Tapi ekspresi kemarahan buntut dari lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diubah menjadi kalimat berisi ejekan oleh warga yang diduga dari Malaysia itu, tak bisa disamakan dengan seruan Sukarno soal 'Ganyang Malaysia' pada 1964 silam.
"Konteksnya beda, kalau dalam [pidato Sukarno] 'Ganyang Malaysia' kan ada persaingan perang dingin. Jadi yang dihadapi Sukarno kan bukan hanya Malaysia tetapi juga Inggris dan Amerika, jadi ada konteks di situ," terang Andi.
"Kalau sekarang, kan beda, ini cuma ekspresi kultural saja, tidak ada persaingan atau pertentangan yang, apa [mendasar] gitu. Nggak terlalu kuat begitu lho, sama-sama negara yang, ya.. sama-sama pro-barat lah. Tidak ada pertentangan yang signifikan yang bisa menyulut ketegangan skala tinggi," tambah anggota Masyarakat Sejarawan Indonesia tersebut.
Karena itu bagi Andi, masalah ini dapat cukup diselesaikan dengan diplomasi antar-negara dan tak perlu dibawa ke proses hukum.
"Saya kira itu hanya beberapa kelompok saja dan, ultranasional [ultranasionalisme] itu sudah nggak laku ya sekarang ini. ... Malah mungkin sebenarnya, justru yang lebih esensial, kayak pulau perbatasan kita ilang, dan sebagainya. Itu kan jarang [muncul] juga."
Geger soal parodi lagu kebangsaan Indonesia Raya bermula dari unggahan video akun Youtube MY Asean sekitar dua pekan lalu. Konten ini berisi lagu Indonesia Raya yang liriknya diganti dengan kalimat ejekan. Tapi belakangan saat CNNIndonesia.com kembali menelusuri pada Minggu (27/12), akun tersebut tak lagi ditemukan.
(nma)