Pukul 21.00 WIB gawai Taufan berdering nyaring, tanda panggilan telepon masuk. Sengaja ia mengatur volume maksimum di gawai meski kadang yang masuk hanya SMS berisi pesan undian berhadiah.
Malam itu, Taufan baru saja memejamkan mata, mencoba tidur lebih awal. Dering telepon itu ia hafal dari mana. Rutinitas kerja, batinnya. Naluriah Taufan sejujurnya ingin kembali melanjutkan kembang tidurnya.
Namun suara rekannya dari seberang telepon mengabarkan agar Taufan segera bergegas menuju Rumah Sakit Puri Indah, Jakarta Barat. "Oke," kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jawaban pendek diucapkan Taufan merespons panggilan tugasnya. Malam itu ia diminta mengantarkan jenazah penyintas Covid-19 menuju Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat.
"Bismillah," ujarnya saat menghidupkan mesin mobil ambulans.
Sebagai pengantar jenazah, sudah tak terhitung berapa ribu kilometer Taufan menyusuri jalan-jalan di Jakarta dan sekitarnya. Terlebih di masa pandemi..
"Wah, kita memang harus standby 24 jam ya, jadi berangkat jam 02.00 pagi pun bukan sering lagi. Ya gimana, kita tidak bisa pilih-pilih waktu," kata Taufan saat ditemui di TPU Srengseng Sawah Rabu (20/1) lalu.
![]() |
Taufan siang itu lengkap memakai alat pelindung diri (APD). Kacamata ditempel di atas dahi, masker diturunkan di bawah dagu karena ia tengah asik makan cilok di dalam ambulans.
Jadwal antar jenazah berubah total selama pandemi mewabah Indonesia. Jika biasanya hanya mengantar 5-10 jenazah dalam sehari, kini ia ditugaskan mengantar 20-30 jenazah dalam 24 jam.
Sudah ratusan jenazah ia antar ke tempat persemayaman, mulai dari TPU Pondok Ranggon, Tegal Alur, dan Srengseng Sawah. Sejak pandemi mewabah, ia jadi terbiasa berkendara sendiri hanya ditemani peti jenazah.
"Sesuai protokolnya, satu ambulans gini cuman saya sama almarhum di belakang," kata dia.
Rasa takut sempat menghantuinya. Namun kali ini bukan lagi mendiang yang Taufan takutkan. Ia lebih ngeri tertular virus corona dari jenazah penyintas Covid-19 yang dibawanya.
Di awal pandemi, ia sangat was-was dan sempat tertekan. Taufan pun bersyukur sejauh ini belum pernah dinyatakan terinfeksi Covid-19. Meski demikian, rasa cemas tak begitu saja pergi.
Ia merasa beruntung pihak alih daya yang mempekerjakannya memberikan fasilitas mes dekat RS Puri. Taufan hanya pulang ke rumahnya di Bojonggede, Kabupaten Bogor, beberapa hari dalam seminggu.
"Untungnya sering dikasih vitamin C, disuplai lah ya, terus juga swab antigen beberapa kali juga," kata bapak dua anak itu.
Taufan tetap menyalakan raungan sirene ambulansnya meskipun jarak pemakaman relatif jauh dari RS. Sebab ia berpegang pada protap pemakaman, bahwa lebih baik jenazah lekas dikebumikan kurang lebih empat jam usai selesai menjalani pemulasaraan.
Tak hanya mengantarkan jenazah, Taufan juga kebagian tugas mengantarkan pasien Covid-19 yang harus dirujuk ke RS lain.
Selama ini ia tak pernah mendapat penolakan warga yang mengadang saat menuju TPU Covid-19. Menurutnya kondisi itu jarang terjadi di Jakarta.
"Alhamdulillah sih enggak pernah ditolak-tolak gitu, ada teman itu di Tasikmalaya apa ya, pernah ditolak begitu," ujarnya.
Soal insentif, Taufan mengaku sejauh ini hanya mendapat bonus tambahan dari rumah sakit dan pihak alih daya. Dengan pemberian itu, Taufan sudah merasa cukup.
"Kalau pemerintah belum tahu ya, tapi kalau dari rekan-rekan dan RS sih ada ya insentif," akunya.
![]() |
Andi--bukan nama sebenarnya--seorang sopir ambulans dari Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Utara menuturkan biasanya hanya diminta mengantarkan satu pemberangkatan jenazah ke makam. Di masa pandemi, ia harus lebih rajin wara-wiri jalanan guna mengantarkan setidaknya 5-10 jenazah Covid-19 sehari.
"Kalau bedanya sangat jauh sebelum dan sesudah Covid-19 memang," kata dia saat ditemui di TPU Tegal Alur, Rabu (21/1).
Kini dirinya harus siap sedia, manakala pihak RS menghubungi Dinas Pertamanan dan Hutan Kota untuk segera mempersiapkan lahan makam yang masih bisa menampung jenazah covid-19 di ibu kota.
Lihat juga:Darurat Lahan Makam Jakarta Disapu Corona |
Namun demikian, berbeda dengan Taufan, ia tak harus standby 24 jam. Andi hanya perlu mempersiapkan diri dari pukul 08.00 hingga 16.00, atau jika ada urgensi hingga pukul 20.00 WIB.
"Karena kami jumlahnya terbatas jadi misal sampai malam banget, besoknya pagi ada. Nah petugasnya kalau diforsir takut sakit begitu dan belum ada penggantinya malah tak bisa mengantar," jelas Andi.
Selama pendemi, Andi mendapat insentif dari Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp215 ribu per hari. Selama setahun bekerja pun ia tak mendapat banyak halangan. Hanya saja, krisis lahan makam di tengah lonjakan kematian akibat paparan Covid-19 itu kerap mengganggu pikirannya.
"Lokasi di Jakarta yang menurut saya sudah crowded, ini salah satu kendala kita bersama," ujarnya menyudahi percakapan usai gawainya berdering. Satu jenazah baru mengantre untuk ia antarkan ke liang lahat sore itu. Andi bergegas pergi.
(pmg/wis)