Kapolri Jenderal Idham Azis memasuki masa pensiun pada bulan ini. Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut sudah mengantongi nama perwira tinggi (pati) untuk menggantikan posisi Idham.
Sejumlah nama pati, terutama jenderal bintang tiga, digadang-gadang memiliki kans tinggi untuk menjadi Kapolri.
Indonesia Police Watch (IPW) misalnya menyebut Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono dan Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo menjadi satu paket kapolri-wakapolri yang digagas Istana Kepresidenan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, ada juga nama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafly Amar. Mantan Kapolda Banten dan Papua itu disebut masih memiliki kans menjadi Kapolri.
Namun, di balik proses peralihan tongkat komando, terdapat sejumlah permasalahan yang harus dibenahi Korps Bhayangkara.
Koordinator Komisi Anti Orang Hilang dan Anti Kekerasan (KontraS) Fatia Maulida menyoroti kewenangan kepolisian ketika melakukan proses hukum. Menurutnya, tak ada asas nesesitas, proposionalitas, dan legalitas dari beberapa tindakan yang dilakukan pihak kepolisian.
"Sehinggga banyak tindakan sewenang-wenang yang dilakukan, misalnya penembakan, penyiksaan, dan lain sebagianya," kata Faita kepada CNNIndonesia.com, Selasa (5/1).
KontraS sendiri baru melayangkan surat terbuka kepada Kapolda Bengkulu Irjen Teguh Sarwono terkait dugaan penyiksaan berujung kematian Sahbudin bin Japarudin.
Peristiwa itu dilatarbelakangi oleh dugaan penyerangan yang dilakukan Sahbudin terhadap salah seorang anggota polisi yang tengah mengamankan pendistribusian logistik pilkada di Bengkulu.
Fadia melanjutkan Peraturan Kapolri (Perkap) juga kerap tak memperhatikan elemen hak asasi manusia (HAM). Tak jarang terjadi praktik tebang pilih penegakan hukum hingga tak diproses secara pidana para anggota polisi yang bersalah.
Menurut Fatia, saat ini kebebasan sipil juga semakin terbatas. Di sisi lain, katanya, kewenangan pasukan baju cokelat itu kian membesar, namun minim evaluasi.
![]() |
Selain itu, Fatia menyebut deteksi dini Polri dari ancaman kelompok teroris juga belum maksimal. Ia juga mempertanyakan program deradikalisasi yang digagas Polri.
"Banyak hal ya sepertinya perlu dibenahi seperti dari mekanisme evaluasinya lebih tegas dalam menindaklanjuti banyaknya kesewenang-wenangan yang dilakukan pihak kepolisian," ujarnya.
"Lembaga-lembaga pengawas negara seperti Komnas HAM, LPSK, Ombusdman, Komnas Perempuan dan KPAI harus menjadi salah satu corong utama dalam merekomendasikan kepada presiden untuk evaluasi Polri," kata Fatia menambahkan.
Sementara Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyinggung masalah kriminalisasi, penyalahgunaan wewenang, hingga diskriminasi proses hukum yang dilakukan Polri. Menurutnya, masalah tersebut harus menjadi perhatian Kapolri baru.
"Ada banyak sekali laporan masalah penahanan yang tidak akuntabel. Yaitu kenapa ditahan, kenapa itu enggak begitu, macam-macam," kata Asfin kepada CNNIndonesia.com, Selasa (5/1).
Selain itu, kata Asfin, beberapa hal harus dihilangkan di Polri, yakni penyiksaan saat meminta keterangan saksi atau tersangka hingga kekerasan saat mengawal demonstrasi.
Asfin juga menyinggung proses hukum terhadap orang-orang yang menyampaikan kritik dan aktif menyuarakan pendapat di media sosial.
Berdasarkan data monitoring dan pengaduan yang dicatat Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sejak Januari hingga Oktober 2020, ada 35 kasus pemidanaan menggunakan UU ITE.
Dari 35 kasus itu, pasal yang paling banyak digunakan adalah Pasal 28 ayat (2) sebanyak 14 kasus. Kemudian Pasal 28 ayat (1) sebanyak 11 kasus, pasal gabungan sebanyak 6 kasus, dan Pasal 27 ayat (3) sebanyak 4 kasus.
Di sisi lain, Koordinator Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan reformasi kepolisan memerlukan komitmen dari internal dan eksternal. Menurutnya, pemerintah, DPR dan juga masyarakat perlu mendorong terjadinya pembenahan di tubuh Polri.
Sementara, kata Usman, secara internal Polri juga harus terbuka melakukan evaluasi atas penyimpangan anggota, mulai dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sampai dengan penggunaan kekuatan dan senjata api yang berlebihan.
"Pemerintah dan DPR sebenarnya masih punya pekerjaan rumah," ujar Usman.
Berdasarkan survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020 oleh Transparency International Indonesia (TII) yang dirilis 3 Desember 2020, Polri masuk 5 besar institusi publik yang dinilai paling korup.
(isa/fra)