Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka kemungkinan untuk menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan tindak pidana lain dalam hal ini TPPU sepanjang berdasarkan fakta yang ada dapat disimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Jumat (29/1).
Namun demikian, Ali mengatakan saat ini penyidikan masih fokus pembuktian pada pasal suap untuk Edhy Prabowo dan para tersangka lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada prinsipnya TPPU akan diterapkan apabila memang ada bukti permulaan yang cukup dugaan terjadi perubahan bentuk dari hasil tindak pidana korupsi kepada aset-aset bernilai ekonomis seperti properti, kendaraan, surat berharga dan lain-lain," kata dia.
Dalam kasus ini, KPK juga memeriksa seorang pensiunan bernama Makmun Saleh terkait kasus dugaan korupsi penetapan izin ekspor benih lobster atau benur, Kamis (28/1).
Tujuannya, kata Ali Fikri, untuk mendalami penggunaan uang diduga hasil korupsi oleh Edhy Prabowo untuk membeli tanah.
"Didalami pengetahuannya terkait adanya dugaan transaksi pembelian tanah oleh tersangka EP (Edhy Prabowo)," kata Ali.
Didalami juga pengetahuannya mengenai dugaan sumber uang untuk pembelian tanah tersebut, dari para ekspoktir benur yang mendapatkan persetujuan izin ekspor dari Tim khusus yang dibentuk oleh EP," lanjutnya.
Diketahui, dalam kasus penetapan izin ekspor benur lobster, KPK menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
e
Enam orang sebagai penerima suap ialah Edhy Prabowo; stafsus Edhy, Safri dan Andreau Pribadi Misata; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; staf istri Edhy, Ainul Faqih; dan sekretaris pribadi Edhy, Amiril Mukminin.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP), Suharjito. Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(yoa/arh)