Jalan Terjal Penyandang Disabilitas untuk Jadi Abdi Negara

Advertorial | CNN Indonesia
Sabtu, 13 Mar 2021 00:00 WIB
Itikad baik pemerintah memberi ruang bagi penyandang disabilitas untuk berkarya di bidang birokrasi patut dihargai.
Foto: dok. Balitbangkumham
Jakarta, CNN Indonesia --

Itikad baik pemerintah memberi ruang bagi penyandang disabilitas untuk berkarya di bidang birokrasi patut dihargai. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan agar pemerintah menerima Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) penyandang disabilitas minimal 2% dari total formasi yang dialokasikan, merupakan bukti keseriusan untuk menghapus diskriminasi kepada penyandang disabilitas. Komitmen ini telah diafirmasi oleh pemerintah Indonesia dengan secara resmi menerima penyandang disabilitas sejak tahun 2017 hingga tahun 2019.

Namun jalur afirmasi ini tidak serta merta menjadi angin segar bagi penyandang disabilitas. Budaya ableism (cara pandang yang bersandar pada kemampuan seseorang berdasarkan kesempurnaan bentuk tubuh) di masyarakat, memandang penyandang disabilitas sebagai individu yang lemah, kerap kali menyebabkan kekeliruan dalam memahami keberadaannya di masyarakat. Masih adanya prasangka buruk yang terstruktur telah melanggengkan segala bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas secara budaya dan sistemik. Sekalipun pemerintah telah memunculkan regulasi tetapi praktik di lapangan tidak sejalan dengan yang diamanatkan.

Peluang

Dalam konteks penerimaan CPNS bagi penyandang disabilitas, dari tahun ke tahun pelaksanaannya masih memunculkan polemik, salah satunya pada seleksi CPNS tahun 2004, Wuri Handayani lulusan cum laude dari Universitas Airlangga, pernah menjadi korban praktik diskriminasi dikarenakan dirinya seorang disabilitas fisik berkursi roda. Wuri ditolak pemerintah Kota Surabaya karena dianggap tidak memenuhi syarat sehat jasmani dan rohani.

Penolakan serupa juga pernah dialami oleh Romi, seorang disabilitas fisik yang melamar jabatan dokter gigi di Sumatera Barat. Statusnya dibatalkan dari daftar peserta CPNS yang telah dinyatakan lulus, namun dinilai tidak memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohani pada jalur seleksi formasi umum CPNS tahun 2018.

Sedikit berbeda, kasus penolakan terhadap penyandang disabilitas sebagai pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) terulang kembali di tahun 2020. Kejadian ini dialami oleh pelamar disabilitas Tuna Netra yang bernama Muhammad Baihaqi (MB) sebagai kandidat Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui seleksi jalur afirmasi untuk penyandang disabilitas tahun 2019.

Berdasarkan aturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, setiap pelamar yang mengikuti seleksi CPNS harus melewati tiga tahap proses seleksi. Adapun tahapan seleksi tersebut yaitu Seleksi Administrasi, Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB). Sebagaimana peserta seleksi CPNS yang lain, Baihaqi juga wajib mengikuti proses seleksi administrasi meskipun dirinya melamar melalui formasi khusus disabilitas.

Dikutip dari Solider.id, Baihaqi telah melewati berbagai rangkaian seleksi sesuai prosedur dan ketentuan aturan yang berlaku, akan tetapi Baihaqi dinyatakan gugur dikarenakan kualifikasi jabatan yang dilamar tidak sesuai dengan jenis disabilitasnya. Pada tanggal 22 Maret 2020 Pemerintah Daerah Jawa Tengah melalui surat No. 811/982 dan surat No. 811/983 secara resmi menggugurkan nama Muhammad Baihaqi dalam seleksi CPNS 2020. Baihaqi menemukan kejanggalan dalam kasus ini. Menurutnya, pada laman sscn.bkn.go.id, yakni situs ia mendaftar seleksi CPNS, tidak terdapat keterangan bahwa Formasi Khusus Disabilitas yang ia lamar hanya dikhususkan untuk disabilitas daksa. Pada laman sscn.bkn.go.id tertera bahwa formasi tersebut terbuka untuk disabilitas. Sehingga, apabila memang formasi khusus disabilitas tersebut dikhususkan hanya untuk disabilitas daksa, seharusnya Baihaqi tidak lolos sejak fase seleksi administrasi dimana pada tahap ini Baihaqi diwajibkan melampirkan surat keterangan jenis disabilitas. Menanggapi kejadian yang menimpanya, Muhammad Baihaqi bersama tim pendamping hukumnya dari LBH Semarang telah melakukan upaya hukum untuk menghadapi kasus ini.

Berangkat dari permasalahan kasus penyandang disibilitas selama ini, terdapat dua poin yang dapat direfleksikan terkait pelaksanaan rekrutmen CPNS bagi penyandang disabilitas yaitu dari segi yuridis dan pendekatan sosial. Pertama, pelaksanaan rekrutmen CPNS tahun 2019 secara yuridis telah diatur melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2019 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil dan Pelaksanaan Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2019 dan Surat Edaran MENPAN-RB No. B/1236/M.SM.01.00/2019 yang menyatakan bahwa formasi jabatan diperuntukan untuk semua ragam disabilitas yang meliputi mental, fisik, intelektual, dan sensorik.

Artinya, amanat dari kedua aturan tersebut mewajibkan pemerintah agar memberikan kesempatan bagi seluruh kategori penyandang disabilitas dapat melamar setiap lowongan jabatan yang disediakan untuk disabilitas. Namun, adanya penolakan seperti yang dialami Baihaqi merupakan tindakan kontraproduktif dari amanat aturan yang telah ditetapkan. Hal ini menjadi sebuah paradoks, mengingat diedarkannya Surat Edaran tersebut bertujuan untuk membuka peluang seluas-luasnya bagi pelamar penyandang disabilitas, namun dalam tataran teknis implementasi peraturan justru membatasi bagi pelamar dengan jenis disabilitas tertentu.

Pembatasan pada persyaratan jenis penyandang disabilitas juga bertolak belakang dengan prinsip dasar rekrutmen ASN yaitu Sistem Merit. Melihat Pasal 1 UU No.5 Tahun 2014, sistem merit mengamanatkan agar penerimaan ASN berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan dan kondisi kecacatan atau disabilitas.

Dikutip dari Solider.id, kompetensi Baihaqi telah memenuhi kualifikasi untuk melamar CPNS, hal ini dibuktikan dengan kepemilikan berupa ijazah sarjana Pendidikan Matematika dari Universitas Negeri Yogyakarta dan telah lolos tes SKD dengan nilai tertinggi. Selain itu, ia juga memiliki pengalaman sebagai guru mengajar anak-anak TKI di Malaysia melalui program dari Kemendikbud.

Kasus penolakan pada saat rekrutmen CPNS yang beralasan karena kedisabilitasan menggambarkan masih adanya kegagapan pemangku kepentingan dalam menafsirkan amanat aturan yang berlaku. Adanya inkonsistensi dalam menentukan persyaratan jenis disabilitas menimbulkan kesan bahwa dalam pembuatan kebijakan seperti berdasarkan asumsi.

Hal ini tentu saja merugikan bagi pelamar CPNS disabilitas. Alih-alih memberikan jalur khusus untuk penyandang disabilitas namun berujung menciptakan diskriminasi baru secara sistemik.

Kedua, dilihat dari sisi pendekatan sosial, pola penolakan yang dialami Baihaqi mirip dengan kasus yang dialami oleh Wuri dan Romi yakni dipengaruhi oleh faktor kedisabilitasannya. Hal ini terjadi karena paradigma pemerintah masih dipengaruhi oleh adanya sudut pandang model medis.

Fokus sudut pandang ini melihat adanya keterbatasan fisik dan mental sebagai hambatan, sehingga mereka dianggap lemah dan tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penolakan yang dialami Baihaqi mengarah pada adanya keterbatasan yang dimilikinya sebagai disabilitas tuna netra. Gejala ini dapat dilihat mulai dari adanya keputusan sepihak oleh pihak panitia yang menggugurkan statusnya dikarenakan ketidaksesuaian disabilitas yang dibutuhkan. Secara eksplisit, mengisyaratkan bahwa keterbatasan yang dialami Baihaqi dan penyandang disabilitas lainnya dianggap sebagai hambatan yang dapat mempengaruhi nilai produktivitas dalam bekerja.

Solusi

Menyikapi berbagai permasalahan yang dihadapi, maka terdapat beberapa catatan yang dapat dipertimbangkan untuk pelaksanaan rekrutmen CPNS bagi penyandang disabilitas di masa mendatang. Pertama, pada tataran kebijakan, pemerintah perlu memahami dan menginventarisir data permasalahan yang terjadi di lapangan untuk dilakukan evaluasi kebijakan berikutnya.

Terkait penentuan kriteria persyaratan jenis disabilitas pada jabatan yang dilamar, pemerintah perlu melibatkan seluruh instansi dan penyandang disabilitas yang ahli di bidangnya dalam perumusan kebijakan dan proses pelaksanaan seleksi CPNS bagi penyandang disabilitas. Kedua, pemerintah perlu 'menghapus' paradigma terhadap penyandang disabilitas yang selama ini dianggap tidak sehat secara jasmani dan rohani.

adv

Foto: dok. Balitbangkumham

Pandangan ini menimbulkan bias makna yang cenderung merugikan penyandang disabilitas, karena penyandang disabilitas bukan berarti tidak sehat jasmani dan rohani, akan tetapi memiliki kekhususan sesuai kondisi fisik dan mental. Ketiga, dalam rangka penerimaan pegawai disabilitas, seluruh pihak instansi wajib menciptakan lingkungan kerja berwawasan ramah dengan penyandang disabilitas. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan edukasi kepada pegawai non disabilitas mengenai cara berinteraksi dengan pegawai disabilitas di lingkungan kerja. Pemberian edukasi ini tidak bermaksud membedakan antara pegawai non disabilitas dengan pegawai disabilitas, akan tetapi untuk memberikan pemahaman tentang penyandang disabilitas agar tercipta lingkungan dan budaya kerja yang mendukung dan inklusif.

Destry Indra Wibawa, Penyandang Disabilitas Fisik/Tuna Daksa Tangan, Analis Kebijakan Ahli Pertama, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian Hukum dan HAM.

(adv/adv)


[Gambas:Video CNN]
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER